5

134 21 3
                                    

"Kenapa jalan kaki? Naik bus atau taksi, kan, lebih cepat."

Sasuke terus menggerutu sejak mereka berangkat. Naruto tidak bisa menjawab pria itu. Dia sedang menunggu lampu lintas berubah warna bersama pejalan kaki lainnya. Orang-orang akan memandangnya aneh jika dia mulai berbicara sendiri.

Semestinya dia yang menggerutu disini. Terpaksa menggunakan uang tabungannya—dia mengingatkan diri, mencari pekerjaan lepas nanti—berjalan di bawah sinar terik matahari. Dan sebentar lagi membeli barang-barang yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya akan dia beli di masa depan.

"Kapan sampainya kita? Mall masih sangat jauh. Bisa-bisa aku menghilang terkena panas matahari ini."

Mungkin itu lebih baik. Naruto tidak akan merasa bersalah kalau Sasuke menghilang tanpa campur tangannya. Itu yang kuharapkan hantu tukang mengeluh. Dan mall katanya? Hah! Seperti Naruto membawa sepuluh lembar seratus ribu di dompetnya saja.

"Eh, kenapa belok? Mall B di sana." Dia menunjuk ke belokan kiri.

Mall B? Mall yang paling besar dan mewah di Konoha? Apa dia buta tidak melihat keadaan Naruto?

Naruto menghindari pria bertubuh gempal yang berjalan tanpa melihat ke depan, sibuk memandangi bokong siswi SMA yang lewat.

"Kualitas di sana nomor satu. Berisi merek-merek terkenal—awas!"

Naruto terlonjak. Seketika berhenti. Tiang listrik tinggal sepuluh sentimeter darinya. Dia terlalu asyik memandang sekumpulan murid SMA tertawa dan bercanda di seberang jalan hingga tidak melihat ke depan.

"Anak muda jangan berhenti di tengah jalan." Seorang wanita menegurnya. Naruto menundukkan kepala meminta maaf lalu melanjutkan perjalanannya lagi.

Sasuke mengamati seberang jalan seperti ingin mencari tahu apa yang dilihat Naruto. Kerutan dahinya menandakan dia tidak berhasil tahu. Dia terbang melewati Naruto, membalikkan badan, dan melayang mundur. "Kita mau kemana? Sudah hampir sampai belum? Kenapa diam saja dari tadi? Kenapa kau cemberut? Aku salah apa lagi? Apapun yang kulakukan sepertinya selalu salah di matamu, ya? Padahal hidungmu sudah kuselamatkan dari dokter bedah. Hei, hei. Kenapa jalanmu makin cepat? Oi, tunggu aku."

Naruto memelototi Sasuke. Kesabarannya mulai habis. Jangan sampai dia meneriaki Sasuke di sini. Dia menunduk, berusaha bicara tanpa menggerakkan bibirnya dengan jelas. "Diam."

"Apa?" Sasuke mendekatkan telinganya. "Kau bicara apa tadi?"

Naruto memandang sekeliling. "Kubilang dia—" Bugh. Dia terjatuh. Dia menabrak sesuatu—atau ditabrak?

"Kau baik-baik saja?" Sasuke bertanya. Dia berjongkok, tangannya terulur seperti ingin membantunya berdiri, tapi ditarik kembali. "Kau bisa bangun?"

Naruto mengangguk. Tentu dia bisa bangun. Dia tidak terjatuh begitu kuat. Perlahan bangkit, menepuk-nepuk bokongnya, Naruto melihat dua pasang sepatu dan rok sekolah, pandangannya naik—Karin? Meskipun tidak pernah melihatnya lagi sejak hari dia kabur, Naruto tidak pernah lupa bagaimana rupa gadis itu. Wajah soknya, kacamata dengan tangkai merah, dan rambut merah terang yang mengingatkannya pada rambut ibunya.

Gadis itu tersenyum padanya. Tapi Naruto tahu. Senyuman itu tak berarti yang sebenarnya.

"Oh, Kakak?"

Naruto mendengus dalam hati. Kakak? Selama mereka tinggal satu rumah saja, meliriknya bahkan Karin tak pernah. Sekarang dia memanggilnya kakak? Suaranya bahkan terdengar tulus dan manis. Benar-benar seperti seorang adik yang terkejut bertemu kakaknya di jalan.

"Siapa?" Seorang gadis pirang bertanya pada Karin.

"Yang kuceritakan waktu itu."

Gadis itu terdiam sejenak tampak berpikir. Kemudian mulutnya membentuk bulat dan berkata, "Ooo... yang kerja di kedai ayahnya Ayame? Ingat, aku ingat." Dia menjulurkan tangannya ke arah Naruto, mengajak bersalaman. "Aku, Shion. Senang bertemu denganmu."

Thank You and GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang