-39

112 17 0
                                    

Manusia, makhluk yang memang diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Banyak yang lupa akan kodratnya. Iya, jelas banyak. Kata syukur bahkan sering kali terlupakan. Seolah hal biasa yang memang biasa di lupakan.

Bersyukur, satu kata yang membuat ia mengerti tentang kehidupan. Karena, tidak ada alasan untuk dirinya mengeluh. Lahir sebagai laki-laki dan hidup dengan layak. Tubuhnya lengkap juga tidak cacat. Apa yang harus ia keluhkan? Banyak sebenarnya. Tapi, dia selalu berusaha untuk bersyukur. Bersyukur tentang kehidupannya sekarang.

"Rasanya terlalu angkuh kalau tidak berterima kasih kepada Allah." ujarnya.

Pandangannya menatap manusia yang sedang berlalu lalang. Menatap berbagai orang yang sedang mencari nafkah. Hatinya mendadak sesak melihat semuanya. Dilihatnya, seorang bapak tua yang tidak memiliki tubuh lengkap. Kakinya seperti telah tiada. Dengan satu tongkat yang menopang tubuhnya. Tongkat di sebelah kiri dan tangan kanan yang menggenggam setumpuk koran. Ia tetap menebar senyum, meski korannya masih terlihat banyak.

Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil. Selepas bekerja, dirinya singgah terlebih dahulu. Di tempat yang ia sendiri tidak tau. Hanya menepikan mobilnya dan ia diam merenung. Baginya setelah melihat kegiatan bapak tua tersebut membuat ia sadar. Ia telah merasa angkuh dengan semuanya. Bagaimana tidak, ia masih sering mengeluh dengan kejadian-kejadian yang menimpa dirinya.

Ali menatap kembali objek di depannya. Waktu sudah hampir malam. Tapi ia, masih betah melihat seorang laki-laki paruh baya yang sedang beristirahat. Ia duduk di pinggir trotoar. Menghitung korannya yang masih banyak.

Ali menghembuskan nafasnya pelan. Ia membuka pintu mobil. Menghampiri bapak tua yang tengah beristirahat. Senyumnya mengembang ketika melihat Ali menghampirinya. Ali tersenyum, ia segera membeli semua koran yang dia bawa.

"Berapa pak?"

"Semuanya? Alhamdulillah, harganya jadi dua puluh lima ribu dek." ujarnya senang.

Ali mengangguk, ia segera mengeluarkan uangnya di dalam dompet. Menyimpannya ke dalam kedua tangan bapak tersebut. Bapak itu menggeleng cepat. Ia menolak uang pemberian Ali yang sangat jauh dengan harga korannya. Ali mengabaikan ucapan bapak penjual koran.

"Saya pamit pak, Assalamu'alaikum"

Ali pergi dengan tangis haru bapak penjual koran. Ucapan banyak terima kasih telah bapak itu ucapkan. Ia benar-benar bersyukur dengan uang yang diterimanya.

Ali menatap kembali bapak tersebut, sebelum akhirnya ia mengendarai mobilnya kembali. Ali tersenyum di balik kemudi. Bertemu dengan bapak penjual koran membuatnya menerima secercak cahaya. Bagaimana tidak? Ia berhasil mengerti bagaimana berserah diri kepada Allah. Sebelumnya Ali hanya memperhatikan dan tidak ada yang membeli korannya. Ali pun melihat bagaimana bapak tersebut sabar dan berserah diri kepada Allah. Bahkan, dengan keterbatasannya ia masih bisa tersenyum dan berucap syukur.

Jadi, nikamat Allah manakah yang harus di dustakan? Allah begitu baik, tapi hambanya sering kali tidak tau diri. Mengutuk takdir, padahal Allah telah menentukan yang terbaik untuk dirinya.

***

Seorang wanita baru saja keluar dari bilik pintu rumah. Ia menatap perempuan yang tengah bersandar pada kursi depan rumahnya. Matanya terfokus menatap perempuan tersebut. Dia mengenalnya, sangat mengenalnya bahkan. Perempuan yang pernah menolak kakak laki-laki nya. Padahal, ia tau kakaknya amat sangat mencintai perempuan tersebut.

Ia segera berjalan menghampiri wanita tersebut. Menyapanya dengan senyum "Assalamu'alaikum, Kak Dira."

Nadira mengalihkan pandangannya. Ia menatap wanita yang baru saja datang dengan senyum. "Wa'alaikumussalam, Wardah. Duduk, biar kakak ambilkan minum."

Sebening CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang