Kini Lisa yang sengaja datang terlambat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan. Ah, itu tidak ada apa-apanya dibanding ia yang menunggu selama dua jam.
"Maaf telat," ucap Lisa sama sekali tak merasa bersalah.
Malvin tersenyum tipis. Lalu mereka berjalan mengelilingi pasar malam tanpa ada yang membuka suara. Sama-sama merasa canggung. Setelah menjadi asing beberapa hari, rasanya tak mudah untuk membuka percakapan.
"Lo mau itu?" Lisa menatap penjual gulali yang ditunjuk Malvin. Memorinya berputar pada masa saat Malvin pernah melarangnya membeli gulali.
"Enggak, nanti sakit gigi," jawab Lisa.
"Kan bukan bocah lagi," ucap Malvin menahan senyumnya.
Lisa menatap sinis Malvin. "Dikira yang bisa sakit gigi cuma bocah aja?"
Malvin balas menatap Lisa, tak lama mereka tertawa bersama menertawakan hal yang tak jelas. Ah, mereka memang tak bisa terlalu lama saling mendiamkan. Karena terlalu sering bertengkar saat dulu membuat mereka merasa aneh jika diam.
Malvin menatap mata Lisa lembut. "Senyum terus ya, jangan nangis kayak kemarin lagi. Gue sakit," ujar Malvin sambil mengusap rambut Lisa, rindu melakukan kegiatan favoritnya.
"Lo yang bikin gue nangis." Lisa menyingkirkan tangan Malvin, melangkah lebih cepat meninggalkan Malvin di belakang.
Lisa tersentak saat merasakan seseorang menggenggam tangannya dengan lembut namun terkesan kuat seperti tak ingin melepaskan. Dalam hati ia mengatai diri sendiri karena bisa selemah ini jika di dekat Malvin.
"Maaf." Lisa memandang Malvin, terlihat jelas sorot penyesalan di mata hitam pekat itu.
Setelah membeli gulali untuk Lisa, mereka mencoba permainan lempar gelang. Malvin yang memainkan, sedangkan Lisa hanya menonton saja sambil memberi semangat.
"Lo mau hadiah yang mana?" tanya Malvin saat ia akan melemparkan gelangnya.
"Kayak bakal dapat aja." Malvin mengacak rambut Lisa gemas, membuat Lisa berdecak kesal. Rambutnya yang diacak-acak tapi hatinya yang berantakan.
"Gue kasih boneka paling besar," ujar Malvin percaya diri.
Lisa terkekeh. "Iyain aja, biar cepet," katanya.
Lisa tertawa lepas saat Malvin justru mendapatkan gantungan kunci berbentuk bola. "Mana boneka besarnya, kok menciut?" tanya Lisa masih dengan tawanya.
Malvin menggaruk tengkuknya malu, menatap Lisa yang masih saja menertawakan dirinya. Perlahan bibirnya terangkat membentuk senyum, senang melihat Lisa tertawa lepas seperti sekarang. Ia harap tawa itu akan selalu mengiasi hari-harinya.
"Udah diam." Malvin membekap mulut Lisa agar berhenti tertawa. "Mending kita naik bianglala aja," katanya.
Lisa menangguk sambil memukul tangan Malvin untuk melepaskan mulutnya. Setelah Malvin melepaskannya, mereka berjalan menuju wahana bianglala.
Lisa berjalan sambil mengamati gantungan kunci berbentuk bola hasil dari permainan Malvin. Ia berdecak saat Malvin menyuruhnya untuk membeli tiket naik bianglala.
Malam ini pasar malam sedang ramai, wajar saja karena sekarang adalah malam Minggu. Itu sebabnya Lisa harus mengantre terlebih dahulu untuk mendapatkan tiket.
Saat tiket sudah di tangannya, Lisa berbalik dengan riang menuju tempat Malvin. Namun, tidak ada Malvin di tempat terakhir ia melihatnya. Lisa berkeliling di sekitar tempat itu untuk mencari keberadaan Malvin. Hatinya mulai resah, takut kejadian yang tak dia inginkan kembali terulang.
Lisa berlari kencang menuju tempat parkir di mana motor Malvin berasa. Kakinya melemas saat tidak menemukan motor milik Malvin di tempat. Air matanya turun tanpa bisa ia cegah. Lisa berjongkok tak bisa menahan berat tubuhnya lagi, ia menenggelamkan kepala pada kedua lututnya, menangis sejadi-jadinya tanpa memedulikan tatapan aneh dari sekitar. Persis seperti anak kecil yang sedang kehilangan orang tua di tengah keramaian.
"Harusnya gue gak datang ke sini," ucapnya pada diri sendiri. Bodoh sekali dirinya sampai bisa terjatuh berkali-kali dalam lubang yang sama.
Sudah cukup. Ini yang terakhir, karena memang sudah akhir. Hari ini adalah tepat tiga puluh hari setelah perjanjian mereka waktu itu. Dan inilah akhirnya, bagaimanapun itu, meski berakhir duka, tanpa kata perpisahan, tanpa kejelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days Agreement (END)
Teen FictionSebuah foto yang memperlihatkan dua orang sedang berpelukan di depan diskotek mendadak menjadi viral di berbagai sosial media. Sedangkan Malvin dan Lalisa sebagai orang yang dibicarakan justru memilih bungkam seperti membenarkan berita-berita yang b...