Chapter 1

27 8 2
                                    

Aku terbangun lagi. Mimpi itu kembali hadir, entah yang ke berapa kalinya dalam minggu ini. Masih ku ingat dengan jelas bagaimana hangatnya genggaman tangan itu, tatapan matanya, dan deburan obat yang saling bertabrakan. Harusnya momen itu menjadi suatu suasana yang mengesankan. Mengesankan dalam artian yang positif. Namun dia menyebabkan momen itu menjadi momen yang sangat ku benci.

Bagaimana caraku untuk melupakan momen itu? Aku bisa gila jika seperti ini.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatianku. Aku mengambil ponsel yang berada diatas nakas, melihat jam. Ternyata aku terbangun lagi tengah malam. Jika sudah seperti ini, akan sangat susah bagiku untuk kembali tidur.

Aku berjalan ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Menuju ke dapur untuk membuat secangkir susu coklat hangat. Hanya  coklat hangatlah yang dapat menenangkanku. Duduk di kitchen bar  dan mulai menikmati coklat hangatku.

Kesendirianku di tengah-tengah negara orang makin terasa. Aku yang memilih kabur ke New York, meninggalkan keluargaku, temanku, dan kenangan menyakitkan. Biarlah aku disebut pengecut, yang tidak ingin menyelesaikan masalahnya dan memilih lari. Namun, menyelesaikan masalah yang amat pahit itu tidak semudah itu. Bukan hanya satu atau dua tantangan yang harus aku hadapi, namun ada beribu tantangan yang menghalangi niatku, salah satunya adalah ketakutanku.

Ketakukanku akan hal-hal yang mungkin terjadi. Aku sudah lelah, entah sudah berapa kali air mataku keluar. Hanya karena satu orang dari masa laluku itu. Sudahlah, lupakan saja. Lebih baik aku tidur jika tidak ingin telat untuk jadwal operasi besok pagi.

***

Aku berjalan memasuki rumah sakit tempat kerjaku selama kurang lebih 8 bulan ini, yaitu Taran Hospital.

Good Morning,Miss Jen” sapaan ini datang dari salah satu perawat.

Aku pun ikut membalas sapaannya, “Morning

Aku terus melangkah menuju ruanganku. Saat tiba di ruanganku, asistenku, Karen sudah menunggu.

Aku memakai snelli  dan melihat daftar dan hasil CT scan pasienku pagi ini. Pasienku hari ini berusia 46 tahun dan mengidap tumor otak  di otak bagian depan sisi atas kiri (lobus frontal kiri).

Menurut hasil diagnose, tumor yang diderita ini adalah tumor oligodendroglioma. Akibat dari adanya tumor ini, pada sisi otak kiri pasien terdapat edema atau pembengkakan. Sehingga tindakan yang tepat untuk mengangkat tumor itu adalah dengan cara melakukan operasi. Mungkin akan memakan waktu sekitar 3 hingga 4 jam kedepan dengan perbandingan keberhasilan operasi ini adalah 60:40.

Aku mulai memasuki bagian ruang operasi. Mengganti snelli  dan pakaianku dengan pakaian operasi. Melepas semua aksesoris yang melekat dan memakai masker serta perlengkapan lainnya. aku pun mulai memasuki ruang operasi. Di sana sudah terdapat Hani, dokter Anestesi. Serta beberapa dokter lainnya yang sudah sangat berpengalaman.

Operasi kali ini akan aku pimpin. Ini adalah kali kedua aku memimpin operasi setelah sebelumnya pernah melakukan operasi pengangkatan usus buntu. Pada operasi itulah puncak karirku dimulai. Untuk operasi kali ini aku agak sedikit gugup. Karena disaksikan oleh ketua pimpinan rumah sakit dan beberapa dokter senior yang meyaksikan di kaca yang membatasi langsung antara ruang operasi dan luar.

Aku pun memulai operasi. Hani yang merupakan dokter anestesi mulai melakukan bius umum kepada pasien. Setelah pasien terpengaruhi oleh obat bius. Aku pun mulai melakukan pembedahan dengan dimulai membuka Kraniotomi atau tulang tempurung kepala yang kemudian dilanjutkan dengan pemotongan jaringan tumor itu sendiri.

Setelah melewati waktu 4 jam lamanya. Operasi kali ini sukses dilakukan. Pengangkatan tumor otak tersebut berhasil dilakukan tanpa memerlukan adanya transfusi darah. Aku tersenyum diakhir saat dokter Edbert melakukan penjahitan pada kulit kepala pasien. Aku melihat wajah ketua pimpinan rumah sakit dan dokter senior lainnya yang tersenyum cerah. Ini menandakan bahwa aku berhasil dalam memimpin operasi kali ini.

Setelah dilakukan tahap akhir, pasien dibawa ke ruang ICU untuk perawatan Intensif selanjutnya. Keluar dari ruang operasi, aku disambut oleh pelukan hangat dari keluarga pasien. Keluarga pasien berulang kali mengucapkan ungkapan terima kasih. Aku pun tersenyum hangat.

Setelah itu, para dokter senior datang dan menjabat tanganku.

Good Job, Jen. You never disappoint

Yeah, you’re worthy

Aku balas menjabat tangan dokter Alex, “Your praise is too much, Doctor. I’m waiting for your next guidance.”

Aku kembali ke ruanganku dan me-rileks-kan diri di kursi. Karen kemudian datang menghampiri, “Nice, Jen. Now, you have free time and me too. But,after the consultation list for today is complete

Wajah senangku terukir hanya untuk sesaat, setelah dihadapkan daftar panjang pasienku hari ini. Melihat panjangnya daftar untuk hari ini, sepertinya akan selesai hingga sore hari.

Percayalah, walau dokter adalah orang yang menasihati pasiennya agar makan dan istirahat tepat waktu, serta menyarankan agar menghindar dari stress, merupakan orang yang paling sering melanggar hal itu.
Buktinya saja semalam, aku hanya tidur 3 jam. Ditambah karena mimpi itu hadir. Tadi pagi aku hanya meminum secangkir kopi untuk menghalau kantuk.

Aku mulai melakukan konsultasi dengan pasienku. Setelah 2 jam berlalu, baru 1/3 daftar pasien yang telah selesai. Waktu sudah menunjukkan lewat dari makan siang. Aku harus makan sekarang. sudah cukup perut ini kosong sejak pagi.

Baru saja saat aku beranjak dari kursiku, seseorang mengetuk pintu ruanganku.

come in

Pintu ruanganku terbuka. Menampilkan seorang laki-laki yang juga memakai snelli sepertiku. Perawakannya tinggi. Kulit pucat, mata biru dan rambut pirang. Sangat menawan, bukan?

Namun dimataku dia biasa saja, tidak ada bedanya dengan orang-orang Eropa lainnya.

Ia datang menghampiri mejaku. Meletakkan sebuah kotak. Aku bisa menebaknya. Itu adalah makan siangku.

I’m guessing you haven’t had lunch yet. You’re always busy, Jen. Now, don’t miss your lunch anymore. Enjoy your meal

Namanya Edbert, berusia 38 tahun. Beda 10 tahun dariku. Seorang dokter bidang penyakit dalam. Sering bersamaku saat operasi dan sangat perhatian kepadaku.

Thanks. You are really a good friend” aku berterima kasih karena memang ia seperhatian itu kepadaku. Selalu memberikan makanan untukku. Membuatku teringat seseorang.

Just a friend? Don’t you intend to make me a lover?

“AH, for that. I’m-” belum sempat aku selesai membalas perkataannya, ia sudah memotong duluan.

I’m just kidding. Have a good day” setelah mengatakan itu ia langsung keluar dari ruanganku.

Meninggalkanku dalam perasaan bersalah.

Aku bisa melihat ekspresinya tadi yang memang serius. Tapi ia selalu seperti itu. Sebenarnya Edbert sudah menyukaiku sejak lama. Sejak awal aku mulai menjadi dokter dirumah sakit ini. Ia sudah menunjukkan ketertarikannya kepadaku. Tiap hari ia selalu menghantarkan makan siang kepadaku. Kadang datang lansung atau menitipkannya di Karen.

Pernah sekali ia menyatakan perasaannya kepadaku. Namun, aku menolak dan mengatakan untuk menjadi teman saja. Sejak saat itu, bukannya menjauh dariku. Tapi ia makin menunjukkan sikap sukanya secara terang-terangan.

Aku belum siap membuka hatiku kembali. Bayang-bayang masa lalu masih menghantuiku.

Sudahlah, lebih baik aku makan saja dulu. Tidak baik membuang-buang makanan. Apalagi aku sudah sangat kelaparan. Datanglah kepadaku makanan. Aku akan sangat menikmatimu.

_____________

Mohon maaf sebelumnya, untuk Surreptitous ada sedikit revisi dari awal, namun hal ini tidak mengubah jalannya cerita.

Tetap semangatt buat baca cerita ini yaa

Jangan lupa bintangnya yaa❗❗
Makasihh😊

Tolong ditandai jika ada typo.

See u next chapter

Surreptitous (on going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang