HAPPY READING
Aku melepas sepatuku dan meletakkannya di rak dekat pintu utama indekos. Aku kemudian berjalan ke kamarku yang ada di lorong paling ujung. Di ruang tengah sempat kulihat beberapa teman satu indekosku yang tengah menonton TV sambil memakan snack. Kusapa mereka sekadarnya.
Selanjutnya aku melangkah ke kamar, memutar knop pintu, dan memasukinya. Meski ruangan ini tak seluas yang kumiliki di rumah, aku merasa cukup nyaman. Sebuah jendela yang mengarah ke luar halaman membuatku kerasan. Kalau pagi hari, aku suka sekali melamun di situ sambil menikmati udara yang masih sejuk.
Aku pun menaruh tasku di atas kasur lantas bergegas mandi. Badanku terasa gerah sekali setelah beraktivitas sampai sore hari ini. Air yang mengalir ke sekujur tubuhku pun membuatku kembali segar. Tak ayal, aku berlama-lama di sini sambil menggumamkan beberapa lagu.
Setelah selesai, aku berganti baju lalu berjalan ke dapur. Sedari tadi perutku sudah keroncongan. Aku ingin memakan sesuatu. Namun, aku harus memasak terlebih dahulu sebab tadi aku tidak sempat membeli lauk di warung. Sebenarnya, bisa saja aku memesan fast food, tapi aku sedang tidak berselera. Aku ingin makanan yang lebih sehat saja.
Ada beberapa bahan makanan yang kupunya di kulkas. Sayuran yang kumiliki pun masih lengkap. Tapi karena aku ingin masakan yang sederhana, aku pun memutuskan untuk memasak sup saja. Selain memakan waktu yang cukup singkat, sepertinya enak juga menyantap makanan yang berkuah di suasana yang agak dingin sehabis mandi ini.
Sambil merebus air, aku pun memotong kol, wortel, dan juga daun bawang. Ketika sedang memasak begitu, mendadak aku teringat lagi dengan Genta. Aku masih tidak menyangka bisa satu ekskul bersama cowok menyebalkan itu. Aku tidak pernah menduga kalau kami akan berada dalam ekskul yang sama.
Aku tidak tahu bagaimana caranya agar ia keluar dari ekskul teater. Tekad Genta benar-benar bulat untuk berada di ekskul itu. Ia bahkan telah memiliki pengalaman. Selama di SMP, ia pernah mengikuti kegiatan yang sama. Dibanding diriku, tentu saja aku jauh lebih tidak kompeten.
Namun, kalau aku yang mengalah dan memutuskan untuk berhenti dari keanggotan ekskul teater, aku tidak mau. Aku sudah mengumpulkan form pendaftan pada Fania. Lagi pula, aku memang ingin mencari pengalaman di ekskul tersebut. Jadi, aku tidak ingin menyia-nyiakan apa yang aku punya sekarang.
Aku pun mengembuskan napasku pelan seraya memasukkan semua sayuran yang telah kupotong ke dalam air yang mendidih. Otakku terasa buntu memikirkan apa yang harus kulakukan agar Genta tak mengikuti ekskul teater lagi. Rasanya lelah saja setiap kali harus bertemu dengannya. Aku juga sudah capek berdebat terus dengan Genta.
"Tunggu."
Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas. Kalau aku tidak bisa membuat Genta berhenti mengikuti ekskul teater, aku bisa menghindari cowok itu.
"Ya! Itu pasti berhasil. Gue bisa ngejauhin cowok itu. Kalau lagi latihan rutin, gue nggak bakal dekat-dekat sama Genta. Pokoknya gue mau nempel sama Fania atau yang lain. Pokoknya nggak sama cowok nyebelin itu," gumamku pada diri sendiri.
Ah, terdengar melegakan sekali. Rencana ini pasti akan berhasil. Aku pun tersenyum sambil terus mengaduk sup yang sebentar lagi matang.
***
Sekitar pukul satu siang, tepatnya saat jam istirahat kedua, Pak Margono yang merupakan wali kelasku memasuki ruang kelas X MIPA 3 sambil membawa tumpukan buku. Sebenarnya, ini bukan jadwal pelajaran beliau. Guru yang memiliki kumis lebat itu sengaja memotong waktu istirahat kami karena hendak menyampaikan sesuatu.
"Seperti yang sudah Bapak singgung kemarin di grup chat, Bapak ingin membuat kelompok belajar untuk mempersiapkan Ujian Akhir Semester. Walaupun masih lama, kita harus menyiapkannya sedini mungkin. Bapak ingin kalian mendapat peringkat terbaik di sekolah ini," ujar Pak Margono panjang lebar.
Aku yang duduk di bangkuku mendengarkan beliau dengan saksama tanpa berani menyanggah apa pun. Melihat raut muka Pak Margono yang cukup menyeramkan, aku segan menolak usulan beliau. Lagi pula, aku malas mendebatnya. Bisa-bisa malah aku kena marah.
"Bapak akan membagi kalian menjadi lima kelompok. Nama-namanya bisa kalian lihat di sini," Pak Margono menunjukkan kertas yang tadi diselipkan di salah satu buku yang dibawanya. "Ingat, kalian tidak boleh membolos selama mengikuti belajar kelompok ini karena Bapak akan mengawasi kalian. Setiap kalian mengadakan pertemuan untuk belajar bersama, Bapak akan selalu mendampingi kalian. Bapak juga akan memberikan beberapa tugas tambahan untuk dikerjakan."
Aku mengembuskan napas pelan-ingin mengeluh. Pasalnya tugas dari beberapa mata pelajaran inti saja sudah banyak. Aku tidak yakin dapat menyelesaikan tugas tambahan yang akan diberikan oleh Pak Margono nanti.
"Begitu saja yang Bapak sampaikan. Silakan kalau ada yang ingin bertanya," kata Pak Margono mengakhiri.
Seorang siswa yang duduk di meja paling depan mengangkat tangannya.
"Pak, kita mulai belajar kelompoknya kapan?"
"Pekan depan. Nanti Bapak infokan lagi di grup chat."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Pak Margono mengangguk seraya memainkan kumis lebatnya. "Ada lagi yang ingin ditanyakan?"
Teman-teman sekelasku diam. Sepertinya mereka sudah paham maksud Pak Margono.
"Baiklah," ujar Pak Margono. "Kalau semuanya sudah mengerti, Bapak cukupkan sekian. Selamat, siang!"
"Siang, Pak!"
Diam-diam di tempat dudukku, aku mengeluh panjang. Rasanya tidak kuat kalau harus menjalani belajar kelompok ini. Kulihat Ardel yang ada di sebelahku. Ia menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ah, nampaknya perempuan berkacamata ini sedang meratapi nasib juga sepertiku. Ternyata kita sama-sama tak menyetujui ide belajar kelompok ini, tapi tak kuasa untuk menolaknya.
💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Teatrikal Rasa [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction💕BLURB Sempat dilanda kebingungan saat memilih ekskul di SMA Pelita Jaya, akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar ekskul teater. Sialnya, di sana aku malah bertemu Genta, cowok menyebalkan yang tak sengaja kutubruk waktu MPLS. Mampukah aku bertahan...