Chapter 8

282 17 0
                                    

"Bagaimana dengan pengembangan proyek pembangunan resort?" Tanya Zia yang kini tengah berdiskusi dengan Tino.

Zia tahu investasi yang dilakukannya kali ini akan menyulitkan dirinya secara pribadi, namun jika melihat dampak bagi perusahaannya tentu ini akan sangat menguntungkan. Bagaimana pun dia dituntut untuk profesional dalam bekerja. Sekuat apapun keinginannya untuk tidak berurusan dengan Deni, ia harus mengenyampingkan itu. Namun masalahnya sekarang bukan hanya Deni yang ingin dia hindari tapi juga Abian Baskara. Seharusnya pria itu pun tak muncul lagi didepan matanya.

"Semua berjalan lancar Nona, sekarang sudah mencapai finishing." Jelas Tino.

"Baguslah, ternyata perusahaan mereka memang dapat diandalkan. Namun aku ingin ini adalah kerjasama kita yang terakhir dengan mereka." Instruksi Zia dengan wajah datarnya.

"Tapi nona, seperti yang anda katakan perusahaan ini sangat bagus dan."

"Terakhir!" Tegas Zia bagaikan ultimatum buat Tino.

"Aku dengar wanita ular itu buat ulah lagi, sekarang apa yang dia inginkan?" Zia mengepal kedua tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Setiap kali membicarakan wanita itu, selalu saja membuatnya sakit kepala. Wanita itu bagaikan lalat yang selalu mengotori hidupnya dengan segala masalah yang ditimbulkannya.

"Nyonya Vira meminta perusahaan untuk mengeluarkan dana sebesar lima ratus juta untuk proyek fashion show nya lagi." Tino meletakkan sebuah map di atas meja Zia.

"Buang proposal itu, aku tak ingin melihat satu pun benda yang berbau wanita ular itu. Aku sudah cukup menyia-nyiakan uangku selama ini untuk acaranya yang tak bermutu itu." Perintah Zia dengan senyuman sinisnya. Zia pun berdiri dari duduknya, hal itu pun membuat Tino segera berdiri dari duduknya.

"Aku akan mengambil cuti tiga hari, Rey sangat ingin berlibur ke pantai. Aku tak ingin membuatnya kecewa." Ucap Zia yang kini telah berdiri didepan dinding kaca kantornya yang berada di lantai tiga puluh. Matanya menatap lurus pemandangan diluar kantor, dimana terlihat banyak gedung-gedung yang menjulang bersertaan dengan hilir mudik kendaraan dan pejalan kaki yang bergerak dibawahnya. Kota ini terlihat sangat sibuk dan bising pikir Zia dalam hati.

"Baik nona akan saya siapkan. Kalau begitu saya undur diri." Ucap Tino membungkuk hormat lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan setelah mendapatkan intruksi dari Zia.

Di sebuah ruangan yang terlihat glamor dengan cat emas berkilau menghiasi dindingnya, di bagian gorden terdapat juntaian manik-manik perak yang menambah kesan mewah ruangan itu. Namun sayang kemewahan itu baru saja ternodai oleh ulah sang pemilik itu sendiri. Semua kain sisa jahitan berserakan dilantai, bahkan baju yang digantung dan hanger rapi pun menjadi bahan pelampiasan dari kekesalan sang pemilik.

Brak...

Brak...

Suara hantaman semua benda menyentuh lantai. Wanita itu benar-benar sangat marah sekarang. Semua benda yang dilihatnya sudah terkapar berserakan dilantai. Ia baru saja menerima telepon untuk penolakan proposal yang diajukannya. Sekarang semua  kerja kerasnya akan sia-sia jika ia tak mendapatkan investasi itu. 

"Ma! Apa yang terjadi?" Seorang gadis bertubuh mungil, dengan kulit putih pucatnya menatap ruangan itu dengan mata terpicing ngeri. Ruangan itu terlihat sangat menyedihkan.

"Adina! Kenapa pulang nggak bilang mama, mama kan bisa jemput kamu di bandara." Ucap wanita itu yang seketika berubah girang melihat putri tercintanya.

"Kejutan!" Sorak gadis itu merentangkan tangannya sambil tersenyum manis pada Ibunya.

"Dasar gadis bandel." Rungut Vira lalu menyambut rentangan tangan Adina dengan pelukan hangat.

"Jadi apa yang membuat mamaku ini kesal, Hem?" Tanya Adina menatap mamanya dengan sayang.

The Red DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang