Chapter 13

215 12 0
                                    

Setelah menunggu lima belas menit akhirnya lampu pun kembali hidup. Zia yang menyadari posisinya saat ini berdiri sambil memeluk Bian pun segera melepaskan diri dan mendorong pria itu keluar dari kamar mandi.

"Ka..kau, bagaimana caramu dalam menangani proyek pembangunan ini, huh? Bagaiman mungkin bisa mati lampu disaat keadaan langit menggelap seperti ini." Ucap Zia sedikit tergagap merutuki dirinya yang begitu sialnya memeluk pria itu, ini semua akibat trauma konyolnya akan kegelapan, pikirnya.

"Nona Zia aku ini pembisnis, bukan petugas PLN. Juga bukan mau ku terjadi pemadaman, lagi pula sekarang lampunya juga sudah hidup kembali." Terang Bian membela dirinya, kini pria ini memilih merebahkan tubuhnya di ranjang Zia.

"Beranjak dari ranjang ku!" Perintah Zia tegas menatap ke arah Bian. Saat ini Zia sudah memakai pakaian lengkap.

"Kau memang dia." Ucap Bian seperti berbisik pada dirinya sendiri, saat memandangi Zia yang telah berdiri didepannya dengan piyama selutut dimana rambutnya yang terbiasa disanggul kini telah tergerai hingga menutupi dadanya.

"Berhentilah bertikah bodoh! Kata-kata ku yang mana yang tidak kau mengerti, huh?" Tanya Zia kesal pada pria dihadapannya itu.

"Kenapa ini harus menjadi pertemuan terakhir kita?" Ucap Bian layaknya anak polos yang ingin penjelasan lebih.

"Aku pikir itu cukup jelas, kalau aku tak ingin berurusan lagi dengan orang yang tidak kompeten sepertimu." Tuduh Zia menilai Bian.

"Bagian mana dalam diriku yang tidak kompeten? Bukankah aku sudah menjalankan proyek ini sangat baik."

"Seperti saat ini, kita ini hanya rekan bisnis, dan tujuanku kemari untuk bekerja. Tapi kau malah bersikap layaknya keka... " Zia baru saja hendak mengatakan kata kekasih, namun segera dihentikannya hal itu membuat dua alis Bian menjadi terangkat menatap Zia penuh tanya, seakan berkata, kenapa kau berhenti? Kenapa tidak dilanjutkan!

"K..kau bertingkah sok akrab dengan berada di kamarku. Kau bahkan dengan seenaknya melakukan kontak fisik padaku tadi sore. Kau pikir kau ini siapa huh?"

"Hem, coba aku pikir, siapa aku? Bukankah kita berdua tahu, kau.. aku... Kita berdua melakukannya empat tahun lalu. Sesuatu yang sangat panas." Bian berdiri sambil menopang dagunya dengan satu tangannya, lalu tangan itu melayang menunjuk Zia dan dirinya. Senyum kepuasan nampak memenuhi wajah pria itu saat melihat lawan bicaranya diam mematung.

"Bukan aku."

******
Di sebuah kamar bernuansa cream terlihat sekumpulan wanita tengah berkumpul mengeliling si wanita berperut buncit. Hari ini adalah hari perayaan tujuh bulanan janin di dalam kandungan wanita itu. Acara ini dibuat sebagai tanda syukur akan karunia Tuhan yang telah menitipkan mereka seorang bayi sebagai pelengkap mahligai rumah tangganya.

"Wanita hamil memang terlihat cantik dan sexy." Puji seorang wanita yang sedari tadi bertugas merias wajah si ibu hamil.

"Jadi, jika Lina tidak hamil. Dia akan terlihat jelek." Ejek seorang wanita yang tengah duduk di atas ranjang, dengan ekspresi menahan tawa.

"Lea!" Panggil Lina memberi peringatan lewat matanya.

"Lea kau membuat bumil marah." Ucap penata rias Lina bernama Dewi yang juga merupakan temannya. Mereka bertiga memang teman akrab sejak kuliah.

"Hahaha maaf.. maaf, bumil nggak boleh ngambek, ya. Gue bercanda doang mah. Kalau si bumil kita ini nggak cantik, mana mungkin tuan muda Deni kita lebih memilih Lina untuk dijadikan istri dari pada Zia yang jelas tunangannya." Terang Lea memuji Lina, dan berhasil membuat si bumil yang tampak cemberut kembali tersenyum bangga.

"Ya jelaslah, selain uang apa lagi yang bisa dibanggakan dari wanita ular itu." Lina menatap ke dua temannya penuh percaya diri, satu tangannya bergerak merapikan sehelai rambutnya.

"Dibandingkan Zia Lo lebih cocok di panggil ular, sahabat yang merebut tunangan sahabatnya sendiri hahaha." Lea kembali tertawa karena ucapannya sendiri. Ia sama sekali tak merasa bersalah dengan ucapan yang telah ia katakan. Sementara Dewi hanya mampu menepuk jidadnya, lagi-lagi temannya itu berkata Tampa berpikir.

"Tapi gue rasa Zia itu cantik perfek malah. Masih muda udah punya perusahaan sendiri, investor pula, bahkan walau udah punya anak umur tiga tahun tubuhnya masih kayak gadis perawan, gue heran obat apasih yang Lo kasih ke Deni sampai dia Ningfgalinffzhia."

"Ni mulut enggak bisa di rem ya!" Dewi menutup mulut Lea dengan ke dua tangannya. Berhadapan dengan Lea membuatnya ingin tertawa sekaligus kesal. Wanita itu sekali bicara bisa menyenangkan namun berakhir menyakitkan. Lina yang mendengar semua perkataan Lea mencoba menahan amarahnya, bagai manapun wanita polos itu adalah temannya. Lagian ini adalah hari bahagianya, jadi tak perlu dipikirkan.

"Lina! Lo yakin pake sepatu dengan hak setinggi itu?" Tanya Lea melihat Lina sedang mencoba highils setinggi lima centimeter.

"Yakinlah, ini kan hari gue. Jadi gue harus terlihat perfek. Apa lagi mertua gue punya perusahaan entertainment, pasti bakal banyak wartawan dan bintang-bintang ternama.

"Tapi kan Lo sedang hamil, kalau Lo jatuh gimana?" Tanya Lea khawatir.

"Tumben kali ini Lo bener Le, Lina mending Lo dengerin tu kata si lemot!" Saran Dewi, namun tetap tak didengar Lina. Wanita itu tetap kekeuh dengan kemauannya, ia pun memilih keluar dari kamarnya di lantai dua menuju ruang utama, tempat acara akan digelar.

"Bodoh." Ucap Lina melangkah dengan anggun menuruni tangga.

Di ruang utama, semua pernak pernik perayaan telah selesai di pasang. Sekarang para maid mulai menata hidangan yang akan di sajikan. Acara perayaan tujuh bulanan ini akan di mulai jam setengah dua nanti, jadi masih ada tenggat waktu kurang lebih satu jam lagi.

Deni yang sedari tadi sibuk berbincang dengan papanya dan beberapa kolega, mulai melirik ke undakan tangga. Di sana berdiri Lina yang melirik ke arahnya sambil tersenyum manis. Deni pun ikut membalas senyuman istrinya.

"Saya yakin film kali ini akan sukses besar. Melihat banyaknya dana yang akan kita keluarkan, itu akan sebanding dengan hasilnya. Pak Sutidjo memang bisa di andalkan." Seorang pria paruh baya berkepala setengah botak itu terlihat sangat yakin dengan ucapannya.

"Tentu saja, selama Bapak bersedia membantu mempromosikan proyek kami. Bapak pasti akan kecipratan untungnya." Bangga Sutidjo.

"Tapi saya dengar kali ini RM.Group akan mengawasi aliran dana yang di investasikan nya. Jika mereka menemukan kejanggalan, apa yang harus kita lakukan?"

"Tenang saja seperti biasa saya akan mengurusnya, selama kita menanam teratai di kubangan lumpur. Maka kotoran itu akan tersembunyi kan oleh keindahan bunga teratai." Sutidjo meyakini koleganya, bagaimana pun RM tidak akan pernah tahu kalau sebagian dana yang mereka investasikan minggat ke rekening pribadi Sutidjo. Sudah menjadi kebiasaan Sutidjo meminta suntikan dana untuk proyeknya melebihi dana yang seharusnya.

"Pa, apa tak sebaiknya kita berhenti melakukannya? Lagi pula perusahaan kita sudah mulai stabil lagi. Sepandai-pandainya kita menyimpan bangkai pasti bau busuknya akan tercium. Jadi berhentilah memeras Zia!" Deni mulai mengeluarkan pendapatnya.

"Jangan sok bijak Deni, ini semua karena kau! Jika kau menikahi wanita itu maka aku tak perlu melakukan hal licik ini."

"Tapi pa.."

"Sudah sana temani istrimu! Ingatkan dia untuk tidak bertingkah bodoh dengan memakai sepatu seperti itu." Ucap Sutidjo menatap tak suka pada menantunya itu. Kalau saja putranya ini lebih pintar dengan menikahi Zia pewaris tunggal RM, maka ia tak perlu memiliki menantu seperti wanita itu. Sungguh mengotori nama baik keluarganya saja.

Deni yang mendengar ucapan papanya pun beralih menatap ke bawah kaki Lina. Dan benar saja istrinya itu tengah memakai sepatu berhak tinggi berjalan melewati undakan tangga. Deni menahan nafasnya was-was, melihat istrinya denga tubuh yang telah membesar berjalan pelan ke arahnya. Syukurlah istrinya itu menuruni tangga dengan aman.

The Red DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang