Chapter 4

403 18 0
                                    

Restoran Prancis yang terkesan mewah dan juga nyaman, bergaya klasik kuno membuat siapapun akan betah berada lama di sana. Namun hal itu tak berlaku bagi Zia, ingin rasanya ia pergi membawa Rey menjauh dari restoran itu. Namun sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan dirinya untuk berpikir waras.

Bertemu mantan tunangan dan pria asing yang aneh benar-benar membuatnya gila. Apa lagi mengingat ke depannya ia akan sering berurusan dengan mereka berdua dalam urusan pekerjaan, sungguh membuat Zia merinding hanya dengan memikirkannya.

"Nama yang bagus, sepertinya kau terlihat familiar Reyhan. Apa kau.." Bian mencoba berpikir, kira-kira dimana ia bertemu bocah tampan itu.

Zia yang tak suka putranya dipandangi oleh Bian dan Deni pun segera membersihkan mulut Rey. Lalu menarik bocah itu meninggalkan ke dua pria dewasa itu. "Ayo sayang kita pergi!"

"Mom!" Rey merasakan ketidaknyamanan mommy-nya pada ke dua pria dewasa didepannya itu. Rey lirik kedua pria dewasa itu memperhatikan wajah dan penampilan mereka, lalu berlalu pergi bersama mommy-nya.

"Mom, tak apa?" Tanya Rey khawatir saat mereka telah berada didalam mobil.

"Apa mereka telah menyakiti mu, mom ? Kalau begitu biar aku hajar mereka nanti." Ucap Rey marah.

"Terimakasih sayang, mommy tak apa. Mommy hanya lelah saja, maaf karena mami Rey jadi lapar lagi. Nanti mommy pesanan daliverry aja ya nak, gak papa kan?" Sesal Zia pada putranya itu.

"Tak apa mom, asal mommy nggak sedih lagi." Senyum Rey melihatkan deretan gigi ompong nya.

******

"Apa yang kau pikirkan? Mantan tunangan mu?" Tanya Bian menatap Deni yang kini tengah mengaduk makanannya tanpa minat.

"Sudahlah bukankah kau yang memilih meninggalkannya." Terang Bian lagi, membuat Deni menatapnya dengan mata melotot.

"Tapi kenapa aku merasa tak asing pada bocah itu ya, wajahnya, sepertinya aku merasa sangat familiar dengan wajahnya."

"Tentu saja kau melihatnya dari Zia, mata cokelat berkilau dan rambut pirangnya sangat menyerupai Zia. Dan .... Sudahlah mungkin perasaanmu saja." Jelas Deni menanggapi perkataan Bian dengan malas.

"Tapi aku merasa akrab dengan bocah itu." Ucap Bian lagi

"Sudahlah, kau terlalu banyak berpikir. Setelah ini kita harus ke kantor pusat, menemui tuan besar Baskara." Ingat Deni pada Bian.

  Langsung saja wajah Bian berubah kesal. Sungguh ia kesal saat mengingat bagaimana ayah kandungnya itu mengusirnya dari kantor karena kepergok bermain wanita di kantornya. Sangat memalukan, padahal Bian hanya berniat mengetes dirinya lagi, mengenai apakah benar ia tak menyukai wanita sexy dengan belahan dada besar dan selangkangan yang memikat. Karena sungguh ia di buat frustasi semenjak empat tahun yang lalu ia menjadi pria yang tak suka disentuh oleh jari lentik dan tubuh halus selembut kapas dari makhluk ciptaan Tuhan yang paling indah itu.

    Setiap kali ia mencoba melampiaskan nafsunya kepada seorang wanita yang ia sewa, atau memberikan diri mereka secara cuma-cuma. Bayangan malam panas itu selalu melesat memasuki pikirannya, bagaimana tubuh lembut itu bersentuhan dengan kulitnya, suara desahan yang terdengar merdu di telinganya, bahkan aroma tubuh wanita itu masih jelas tercium dalam ingatannya. Sungguh memikirkannya membuat Bian menegang, namun nafsunya pun hilang begitu saja pada perempuan lain yang bukan wanita itu.

    "Argh.... bahkan sekarang aku menjadi tegang hanya dengan memikirkannya." Kesal Bian memukul kaca mobilnya dengan wajah frustasi, untung saja kaca mobil itu terbuat dari bahan berkualitas, bahkan peluru pun tak akan menembus benda hitam mengkilat itu. Kalau tidak, mungkin kaca mobilnya telah berkeping-keping karena hantamannya yang keras.

"Ini masih siang bro, berhentilah memikirkan wanita dan tubuhnya kalau kau masih waras." Ingat Deni memutar matanya pada Bian.

*****

     Malam ini hujan turun begitu deras, gemersik pepohonan menyentuh atap mesion berlantai tiga, membuat suana mencekam dan terkesan menakutkan. Apa lagi hanya diisi oleh dua orang majikan dan tiga maidnya yang tinggal di lantai satu mesion itu.

      Zia yang terkenal angkuh, sombong, berhati batu, keras kepala, egois dan tak tersentuh oleh rekan kerja dan dunia luar. Sangat berbeda kala ia berada di rumah, wanita keibuan yang sangat menyayangi putranya, berhati lembut dan baik hati bagi para maidnya. Dan sangat penyayang kepada orang-orang terdekatnya.

     Dan satu hal lagi yang tak diketahui publik dan juga orang terdekatnya, Zia adalah wanita rapuh yang kesepian, berharap mendapatkan kebahagian dari segala kerumitan hidupnya. Mencoba bertahan dari kejamnya dunia demi kedamaian putra dan hatinya.

"Mereka sangat mirip." Zia menatap nanar pada Rey yang kini tengah lelap tertidur di kasur berukuran sedang dengan selimut bermotif Spiderman menutupi tubuh mungil itu.

"Maafin mom Rey, mommy terpaksa bohong sama Rey." Zia menyeka air mata yang tanpa malu menjilati pipinya.

    Zia tahu betapa Rey ingin memiliki seorang Dady, Jia tahu hampir setiap malam Rey berdoa agar dipertemukan dengan Dedynya. Zia juga tahu betapa Rey menderita menangisi kerinduan akan Dady yang tak pernah dikenalnya. Tapi Zia tak bisa mengabulkan keinginan putra semata wayangnya itu.

     Zia terlalu takut mengambil resiko yang dipikirnya akan semakin memperburuk kehidupannya. Seorang pria? Zia sama sekali tak pernah membayangkan dirinya harus terperangkap dalam pelukan mereka. Kenangan masa lalu, selalu dikhianati orang terdekatnya, membuat Zia memilih untuk hidup di atas kakinya sendiri dan tak mau berurusan dengan hal yang berbau pria dan cinta.

"Anda belum tidur nyonya?" Tanya mbak Nani yang keluar dari balik pintu kamar Reyhan. Sudah menjadi kebiasaan bagi Nani melihat keadaan majikan kecilnya itu sebelum ia pun ikut tertidur menyusul ke alam mimpinya.

"Hmn, apa saya terlalu kejam memisahkan ayah dan anaknya mbak? Tapi saya tak yakin pria itu akan menerima saya dan Rey. Bahkan mungkin ia tak mengenal saya dan Rey." Zia menyampaikan kekhawatirannya dengan nada getir, tanpa melihat sang lawan bicara. Karena matanya masih ingin memandangi wajah putranya dengan mata bengkak habis menangis.

"Saya percaya nyonya lebih bijak dari saya untuk memilih yang terbaik untuk Tuan muda Rey." Balas Nani, yang memang ia yakin majikannya itu bisa memilih yang terbaik untuk keluarganya, melihat bagaimana wanita muda itu memimpin RM Grup menjadi semakin besar dan jaya seperti saat ini.

"Terimakasih mbak karena sudah percaya pada saya. Terimakasih juga sudah mau merawat putra saya. Saya gak tahu bagaimana jadinya Rey kalau tak ada mbak Nani saat saya tidak bersamanya."

"Itu sudah menjadi tugas saya nyonya." Ucap Nani sedikit menekuk kan kepalanya.

"Sepertinya tuan muda dan nyonya terlalu berlebihan, kedepannya panggil Rey dengan namanya saja. Bocah itu masih kecil untuk mbak Nani hormati, begitupun saya. Rasanya tak enak orang yang lebih besar dari saya memanggil saya nyonya. Apa lagi kalian yang di masion ini sudah seperti keluarga saya. Jadi saya minta kedepannya panggil nama saya saja Tanpa embel-embel di belakangnya." Terang Zia mengatakan keberatannya.

"Tapi nyonya..."

"Tidak ada tapi-tapian mbak, setelah saya pikir-pikir begini lebih baik, mbak Nani hanya bisa memilih iya atau dipecat. Hanya ada dua pilihan." Ancam Zia lalu berdiri mendekati mbak Nani.

"Baiklah Zi...Zi..a." ucap mbak Nani terbata-bata antara takut dan tak terbiasa.

"Terimakasih mbak." Syukur Zia lalu memeluk sebentar Mbak Nani.

"Kalau begitu saya ke kamar dulu mbak, sebaiknya mbak pun harus  kembali tidur." Ucap Zia  lalu pergi meninggalkan mbak Nani.

The Red DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang