Keesokan harinya mendung menghiasi setengah langit. Tidak ada yang jualan sayur, tidak ada nasi uduk, Arrel datang menjemputku ke rumah. Dengan motor hitam raksasanya terparkir dan menyalami Mama di depan rumah.
Susu di gelasku langsung muncrat ketika aku melihat Mama menawarinya sarapan bersama.
Oh, tidak. Mama mulai pilih-pilih menantu.
"Mari duduk, nak Arrel. Raib juga belum selesai sarapan. Jam tujuh juga masih lama. Mau Mama buatkan roti seperti Raib, Arrel?"
Arrel duduk dengan sedikit dipaksa Mama. Dia sungkan tentu saja.
"Tidak usah, tidak apa-apa, Tante." Arrel menolak demi sopan santun. Tapi namanya Mama tidak akan terbuai oleh basa-basi seperti itu.
Mama menyodorkan Arrel empat lapis sandwich lengkap dengan susu low fat-nya.
"Mama tau kamu pasti atlet basket, kan? Nah, ayo dimakan. Mama cuma bisa menyiapkan ini untuk sarapan bergizimu." Mama tersenyum ramah pada Arrel.
"Terima kasih banyak, Tante." Arrel menunduk ramah pada Mama.
"Tidak udah sungkan. Panggil Mama saja, oke, nak Arrel?"
Mama mengusap rambut Arrel seperti mengusap si putih dengan handuk sehabis dimandikan. Aku melongo menyaksikannya.
Arrel malah tertawa ramah, begitupun dengan Mama. Ini yang sedang pdkt anaknya atau mamanya?
Arrel memakan sandwich buatan Mama hanya dengan dua kali lahap. Astaga. Bahkan roti bakarku yang dibelah empat belum habis sedari tadi.
"Nah, ini. Masukkan ke tasmu." Kata Mama sambil menyodorkan satu tempat makan bermerk andalan Ibu-ibu ke arah Arrel. Eh?
"Dan ini untukmu, Ra. Porsimu Mama samakan dengan Arrel, ya. Kamu kan memang makannya banyak." Mama menyodorkan satu tempat makan lagi untukku.
Maksudku oke-oke saja Mama membawakan makanan untuk Arrel juga, tapi bisa tidak, tidak usah mengungkit porsi makanku didepan Arrel?
Lihat dia. Arrel sedari tadi senyum-senyum seperti orang gila. Dia menggilaiku atau Mamaku? Aku juga tidak tahu.
Aku tidak mengunyah sampai halus roti bakarku dan memasukannya langsung ke dalam mulut. Meneguk susu sampai tandas dan bangkit dari kursi meja makan.
Arrel yang melihatku juga langsung menandaskan susu-nya.
"Ayo." Kataku singkat.
Arrel membalas juga. "Ayo."
Kami berdua berangkat dengan Mamaku yang melambai sambil berseri-seri saat motor Arrel menjauhi pekarangan rumah.
Aku tidak mengucapkan apapun di atas motor. Arrel tidak menanyaiku ingin di jemput atau tidak. Dia tiba-tiba saja ada dan seperti keajaiban Mama tahu semua tentangnya.
Mungkinkah semalam mereka sempat mengobrol? Entahlah. Tapi mengingat kejadian kemarin aku jadi memikirkan Ali.
Duh. Aku bukannya sengaja mengajak Arrel. Aku bahkan lupa kalau itu tempat yang sama. Walaupun aku sudah merasa ada kemiripan.
Hubunganku dengan Ali sedang kusut-kusutnya. Ditambah lagi peristiwa kemarin. Biar ku tebak dia pasti tidak akan berbicara padaku. Alias marah.
Arrel tidak kunjung mencoba membuka percakapan denganku diatas motor. Baru ketika kami sampai diparkiran sekolah, Arrel membantuku turun sambil menyentuh dahiku.
"Kamu sakit, Ra?"
Alisku berkedut heran. "Tidak. Kenapa?"
Arrel menarik tangannya kembali. "Tidak apa-apa. Tadi kamu menyender di punggungku. Aku kira kamu sakit."
Aku meneguk ludah. Wajahku memanas. Tidak. Jangan, jangan. Apa-apaan aku ini? Sama siapa saja luluh. Murah sekali seperti isi angin ban.
Aku menggeleng-geleng untuk menetralisir rasa melambungku.
Arrel sudah merapihkan motornya. "Yuk." Katanya menuntunku menuju kelas kami.
Rasanya ada yang berbeda. Ini pertama kalinya aku pergi ke kelas dengan laki-laki lain selain Ali. Aku terpaksa menunduk. Penampilan Arrel sang ketua kelas terlalu menusuk di antara siswa-siswi kelas kami yang baru datang juga.
Aku terbirit menuju kursiku. Jam menunjukkan pukul 6.50.
Dan, yah, sepertinya ini akan menjadi hari yang berat lagi. Ali dan Seli sama-sama sudah bertengger dikursinya masing-masing.
Satu dengan wajah jahil meminta penjelasan, yang satu lagi dengan wajah horror kusut dan tidak bersahabat seperti boneka chucky.
***
Bel istirahat pertama berbunyi. Tepat setelah aku mengangkat tangan meminta izin untuk pergi ke toilet sendiri.
Di toilet aku memasuki satu bilik kosong lalu duduk di atas tutup klosetnya. Toilet mulai ramai oleh siswi yang sedang bergosip.
Aku mengeluarkan sesuatu dari sakuku. Surat dari Arrel kemarin.
Aku membukanya perlahan. Kertasnya seperti kertas pada buku notes. Kertasnya bergaris.
Aku membacanya. Itu bukan surat cinta alay seperti biasanya. Itu sebuah puisi.
Dan ada satu foto hasil jepretan polaroid. Itu aku. Itu adalah fotoku ketika sedang karyawisata ke istana negara. Ah, aku ingat seseorang membawa kamera polaroid dan Seli memintanya untuk memotret kami.
Lalu orang itu akhirnya mempersilahkan kami berfoto sendiri-sendiri. Seli meminta fotonya, sedangkan aku tidak.
Ya ampun. Itu adalah Arrel. Dia jadi perwakilan klub fotografi hari itu. Aku sama sekali tidak ingat.
Aku meneguk ludahku sendiri. Sekarang apa yang harus aku lakukan dengan surat ini? Aku tidak bisa membalas puisi seindah itu. Betul saja, bahkan aku saja dapat mengerti isi dan makna dari puisi itu dengan ilmu sastraku yang cetek.
Puisi itu sangat bagus. Arrel mungkin memikirkannya berminggu-minggu sebelum menyampaikannya padaku.
Tapi apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri.
Arrghhh. Aku dilema tingkat akut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDS • [ff Raib Seli Ali]
FanfictionTentang Raib, Ali, Seli dan orang-orang yang ada diantara mereka. 𝒐𝒏 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔 𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒔𝒉 [fanfic tokoh novel] 𝗻𝗮𝘃𝗲𝗿𝗯𝗲, 𝟮𝟬𝟭𝟴.