6

21 5 0
                                    

Hampir seminggu berlalu begitu saja. Masih dengan Aksa yang merasa berdosa dengan kejadian waktu itu. Untung saja sekarang hari Sabtu. Saatnya membiarkan tubuh bersantai.

“Aksa!”

Sepertinya Aksa mendengar suara di tengah sesi meditasinya.

Tepat sekali! Ternyata itu adalah suara Kak Mira, kakak kandung Aksa, beserta anaknya yang berusia 7 bulan. Baru kali ini Kak Mira mengunjungi apartemen adiknya setelah sekian lama. Tunggu! Ada yang aneh. Kenapa Kak Mira juga membawa perlengkapan Ican, anaknya?

“Kakak sama Ican tumben banget kesini.”

Aksa seketika menerima Ican dalam gendongannya. Kak Mira lalu menata barang-barang Ican di sofa.

“Dengerin Kakak, Ican mau kakak tinggal disini. Pokoknya tolong kamu urusin Ican sampe kakak balik dari luar kota.”

“APA? Kakak yang bener aja! Aku mana bisa ngurus bayi?”

“Gapapa sekalian latihan. Udah ah sekarang kakak mau pergi. Pesawatnya take off sejam lagi. Pokoknya kamu urus si Ican. Awas kalo sampe Ican lecet-lecet.”

“Lah? Kak! Kak!”

Ican dalam gendongan Aksa tampak tenang. 

Aksa tahu cara mengganti popok dan menyuapi bayi. Tapi bagaimana dengan menidurkan bayi? Bagaimana jika Ican menangis? Sepersekian detik Ican benar-benar menangis. Aksa gelagapan. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia ingin membuat susu. Tetapi tidak mungkin merebahkan Ican yang sedang menangis. Pasti akan lebih histeris. Haduh sulitnya.

Aksa mengambil ponsel di atas nakasnya mencari setiap kontak yang berpotensi untuk dihubungi.

Nunu? Ah tidak mungkin dia pasti akan tidur seharian di weekend dan akan sulit ditelfon.

Salsa? No way!

Tama? Dia tidak terlihat meyakinkan untuk mengurus bayi

Ah! Lana! Dia perempuan pasti tahu cara merawat bayi.

Telfon tersambung setelah detik ke sepuluh

“Lana! Tolong ke apart gue sekarang! Lu katanya mau bayar utang kan? Bayar sekarang cepet! Gue butuh. Ini urgent. Plis bantuin gue. Nanti gue shareloc apart gue.”

Lana baru saja bangun dan tidak familiar dengan situasi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lana baru saja bangun dan tidak familiar dengan situasi ini. Dia bahkan mengucek mata dan menatap riwayat panggilan.

“Siapa yang barusan telfon gue?”

“Oh.. Bang Aksa….WAIT! BANG AKSA?”

Lana beranjak dari tempat tidurnya lalu bergegas mandi dan berangkat ke apartemen Aksa. Sepertinya memang hal darurat, terdengar dari cara Aksa berbicara kepadanya.

Langkah Lana tampak gugup untuk beberapa saat sesampainya ia di depan pintu apartemen tujuannya.

Langkah Lana tampak gugup untuk beberapa saat sesampainya ia di depan pintu apartemen tujuannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekali lagi dia mengecek nomor yang terpampang di pintu itu. Seperti kebetulan, tepat ketika Lana ingin menanyakan apakah Aksa berada di dalam apart atau tidak, datang sebuah pesan darinya.

Dalam benak Lana tidak percaya. Apakah kita sedekat itu untuk memberi kode rahasia pintu apartemen? Aneh sekali seniornya ini.

Pintu yang baru saja terbuka membuat Lana kebingungan. Seribu pertanyaan muncul dalam pikirannya. Saking banyaknya dia sampai sampai tak sanggup mengutarakan satupun. Aksa paham betul ekspresi heran perempuan di depannya ini, lalu bersiap menjelaskan semuanya. Tetapi tidak sekarang juga. Lana harus membantu Aksa menenangkan dedek Ican dahulu agar berhenti menangis.

“Lan, tolong ini bayi ga mau diem gue ga ngerti.” Ican dalam gendongan Aksa makin menangis dengan keras.

“Sini coba gue gendong.” Lana membasuh tangannya dengan cepat kemudian menerima uluran Aksa.

Tangis dedek Ican berangsur-angsur reda. Aksa yang pertama kali melihatnya merasa takjub. Jadi hanya itu? Hanya dengan memindah posisi Ican yang semula terlentang dalam gendongan Aksa menjadi gendongan versi Lana yang menangkup badan Ican menjadi tegak seperti sedang berdiri. Sementara dagunya bersandar pada pundak Lana. Kaki dan tangan Ican bergerak bebas karena baru saja terbebas dari bedongan. Senyum Ican sesekali mengembang disela-sela asiknya mengisap tangan mungilnya.

Aksa bertepuk tangan dan lagi-lagi mengucapkan “Woahhh keren”
Terakhir dia mengacungkan kedua jempolnya, masih takjub dengan teknik Lana. Sesungguhnya Lana tidak mengerti urusan bayi. Dia asal saja menebak. Awalnya dia berencana untuk membawa Ican keluar ruangan. Siapa tahu bayi juga memiliki rasa jenuh berada di dalam ruangan untuk waktu yang lama. Untunglah, hanya dengan jurus menggendong, Ican sudah berhenti menangis.

Cukup lama Lana menina-bobokan Ican sampai dia tidur sangat tenang dan damai.
Ican dalam gendongan Lana terlihat nyaman.
Aksa menyaksikan sebuah harmoni disana. Entah mengapa ia teringat dekapan ibunya. Hangat dan lembut.
Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ican.
Naluri seorang ibu juga ada pada diri wanita dihadapannya itu, Lana. Pikir Aksa.

Lana dan Aksa berada di meja makan saat keduanya menikmati air mineral dingin dari kulkas. Aksa mulai menjelaskan mengapa ada Ican di apartemennya, sebelum Lana berpandangan buruk terhadapnya.

"Gue kira abang tuh duda anak satu! Ya mana mungkin percaya lah gue, orang masih suka ngemut permen gini. Hahaha" Benar yang dikatakan Lana. Aksa, senior yang lebih tua dua tahun darinya, saat ini masih asik mengemut lolipop rasa soda.

Cukup bosan dengan suasana dapur, Lana berinisiatif mengajak sang pemilik apart berpindah tempat. Disinilah mereka berdua menghabiskan sore di balkon apartemen. Berbincang mengenai pekerjaan, tentang cuaca, hingga saling mengungkit kepribadian masing-masing. Juga, pemandangan luar apartamen benar-benar sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja.

"Jadi gimana? Lu kan sendirian bang di apart, Ican gapapa sama abang sendirian?""Ya lu nginep lah disini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi gimana? Lu kan sendirian bang di apart, Ican gapapa sama abang sendirian?"
"Ya lu nginep lah disini."
"Kok gue?"
"Cuma lu doang yang berpotensial jadi baby sitter Ican"
"Enteng banget mulut lu ngomong bang"
"Please ya? Gue ga ada siapa-siapa lagi disini. Itung-itung bantuin atasan ni, nanti biar kalo ada kesempatan gue promosiin lu biar naik pangkat deh."
"Untung besok kantor libur. Janji cuma semalem ya?"
"Ga jamin. Kak Mira aja ga bilang pergi berapa hari."
"Yaudah oke."

Keputusan yang agak memalukan bagi Lana untuk tinggal beberapa hari di apartemen seniornya ini.

Suara tangisan dedek Ican terdengar hingga balkon. Ican sudah bangun dari tidur siang. Dia lapar.

"Ada ga makanannya Ican?"
"Yang ini bukan?" Aksa menunjukkan kotak yang jelas-jelas tertulis Susu Balita disana.
"Beli dulu berarti. Ini Ican dikasih susu dulu gih." Ucap Lana tanggap.

Setelah memberikan dot susu ke Ican, Aksa bergegas bersiap untuk membeli bubur bayi.

"Eh tunggu bang! Mending gue ikut deh. Sekalian ke supermarket beli keperluan yang lain. Nanti pulangnya ke kosan gue buat ambil baju."

Headline | Hoshi Seventeen FanfictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang