8

23 5 0
                                    

Ican terbangun kira-kira jam 4 pagi. Lana dengan sigap meraih Ican dan menepuk-nepuk pantat Ican agar tertidur kembali. Beruntung ia hanya terbangun sebentar.

Lana menelisik pandangan disela-sela pintu kamar yang sedikit terbuka. Aksa masih berkutat dengan laptopnya. Tanpa ragu, Lana mendekatinya.

"Oh? Lu bangun Lan?" Aksa memijit matanya lalu melepas kacamata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oh? Lu bangun Lan?" Aksa memijit matanya lalu melepas kacamata.

"Tidur dulu gih, abang juga pasti capek kan? Biar gue aja yang lanjutin."

"Udah tinggal finishing sih. Lagian gue udah biasa kali, ga tidur begini."

"Ga bisa gitu! Gantian ngerjainnya sama gue. Nanti gue beneran makan gaji buta kalo gini." Lana menarik sebelah lengan Aksa, lalu dia duduk dan mengambil alih pekerjaan senior satu timnya itu.

Aksa berbaring di sofa tepat di depan meja kerjanya. Dia meringkuk, memeluk lengannya, perlahan nafasnya teratur dan lirih. Aksa tertidur.

Lana melihatnya kasihan. Dia mengambil selimut abu-abu dari kamar dan menyelimuti tubuh Aksa, pelan. Sebisa mungkin gerakannya tidak mengganggu Aksa.
Pekerjaan ini benar-benar tidak menyisakan bagian yang berat untuk Lana selesaikan. Dalam waktu satu jam, Lana sudah menekan ikon "save". Saat itu juga dia mengirimkan berkas pekerjaannya kepada Bang Nunu untuk diperiksa.
Meregangkan badan setelah berkutat dengan laptop memang sangat memuaskan.
Dalam kesunyian pagi, Lana melihat sekelilingnya.

Apartemen Aksa terasa sangat hampa dan dingin. Perabotan yang dominan dengan warna abu-abu tidak berbeda dengan nuansa sekarang ini. Dia mulai berpikir, bagaimana bisa Aksa bertahan selama bertahun-tahun dengan pekerjaan yang berat dan melelahkan ini? Terlebih dia harus menahan berbagai kekecewaan karena Salsa yang tidak bisa menerimanya.

Lana membereskan barang satu per satu, memilah sampah, mencuci piring, dan memasak sarapan. Semoga saja Ican tidak bangun dalam beberapa menit kedepan.
Benar saja, tangisan Ican terdengar setelah Lana menyelesaikan menata piring di meja makan. Dia bergegas ke kamar untuk menjemput teman kecilnya itu.

Aksa pun terbangun karena hal itu dan satu lagi, aroma telur dadar dan ayam goreng di atas meja. Aroma nasi yang baru matang selalu menjadi favoritnya.

"Bang Aksa! Kesini sebentar!" Teriak Lana dari kamar.
"Kenapa?"
"Ini tolong gantiin popoknya Ican. Gue udah kebelet berak, sumpah udah ga kuat lagi."

Lana lari terbirit ke kamar mandi setelah memindahkan Ican ke tangan Aksa.

Bagimana mungkin mengganti popok berubah menjadi mimpi buruk Aksa? Dia mengambil sarung tangan latex, masker, dan berkali-kali mencoba membuka celana keponakannya itu. Gagal. Dia tidak sanggup dengan rasa jijik yang muncul. Keringat perlahan muncul dari pelipisnya.

Ican masih duduk tenang di atas kasur memainkan bola karetnya. Bahkan hingga Lana kembali ke kamar, Aksa masih belum berhasil mengganti popok Ican.

"Lu mau ngapain anjir, bang?" Tatap Lana heran
"Mau ganti popok lah!"
"Yaelah kirain udah kelar gue tinggal bentar"
Lana terkikik sebentar lalu membaringkan Ican. Cekatan.

"Tuh Can, om kamu gantiin popok aja ga bisa. Gimana mau jadi ayah kalo gitu.. pfftttt hahaha." Tawa Lana semakin menggelegar.

"Wah wah lu jangan coba provokasi Ican ya! Gini-gini gue jago bikin Ican ketawa ya!" Aksa kesal, bentuk bibirnya kini sudah seperti bebek. Menggemaskan. Tak lupa kedua tangannya dipinggang.

Tidak merespon, Lana justru menggendong Ican, membawanya ke meja makan. Mereka bertiga sarapan di pagi yang cerah ini. Hari ini pun Kak Mira belum akan pulang untuk menjemput Ican. Syukurlah mereka berdua sudah menyelesaikan pekerjaan tanpa ada revisi dari Nunu. Hari Minggu saatnya bersantai.

"Ican main sama Om Aksa dulu ya, tante Lana mau mandi"
"Rajin banget jam segini udah mandi!"
"Kan emang gue rajin!"
"Bohong! Pasti lu kek gembel kalo hari libur"
"Dih! Maap maap nih, gini gini gue yang naksir banyak."

Sekarang tinggal Aksa yang belum membersihkan diri. Dia masih betah memainkan ponsel dalam balutan pasangan training lusuh berwarna krim.

Lana benar-benar seperti seseorang yang berbeda saat ini. Rambut pendeknya basah dan blus selutut warna biru muda sangat cocok dengannya. Aksa hampir lupa caranya berkedip.

"Kenapa bang? Ga pernah liat bidadari?"
"Lu?"
"Iya lah! Siapa lagi? Udah deh iya iya gue tau gue cantik, tapi jangan sampe ilang kewarasan gitu dong."
"Lah? Ga kebalik?"
"Terus kenapa abang liatin gue segitunya?"
"Lu pake lipbalm gue?"
"Iya. Hehe minta dikit, abisnya lupa bawa. Hehe. Tau aja si lu."
"Wah ga bener nih. Harusnya minta ijin dulu ke gue!"
"Iya maap bang hehe udah terlanjur."

Ding dong!

Aksa berjalan menuju pintu apart. Membuka pintu...
"Hai Aksa! Kok passcode apartnya diganti sih? Kan aku ga bisa masuk." Sosok Salsa tidak dapat dipercaya menerobos masuk ke dalam apart bahkan sebelum si pemilik apart mempersilahkannya.

Salsa sedikit terkejut dengan seorang wanita dan balita dihadapannya.

"Kamu mau apa kesini?"
"Aku cuma main sama kamu. Udah lama kita ga hang out bareng." Tatapan Salsa ke arah Lana seperti ingin mengusir dia pergi.
"Aku lagi ada tamu. Kamu mending main sama pacarmu, Jo."
"Hahaha kamu benar-benar ngira kami pacaran?"
"Terus?"
"Kan aku udah bilang kalau aku masih belum ingin serius sama siapapun."
"Termasuk aku?"
"Bukan gitu! Kamu beda!"
"Terus kenapa ga pernah nerima perasaan gue?"

Disaat yang tidak terduga, Kak Mira datang membawa sebuah kopernya bersama sang suami. Hanya Kak Mira yang masuk ke dalam apart kemudian mengambil Ican.
Lana dan Aksa juga tidak mengira Kak Mira akan kembali hari ini.

Lana menyalami Kak Mira dengan ramah, memperkenalkan dirinya sebagai teman kerja Aksa.
Kak Mira tahu ini sangat canggung. Apalagi Aksa yang tidak pernah berada dalam situasi ini sebelumnya, dua perempuan berada dalam apartemennya.

Kak Mira pergi, disusul dengan Lana yang membawa sebuah tas ransel bersiap untuk pulang.

"Bang, gue pulang ya?"
"Lan, tunggu biar gue anter"
"Ga usah bang, lu lagi ada tamu."

Lana langsung melengos, mengabaikan panggilan Aksa di ujung koridor.

Aksa harus segera menyelesaikan perasaannya kepada Salsa. Dia mempertegas situasi bahwa Salsa tidak lagi istimewa dimatanya. Walaupun aneh, karena akhirnya untuk pertama kalinya Aksa sangat membeci wanita yang sudah 4 tahun dia sukai itu.

"Sal, gue udah ga ada perasaan apapun ke lu. Gue mau lu ngerti. Kalau memang lu pada akhirnya berbalik buat bales perasaan gue. Maaf banget tapi udah terlambat."

Salsa kesal. Dia pergi tanpa mengucapkan apapun.

Headline | Hoshi Seventeen FanfictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang