Bagian 40 - Jujur

51 7 0
                                    

...Nanti kamu jadi kangen.

---


Aku cerita banyak hal tentang semua kegiatanku selama lagi perang dingin sama Damara waktu itu. Begitu pun Damara, ia cerita kesehariannya di kampus sebelum memutuskan ngambil cuti.

Soal postingannya dulu yang nampak selalu bersenang-senang dengan temannya adalah foto lama. Damara cuman mau memanasiku dan bertingkah seolah gak perduli lagi denganku. Tujuannya, ya, biar aku membenci dan melupakannya. Sayangnya hal itu gagal dilakukan. Akhirnya Damara kembali ke sisiku. Rasanya bahagia banget meskipun beberapa masalah pribadi gak bisa aku ceritakan padanya, yaitu soal keuangan keluargaku yang lagi surut.

Di sela-sela obrolan kami, gak jarang Damara batuk, matanya tertutup dan mengernyit menandakan sakit yang tiba-tiba datang menimpanya. Tapi Damara gak mengeluh sama sekali. Setelah rasa sakitnya menghilang, Damara kembali membuka mata dan tersenyum padaku. Damara memintaku buat ngelanjutin cerita dan merespon lembut seperti biasa, seolah kayak gak ada suatu hal pun yang sedang dideritanya. Tapi aku gak tahan dengan apa yang aku lihat, aku gak bisa terus bersikap tegar dan berusaha gak peduli.

"Kalo sakit bilang aja, jangan ditahan, aku gak suka liat kamu nahan sendirian, Dam." Aku memotong pembahasan kami dan menangis untuk, mungkin, kesejuta kalinya.


"Udah. Aku gapapa," kata Damara.


"Pasti sakit banget, ya? Kita bagi aja, yuk, aku gak suka ngeliat kamu begini!" hatiku rasanya bener-bener teriris melihatnya yang aku yakin sedang menderita tapi dengan sekuat tenaga berusaha ditutupinya dariku.


"Jangan sampe! Cukup aku aja! Aku gak mau liat kamu kayak aku!" Damara menutup matanya kembali. Sepertinya rasa sakitnya mulai datang lagi.


"D-Damar..." kataku terisak.


"Aduuh... jangan nangis, aku lebih gak suka liat kamu nangis gini gara-gara aku. Itu bikin kepalaku pusing! Udah, Anin, aku bilang aku gapapa!" Damara sedikit membentakku. Aku terpaksa memberhentikan tangisanku meskipun aku juga harus sekuat tenaga menahannya.


"Maaf," kataku. Aku memperhatikan mukanya saksama dengan tatapan iba, namun ketika aku menatapnya seperti itu, Damara malah menertawakanku.


"Kamu kenapa, sih, Nin?" tanyanya santai, "jadi gini dikhawatirin seorang Anindia Rinjani? Aww... jadi malu, dech!" tambahnya lagi dengan nada bercanda. Aku masih menatapnya dengan tatapan yang sama.

"Kataku, aku baik-baik aja. Kamu percaya aja sama aku, aku gak bakalan mati besok, kok. Makanya jangan nangis terus kalo kamu pengen aku cepet sembuh." Damara mengucapkan itu dengan amat tenang seperti biasa.


Dalam hatiku, aku benci banget mendengar Damara mengucapkan hal itu seolah gak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi aku gak bisa bilang. Akhirnya aku hanya mengangguk dan mendengarkan Damara bercerita hal lain. Aku tahu Damara gak mau membahas penyakitnya dan larut dalam kesedihan.

~~~

Setelah cukup puas bercengkrama dengan Damara, gak lama benar saja, Meida datang. Kali ini ia gak membawa apapun. Meida lagi-lagi kaget karena kehadiranku.

"Kamu di sini lagi, Nin?" tanyanya membuka obrolan.


"Iya. Disuruh Mandeh," jawabku. Meida mengangguk.

Tentang Kamu dan Rindu ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang