“Kalau mati adalah jalan pintas mungkin sekarang gue gak akan pernah ada di hadapan lo!"
°°°
"Sekecil apapun kebohongan itu tetaplah kebohongan yang enggak bisa dibenarkan."
"Buat apa jujur kalau itu menyakiti lo, Ra!"
"Semenyakitkan apa dibandingkan bahagia atas kebohongan?"
°°°
"Cukup, Ra! Lo selalu merasa diri lo paling tersakiti. Lo gak lihat masih banyak diluar sana yang hidupnya lebih hancur dari lo! Harusnya lo bersyukur, Ra."
"Buktinya lo masih ada di sini berarti lo mampu bertahan. Berhenti mencari perhatian dari orang."
°°°
“Sebentar aja, Van. G-gue gak ku-kuat."
"Lo bisa kan telpon mas Athar atau Nakula? Bang Adrian juga nganggur. Kenapa harus gue yang selalu lo repotin?"
°°°
"Lo sembunyiin kematian sahabat gue selama ini."
"DAN LO MASIH NANYA GUE KENAPA?"
°°°
"Penyesalan terbesar mama adalah pernah melahirkan kamu ke dunia ini!"
°°°
"Lo pembunuh!"
"Itu maunya dia. Gue gak suruh dia untuk melenyapkan bayi itu."
"Lo udah gila!"
"Lo jadikan dia alat untuk mendapatkan semua yang lo mau. Lo udah hancurin fisik dia dan sekarang lo mau hancurin mental dia juga?"
"Tampang aja kayak manusia otak binatang!"
°°°
"Gue kayak gini juga karena bokap lo!"
"Gue hamil juga karena Avan!"
°°°
"Argh ... Sial, lowbatt lagi! Ayo, nyala dong bentar aja," ucap Nara sambil memukul-mukul benda pipih itu yang sudah pasti mati.
"Van, anter gue sekarang!" Nara menarik lengan cowok di sampingnya itu.
Cowok itu menepis tangan Nara. "Lo gak bisa lihat apa? Kopi gue baru dateng."
"Perasaan gue gak enak. Tadi mas At-"
"Udahlah Nara lo itu terlalu banyak mencemaskan hal yang kadang gak penting buat diperhatikan," imbuh Avan memotong ucapan Nara.
Nara menghela napas Kasar. "Tapi, ini beda perasaan gue bener-bener gak enak. Tadi mas Atala bilang dia lagi di rumah sakit."
"Terus?" Tanya Avan lalu menyeruput secangkir es kopi.
"Terus dia bilang bukan dia yang sakit."
"Terus?"
"Terus HP gue mati."
Avan tertawa pelan. "Terus lo mau kubur tuh HP?"
"Van, gue lagi serius!" Balas Nara merendahkan nada bicaranya. "Jadi, lo mau nganter gue pulang atau enggak?"
"Lo pulang sendiri bisa kan?"
Nara menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Belajar sabar dari kelakuan Avan yang kadang bikin kesabaran Nara retak.
Nara meraih tasnya yang ada di atas meja secara kasar. "Van ..."
Drrrt ... Drrtt ...
Dua pasang mata langsung teralihkan pada ponsel Avan yang bergetar di atas meja. Mata Nara memicing memperhatikan tulisan yang muncul di layar ponsel Avan.
"Kenapa? Kok panik gitu?" Tanya Nara mengerutkan keningnya bingung.
Mata Avan berkeliaran mencari alasan yang tepat untuk Nara. Ia kembali menegapkan tubuhnya, lalu menatap Nara. "Emm ... sayang."
"Clara?" Tanya Nara menyela ucapan Avan. Kali ini napasnya terdengar begitu berat.
Avan terdiam sesaat. "Lo harus ngerti dong, Ra kalau--"
"Kalau Clara selalu diperlakukan kasar sama bokapnya?" Tanya Nara.
Melihat Avan yang kembali terdiam. Nara langsung membuka suaranya lagi. "Lo selalu minta gue buat ngertiin semua kondisi lo, tapi lo gak pernah bisa ngertiin gue sama sekali."
"Clara itu beda sama lo. Dia butuh perhatian lebih," balas Avan.
"Kalau gitu lo perhatiin aja dia dan berhenti jadi pacar gue!" Tegas Nara langsung melangkahkan kakinya pergi.
"Gak bisa gitu dong! Nara!" Teriak Avan sama sekali tak di dengar Nara.
°°°
Thanks for reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi
Teen FictionKita terlalu mencintai luka yang sama, tanpa disadari kita kehilangan bahagia. - Narasi 2019 Hal yang membuat gue tetap disini cuma lo dan perahu kertas kita. - Nakula 2020 *** "Kalau mati adalah jalan pintas mungkin sekarang gue gak akan pernah ada...