Ketika satu notifikasi muncul di gawai Ibnu, napas pemuda itu tersekat. Berita perawat yang meninggal setelah terpapar virus kembali muncul. Kembali menjerat Ibnu dalam duka, menggali kenangan lama yang berusaha dia kubur sekuat tenaga. Nama istrinya kembali disebut di sana sebagai pahlawan garda terdepan yang gugur selama bertugas.
Karena tidak ada surat hasil swab yang menyatakan istrinya terpapar Covid-19, ahli waris tidak mendapat santunan sepeser pun. Santunan tidak bisa diberikan Dinas Kesehatan karena dinilai istrinya tidak meninggal karena Covid-19.
Ibnu hanya bisa menelan getir meskipun dia tahu istrinya sempat isolasi mandiri di rumah sakit dan dinyatakan PDP Covid-19 oleh dokter yang menangani melihat kondisi paru-parunya yang memburuk.
Hujan di balik kelopak mata Ibnu akhirnya jatuh, memeluk hangat sebelah pipinya. Dia mengusapnya kasar lalu mulai menginjak pedal starter motor. Berulang kali sampai otot betisnya mengeras, motor menolak menyala.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Ibnu menoleh pada sumber suara yang terdengar lantang.
"Hei, saya perhatikan keluar-masuk terus, ya? Sengaja mau nyebar penyakit?!" Masker menutupi kumis tebalnya yang naik turun setiap bicara. Suara sengaunya memantul, menembus jendela beberapa rumah hingga menelusup ke telinga.
"Ya kalau saya nggak boleh keluar, gimana saya mau berobat, Pak? Saya takut anak saya kenapa-napa. Dia ngeluh sesak napas!" balas ibu di balik gerbang deretan kayu.
"Kan lagi isolasi mandiri! Jangan keluar-masuk terus!"
Ibnu segera datang menengahi. "Sudah, Pak. Masih pagi." Mengabaikan pelototan tajam dari Pak Kumis. "Di mana, anaknya, Bu? Ayo, biar saya antar sekalian berangkat."
Dengan menaiki motor Supra yang akhirnya mau menyala, Ibnu mengantar ibu dan anak itu ke rumah sakit. Meninggalkan tas obrok berisi wadah-wadah donat yang biasa Ibnu bagikan ke warung-warung terdekat. Beberapa bulan setelah di-PHK akibat Covid-19, Ibnu perlu memutar otak untuk bertahan hidup. Dia tak bisa mengandalkan gaji perawat yang terpotong nyaris separuhnya untuk cicilan rumah sampai benar-benar gaji itu tak ada lagi untuk diandalkan.
Gebrakan di pintu hitam sempat terdengar sebagai ekspresi kemarahan karena suara Pak Kumis tidak didengar oleh Ibnu. Bukan bapak saja yang perlu didengar.
Beberapa jam setelah tes swab karena Ibnu berinteraksi langsung dengan pasien positif, selembar surat hasil swab pun berada di genggamannya. Ibnu dinilai positif Covid-19 berstatus Orang Tanpa Gejala (OTG). Ibnu diminta untuk isolasi mandiri selama sepuluh hari. Selama tidak ada pemburukan, Ibnu bisa dinyatakan sembuh tanpa perlu tes ulang.
Ibnu melapor pada Pak RT lalu beberapa menit kemudian, tembok rumah Ibnu pun ditempeli stiker Dalam Pengawasan Isolasi Mandiri.
"Saya bilang juga apa! Kamu, sih bandel dibilangin!" Pak Kas menunjuk Ibnu yang sedang mengambil wadah donat kosong di tas obroknya dibantu Manda.
"Iya, tuh, Pak! Sok-sokan bantuin orang lain. Kena sendiri kan!" balas Bu Sar, istri Pak Kumis.
Ibnu hanya balas tersenyum sebelum masuk ke dalam rumah. Rumah yang terasing di tempatnya berdiri.
=::=
Covid-19 semakin mengganas. Tanpa memberi jeda untuk bernapas, berita kematian terus bermunculan bersama tangis yang merebak dari segala penjuru. Sirine ambulans yang silih berganti pun membenarkan berita duka yang terdengar.
Ibnu masih dengan kesehariannya membuat donat untuk dijajakan. Walau warga setempat melarang Ibnu berjualan karena takut ada virus yang menempel di permukaan alat masak, wadah, atau motor, yang dipegang Ibnu. Ibnu tetap bersikukuh untuk diam. Kadang sengaja memamerkan bagaimana caranya membuat adonan dengan menggunakan hand glove dan masker berlapis di ruang tamu yang pintunya dibiarkan terbuka.
Virus tidak mungkin bertahan hidup pada makanan yang telah melalui metode pematangan dengan panas.
"Manda? Kenapa? Astaghfirullah, badan kamu panas sekali."
Hujan baru saja mengguyur bumi ketika Ibnu terbangun dalam keremangan--lampu kamar Manda belum sempat dia benarkan. Hanya lilin yang setia membakar dirinya untuk menerangi kamar Manda. Deru napas terdengar tercekik. Seperti mesin kehabisan pelumas, suara nyaring menjelas setiap dada Manda bergerak naik.
Dengan cekatan Ibnu mencari obat asma milik Manda yang ternyata sudah habis. "Manda!" Ibnu terperangah. Peluh deras menembus kulit lelaki itu ketika mendapati tubuh Manda bergetar. Kepalanya melengkung naik. Mulut Manda megap-megap berusaha menjangkau udara.
Syaraf di otak Ibnu seperti ikut sekarat. Matanya berlarian dengan gerakan acak. Rumah sakit. Hanya itu yang bisa dia pikirkan. Tapi sial! Ponselnya tak bisa dia temukan meski sudah menyibak selimut dengan kasar.
Ibnu menggendong puterinya cepat, membalutnya dengan kain tebal agar angin dingin tidak menusuk-nusuk kulit tipis Manda. Kunci motor segera dia raih sebelum melejit keluar rumah.
"Ayo, nyala-nyala-nyala!" Ibnu mengerang keras. Motor Supra dibantingnya asal.
Dia pun berlalu menuju satu-satunya rumah dengan mobil di dalam garasinya. Digedor-gedornya pintu rumah. Kepanikan membanjiri kerongkongannya. "Pak! Pak Kas! Tolong saya, Pak! Manda susah napas, Pak! Dia butuh obat! Harus ke rumah sakit!"
Cahaya sempat menyorot dari tirai kamar yang disibak kecil, sebelum gelap kembali menampar Ibnu tepat di muka. Kulitnya mengembang, penuh sesak amarah sebelum berganti pasrah.
Ibnu berlari ke rumah Pak Kumis, tetapi gerbang tinggi itu tidak mengizinkan dia masuk. Dalam kepasrahan yang luar biasa, Ibnu memekik kencang di tengah gang. "Pak! Bu! Siapa pun tolong panggil ambulans!" Tidak ada sahutan. "ANAK SAYA NGGAK KENA COVID! SEMUA ORANG KE MANA!" teriaknya frustrasi bercampur panik.
Pak RT yang rumahnya di ujung gang tampak tergesa mengenakan jaket. Dia bertanya dan menghubungi ambulans sambil berupaya mengedor pintu rumah Pak Kasas. "Pak! Pinjam dulu mobilnya! Dek Ibnu sedang butuh!"
"Dia pembawa virus! Saya punya bawaan sakit paru-paru nanti saya mati kalau kena Covid!"
Pak RT menyeru Ibnu yang lebih dulu berlari keluar gang, melompati portal sebagai batas orang luar untuk masuk ke dalam gang. Suara napas Manda yang tersedak seperti tangan yang mendorong paksa punggung Ibnu untuk berlari. Bersama tangisnya yang bercucuran, Ibnu menjerit memohon. Ya Allah, selamatkan Manda. Saya nggak punya siapa-siapa lagi. Tolong, selamatkan Manda.
Tangannya yang bergetar mengusap-usap pucuk kepala Manda. "Manda bentar lagi kita sampe rumah sakit. Bertahan, ya, Nak. Kamu kuat kayak ibu. Bertahan, Manda."
"Pak Ibnu! Ayo cepat naik!"
Kewarasan Ibnu nyaris lenyap separuh ketika cucu Bu Imas menjemput dengan motor. Nyaris jatuh ketika kakinya sulit menapak dengan benar di pijakan motor.
"Manda .... Bertahan, Nak."
Ibnu bergegas berlari menuju UGD, membawa Manda yang sudah sekian menit yang lalu tidak bereaksi. Pada harapan yang tersisa seujung kuku, Ibnu tetap berharap Manda selamat.
Rintihan putus asa Ibnu pun melolong di lorong rumah sakit. Tubuhnya meluruh seperti lelehan lilin. Dia menyerukan nama Manda meskipun tahu jiwa gadis itu sudah meninggalkan raganya.
=::=

KAMU SEDANG MEMBACA
[CERPEN] Lilin Kecil
Tiểu Thuyết ChungManusia memiliki lilin kecil di dadanya. Begitu ringkih bila tidak dijaga. Mudah mati setiap angin menerpa. Setelah apa yang terjadi, masih mampukah Ibnu mempertahankan nyala lilin di dadanya?