Bab 1

112 13 3
                                    

Di balik peti putih, ada jenazah yang baru saja dimandikan dan dikafani. Dalam kurun waktu 4 jam, jenazah yang berstatus positif Covid-19 harus segera dikebumikan.

Ibnu mengantar. Memantau prosesi pemakaman dari kejauhan. Tampak 6 orang satgas pemakaman memanggul peti jenazah. Dengan bantuan dua tali yang direntangkan di bawah peti, peti itu dimasukkan perlahan-lahan ke liang lahat. Sosok itu memeluk kembali tanah setelah sempat diciptakan darinya.

"Ya Allah, Mas," Bu Pur terisak, "Kenapa begini? Padahal biasanya beliau yang sering mengimami solat jenazah, tapi diakhir hidupnya tidak ada yang boleh datang untuk menyolati."

Atas peraturan pemerintah, jenazah dilarikan dari rumah sakit menuju wilayah pemakaman khusus pasien positif Covid. Jauh dari rumah duka. Jauh dari lokasi yang sempat keluarga harapkan sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.

Masih terlukis jelas senyum Kiai yang sempat memulih setelah mendapat donor plasma konvalesen dari darah tipe A bersyarat pernah positif Covid-19 dan telah bebas gejala selama 14 hari atau telah dinyatakan negatif. Namun layaknya senja yang tercipta sementara, senyum Kiai pun lenyap ditelan tangisan keluarga beberapa waktu setelahnya.

Balasan tak sanggup Ibnu berikan. Dadanya menyempit sampai sakit. Turut kehilangan sosok berjasa yang suaranya biasa terdengar mengisi azan atau khutbah. Hanya Al-Fatihah yang bisa dia rapalkan mengantar kepulangan Ketua DKM masjid kembali pada Sang Khaliq.

=::=

Meninggalnya sosok masyhur di RT 05 menambah kewaspadaan warga. Tak segan satu wajah diteriaki hanya karena tidak memakai masker. Pandangan sinis terlempar pada orang asing yang melintasi ruas jalan.

"Keluar terus! Nggak liat jalan diportal!" seru pria berbadan tegap. Kausnya sedikit tersingkap karena terisi perut yang serupa bola.

"Pak Kas, ini belum malam! Lagian Bu Imas warga di sini, Pak," balas Ibnu memelas yang langsung turun dari motor Supra keluaran tahun 97. Segera dia rengkuh wanita beruban yang hanya bisa menegang diteriaki seperti itu. "Bu, saya bantu lewat."

Telunjuk Kasas teracung-acung pada Ibnu yang memapah nenek itu melewati portal. "Karena orang kayak kamu ini, nih, orang-orang jadi nyepelein aturan! Tiga orang sudah meninggal dan tujuh keluarga isoman, Nu. Kalau bukan kita yang tegas siapa lagi?"

Suara keras itu menyentak dada Ibnu, mendesaknya untuk mengumpat, tetapi dia tahan agar permasalahan tidak semakin panjang. Setelah mengantar Bu Imas ke rumahnya, Ibnu kembali untuk menuntun motornya menyeberangi portal.

Pak Kasas dengan masker dan pelindung wajah transparan itu mengerang sebal sebelum masuk ke rumahnya berpintu mahoni cokelat keemasan. "Dasar susah diatur! Istrinya sudah jadi korban tetap saja ngeyel."

=::=

[CERPEN] Lilin KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang