Di belakang barisan bangunan besar, pemukiman Ibnu berada. Perlu menelusuri gang yang hanya muat satu mobil sekitar 1 kilometer untuk sampai di rumah Ibnu.
Dengan lembut, menghindari suara berdecit, Ibnu parkirkan motornya di depan rumah tipe 72 yang masih diangsur 10 tahun lagi. Matahari baru tenggelam tiga jam yang lalu, tetapi Ibnu takut membangunkan puterinya yang mungkin sudah tertidur.
"Manda? Kok belum tidur, Nak?" Didapati wajah Manda yang kusut di ambang pintu kamar setelah Ibnu masuk. Tangan gadis kecil itu meremas-remas telinga boneka kelinci yang sudah lusuh dan berbau liur. Ibnu mendekat lalu tangis Manda meledak seketika.
Tangan mungilnya menunjuk kamar yang kehilangan cahaya entah sejak kapan. Ibnu berusaha menenangkan Manda dengan menggendongnya dari depan. Kuku Manda sesekali menancap di kulit leher Ibnu.
Saklar ditekan, tetapi lampu enggan menyala. Lampu diganti pun sama saja. Ibnu menduga ada korsleting di jalur listriknya.
"Manda tidur di kamar ayah, mau?" tawar Ibnu yang dibalas gelengan keras. Manda malah menendang-nendang udara di gendongan. Manda jarang bicara, tetapi Ibnu bisa mendengar gerakan Manda. "Iya-iya. Kita nyalain lilin saja, ya?"
Seberkas cahaya memecah kegelapan kamar Manda. Di atas pisin, lilin ditempelkan. Gadis itu tidak pernah mau masuk ke kamar orang tuanya. Hanya akan ada api yang menjilati dada setiap dia mengingat ibu yang tidak pernah ada--lagi--di sana. Ibu yang jahat. "Ibu nggak sayang Manda! Ibu nggak pulang-pulang!" pikir anak itu.
Ibnu hanya bisa memberi pemahaman seadanya. "Ibu sayang Manda, tapi sekarang nggak bisa jaga Manda dari dekat. Jangan marah sama Ibu ya, Nak," jelasnya berulang kali. Tapi Ibnu tahu hanya waktu yang membuat Manda akan mengerti.
"Awas, Manda mau diterkam!" Seperti sayap yang mengepak, dua tangan Ibnu disatukan di depan cahaya lilin. Bayangan yang tercipta di dinding, memetik tawa Manda. Sebelum dua tangan mungil itu sempat kabur, tangan Ibnu lebih dulu menangkapnya. Lalu lengannya mengembang, memasukkan Manda ke dalam lingkaran lengannya. Senyum Ibnu melebar. Tawa silih bertukar.
Malam semakin larut, Manda masih sibuk bereksplorasi dengan bayangan yang tercipta dari tangannya. Sesekali dia terbatuk-batuk lalu mengeluh sesak napas. Ibnu pun buru-buru membantu memasang nebulizer portable yang terdiri dari cangkir dan corong mulut. Obat cair bronkodilator itu dimasukkan ke dalam cangkir sebelum tombol kompresor ditekan. Manda menghirup dalam-dalam obat yang berubah jadi uap di corong yang menutup area hidung dan mulut sehingga obat hirup itu menerobos langsung ke paru-parunya. Ibnu menghela napas lega melihat Manda mampu tersenyum lalu bertingkah seolah tidak ada bencana yang tadi menimpa tubuh ringkihnya.
"Manda?" Manda mendongak, menatap Ibnu di atas kepalanya. Ibnu balas mengecup lama kening Manda. Gadis mungil itu pun mengerang tak suka. Ibnu tertawa. "Hei, lihat itu! Apinya bergoyang, ya?"
Manda terdiam, memperhatikan lekat apa yang ditunjuk ayahnya. Dia mengangguk. "Itu karena ada angin yang meniupnya, Manda."
Ibnu mencoba meniup udara. Sekian detik setelahnya, kobaran api di pucuk lilin semakin berkibar.
Manda melotot. "Ayah, nanti lilinnya mati!"
Ibnu mengeratkan dekapan pada puteri kecilnya. "Sekencang apa pun angin bertiup, jangan pernah biarkan lilinnya mati ya, Nak."
Manda menunjuk lilin di dekat kakinya. "Lilin itu?"
Ibnu menggeleng. Diraupnya tangan mungil Manda. Diarahkannya pada dada gadis kecil itu. "Lilin di sini."
"Manda punya lilin?" tanyanya polos.
"Semua manusia punya, Manda. Lilinnya keciiil sekali," jelas Ibnu, "tapi selama lilinnya masih menyala, akan selalu ada cahaya untuk orang di sekitar mereka."
Ibnu mendekatkan wajahnya dengan Manda. "Manda mau jaga, 'kan?"
"Iya, Ayah."
=::=
KAMU SEDANG MEMBACA
[CERPEN] Lilin Kecil
Narrativa generaleManusia memiliki lilin kecil di dadanya. Begitu ringkih bila tidak dijaga. Mudah mati setiap angin menerpa. Setelah apa yang terjadi, masih mampukah Ibnu mempertahankan nyala lilin di dadanya?