Cahaya subuh terbit dari ufuk timur, membawa gemerlap sinar yang menyinari angkasa biru tua. Suara orang mengaji terdengar dari beberapa masjid di Jakarta, menggema dan menambah suasana tenteram di pagi hari ini.
“Bu, ini belanjaannya,” ucap penjual sayur keliling sembari mengulurkan sekantong keresek pada seorang perempuan baya.
“Terima kasih, mang,” Aisha menerima belanjaan itu dan mengulurkan beberapa lembar uang sepuluh ribu pada penjual sayur itu.
“Sama-sama, bu,” ucap si penjual.
Aisha kemudian beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam gerbang rumah. Dia meletakkan semua belanjaan di meja dapur dan mulai menyiapkan alat untuk memasak sarapan untuk pagi ini.
Di saat Aisha tengah mencuci daging di wastafel, Nadhira datang sambil memasang jarum pentul di kerudungnya. Dia pun ikut membantu ibunya untuk memasak sarapan.
“Kak,” panggil Aisha pada putrinya.
“Iya, bu,” ucap Nadhira sambil mencuci daun selada.
“Kamu, nggak ada keinginan untuk cari abi buat Rumi?” tanya ibu yang membuat Nadhira menghentikan aktivitasnya dan terdiam.
“Memang kenapa, bu?” Nadhira menoleh ke arah ibunya dengan wajah datar.
“Hem, ya nggak apa-apa. Mungkin aja kamu suka sama pemuda di luar sana. Siapapun orangnya, asal dia baik, ngerti agama dan sayang sama kamu juga Rumi. Ibu setuju,” ucap Aisha sambil memotong daging.
“Hem. Dhira masih belum bisa melupakan mas Arman, bu,” ucap Nadhira dengan senyum simpul.
“Iya, ibu paham kok. Emang tidak mudah melupakan cinta pertama, tapi kehidupan itu terus berlanjut lho,” ucap Aisa. Nadhira kembali diam dan hanya menyungingkan senyum lebar tapi matanya terlihat sendu.
Sedangkan di lantai dua dari rumah itu, Nazra terlihat sudah rapi dengan pakaian fashionable. Dia memakai make up sedikit tebal yang memperlihatkan betapa cantik dan elegan dirinya. Dia juga memakai pakaian serba warna hitam. Sangat menonjolkan sifat dingin dan keras kepalanya. Dia berjalan keluar dari kamar sambil membawa tasnya, kemudian dia berjalan turun dari tangga dan berhenti sebentar saat melihat ibu dan kakaknya tengah memasak di dapur.
“Dek, udah mau berangkat? Tumben pagi banget,” Nadhira menatap Nazra.
“Hem, aku mau ketemu Nathan,” ucap Nazra dengan santai. Sedangkan ibunya terlihat sedih dan menghela nafas.
“Kamu nggak tunggu sarapan dulu?” tanya Aisha.
“Nazra buru-buru. Aku udah ambil keputusan. Apapun hasilnya, Nazra nggak mau ditekan apalagi dijodohkan. Assalamualaikum,” ucap Nazra yang kemudian berlalu dan meninggalkan kedua wanita itu.
“Waalaikumussalam,” jawab mereka berdua.
“Kira-kira keputusan apa yang adik kamu ambil?” tanya Aisha dengan penasaran.
“Jika sepagi ini dia sudah menemui pria itu. Kemungkinan Nazra memilih Nathan,” ucap Nadhira yang membuat Aisha duduk di kursi dengan wajah kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musafir Cinta (On Going)
AventureWattys2021 - Spiritual Rasa ini layaknya perahu yang berlayar tanpa arah. Setelah memutuskan untuk menjauh dari pelabuhan lama, kali ini kembali berlayar dan menuju pada pelabuhan yang baru. Tapi kenapa layarnya sangat sulit untuk dikendalikan? - N...