Wendy langsung dibuatkan es teh lemon oleh kepala kokinya begitu ia tiba. Deanna, perempuan itu, duduk di hadapan Wendy dan mencondongkan punggungnya ke arah meja. "Tumben sekali datang ke sini di weekday."
Wendy mengangkat bahu. "Aku perlu udara segar." Ia tersenyum, lalu minum sebentar. "Mm, ini enak. Distributor lemonnya ganti, ya? Rasanya lebih segar."
"Kata penyalurnya, mereka panen dari kebun yang berbeda." Deanna menelengkan kepala. "Perlu udara segar? Hmm, sesuatu terjadi?"
Perempuan itu mengerutkan hidungnya. Ia menimbang-nimbang, Deanna adalah salah satu orang yang cukup ia percayai, sehingga akhirnya ia pun buka mulut. "Ingat ceritaku tentang man—maksudku suamiku?"
"Oh, Chanyeol Park? That hot man? Oh God—apa yang dia lakukan? Bukannya kalian sudah pisah?"
"Yeah. Tapi dia tiba-tiba muncul di depan pintuku."
"Holy—bagaimana bisa?"
Wendy mengetukkan jarinya di meja, matanya memandang pada jendela. "Menurutmu, aku harus gimana?" Ia memandang Deanna lagi.
"Kamu punya segalanya, Wendy. Kenapa masih memikirkannya. You have everything here, a life, a cute dog, kukira kamu sudah melupakannya."
"Tadinya sudah."
"Then why bother?"
"Dia datang tanpa mengabari apapun lebih dulu, meminta kesempatan kedua. Dia begitu jauh datang dari Seoul, kata Mama dia mencari alamatku di North Hatley ke sana ke mari, dan akhirnya bisa menemukannya lewat Mama Park yang bicara dengan Mama ... long story. Dia kelihatan benar-benar ingin mengulanginya dari awal ...." Wendy mengerjap. "Aku nggak bisa memutuskan, tapi dia ... dia kelihatannya tulus. Aku mengenalnya sejak kami masih remaja dan aku memahami saat-saat dia benar-benar tulus menginginkan sesuatu."
"Hmm, aku nggak bisa benar-benar memutuskan karena aku nggak berada di posisimu. Kalau aku sendiri, sih, aku bakal cuek. He betrayed my trust, no room for the second chance. Tapi aku nggak mengalami kisah cinta kalian, jadi aku nggak bisa menghakimimu."
Wendy memandang kosong pada embun di gelasnya. "Awalnya aku juga berpikir begitu. Aku nggak pernah bisa menerima perselingkuhan. Bagiku, itu artinya tamat. Mengkhianati sekali berarti dia bisa mengulanginya lagi karena sudah pernah melakukannya. No room for the second chance," ia membeo kalimat Deanna, "but, exception is acceptable, kan?"
Deanna tertawa kecil. "Itu cuma berlaku bagi orang-orang yang terlalu mencintai. Are you?"
Wendy mengembuskan napas panjang. "Mungkin."
Deanna tersenyum kecil. "Itu nggak buruk selama kamu tahu batas."
"Di mana batasnya?"
"Kamu yang paling tahu."
Wendy menghela napas.
"Kalau kamu rasa belum, maka itu artinya memang belum." Deanna menggenggam tangan Wendy dengan hangat. "Dengarkan saja apa yang hatimu katakan. Selalu ada cara jika hal-hal seperti ini memburuk, Wendy. Tapi jika menjadi lebih baik, maka kamu pasti akan lebih bahagia dari yang kamu kira."
#
Wendy bilang bahwa ia pergi ke kafenya. Ceritanya singkat, dan ia tak banyak bicara lagi sebelum berangkat pada pukul delapan. Yang Chanyeol tangkap, kafenya ada di Montreal. Satu jam perjalanan dari sini. Chanyeol mulanya ingin menawarkan diri menyetirkan untuk Wendy, tetapi dia masih ingin memberi wanita itu ruang untuk dirinya sendiri.
Chanyeol mulai menjelajah lebih jauh di rumah. Perdamaian dengan Wendy terasa seperti izin untuk mengeksplor lebih jauh, terutama lantai dua. Snow sedang tidur, Chanyeol juga tidak ingin mengusiknya jika hanya sekadar untuk main-main.
Kamar Wendy tertutup, Chanyeol sengaja membiarkannya. Dia menuju ke bagian lain, sebuah ruang terbuka yang berisi piano dan sebuah kanvas untuk melukis. Juga ada sebuah gitar putih yang disandarkan pada dinding. Ada rak buku yang besar di sisi lain dinding. Chanyeol hanya melihat-lihat, kemudian menjauh.
Ada sebuah kamar lain di sisi lain lantai atas, Chanyeol memutuskan untuk tidak mengusiknya. Kemudian, balkon. Dibatasi oleh pintu kaca dan tirai tinggi berwarna salem, tertutup tapi tidak terkunci. Chanyeol keluar dan menuju langkan. Di sana, dia bisa leluasa melihat ke arah halaman belakang. Angin semilir menyapa wajahnya, membuatnya memejamkan mata dan menikmati suasana. Untuk beberapa menit, seolah-olah tidak ada masalah di dalam hidupnya karena kesejukan dan ketenangan ini. Semua terasa baik-baik saja.
Pohon beri di pekarangan belakang memperlihatkan buah-buahan yang ranum. Dedaunan kering menutupi atap rumah kecil Snow.
Chanyeol pun memutuskan untuk turun, lalu menuju pekarangan belakang. Dia membersihkan rumah kecil Snow, dan menuju pohon beri. Dengan keranjang yang dia temukan di sudut teras belakang, dia memetik buah-buahan itu pelan-pelan.
"Hey!"
Chanyeol menoleh ke kiri dan kanan, mencari sumber suara. Ternyata dari seorang pria di depannya, di pekarangan tetangga sebelah. Seorang pria bongsor dengan rambut putih.
"Kamu baru di sini?" Dialek prancisnya terdengar kental di kalimat bahasa inggrisnya.
"Saya suami Wendy." Dia menunjuk ke arah rumah bukan untuk alasan yang pasti. "Baru datang dua hari yang lalu."
"Kukira dia single!"
Chanyeol tersenyum pahit. Well, itu benar, sampai dua hari yang lalu. "Aku tinggal di Korea."
"I see." Pria itu mengangkat tangan seakan untuk pamit. "Have a nice day!"
Chanyeol membalas dengan jawaban serupa.
Pria itu tadinya berjalan menjauh, tetapi berpaling sebentar dan setengah berteriak pada Chanyeol, "Hey, kid. Kamu anak beruntung."
Chanyeol mengerjap.
"Perempuan semanis dan sebaik dia, kukira tidak akan membagi hidupnya pada siapapun. Ternyata dia mau membaginya denganmu. You are too lucky."
Chanyeol mengangguk. "Thanks. An honor to me."
Pria itu lantas meninggalkannya. Chanyeol berdiri mematung di sana hingga beberapa saat.
#
Lantai atas kembali mengusik Chanyeol. Dia teringat pada ruang piano itu.
Wendy tidak kunjung pulang sampai sore. Dia pun sudah capek bermain dengan Snow, Snow pun sudah berlari ke atas, menerobos kamar Wendy dan tidak keluar lagi, barangkali tidur di kasurnya. Chanyeol membiarkannya, menahan diri untuk tidak mengintip meski kamar tersebut sedikit terbuka karena Snow.
Chanyeol menuju rak buku. Lima tingkat, penuh hingga ke bagian teratas. Wendy mengelompokkan sebagian besarnya berdasarkan warna, membuat rak tersebut menjadi sangat memuaskan untuk dilihat.
Bagian tengah menarik perhatian Chanyeol. Punggung bukunya tidak seragam, ukurannya berbeda dan warnanya pun tidak seteratur bagian-bagian lain dari rak. Namun semuanya di rak ketiga itu punya satu kesamaan: semuanya karya Oscar Wilde. Chanyeol mengambil salah satu secara acak, membuka halaman depannya.
Ada secarik kertas yang berisi tulisan tangan Wendy, ditempelkan dengan washi tape pada halaman sampul bagian dalam. Wendy rupanya menuliskan ulang kutipan-kutipan dari buku tersebut, lengkap dengan halaman referensinya. Ia menambahkan gambar-gambar lucu di sekeliling kertas tersebut, atau bentuk-bentuk hati karena kesukaannya pada kutipan tersebut.
Hal serupa juga dia temukan di buku-buku lainnya. Chanyeol tahu buku-buku favorit Wendy, tetapi baru sekarang dia mengetahui bahwa Wendy menyukai Oscar Wilde. Atau mungkin ini bagian dari babak kehidupan yang baru; yang dimulai sejak ia pergi dari Chanyeol? Satu sisi yang tidak Chanyeol ketahui.
Buku lain yang diambil Chanyeol memperlihatkan kutipan lain yang membuat Chanyeol terdiam,
the only difference between the saint and the sinner
is that every saint has a past,
and every sinner has a future.
KAMU SEDANG MEMBACA
none too good
FanficNorth Hatley menjadi rumah yang sangat nyaman untuk Wendy. Bolak-balik menyetir ke Montreal untuk menjalani hobinya adalah kesenangan setiap akhir minggu. Bersama Snow, samoyed yang ia adopsi beberapa bulan lalu, ia merasa baik-baik saja. Namun apak...