Pintu kamar Chanyeol diketuk pada pukul enam pagi, membuatnya sontak terbangun dan langsung duduk. Masih pusing akibat kebingungan, dia pun membuka pintu dengan pelan. Wajah Wendy menunggunya di balik pintu, mengejutkannya karena terlalu dekat.
"Eh, masih tidur? Sori. Kamu boleh tidur lagi kok."
"Nggak, aku nggak tidur," Chanyeol melebarkan bukaan pintunya sambil menggaruk kepalanya, "ada apa?"
"Aku mau olahraga pagi. Mau ikut? Mungkin kamu mau lihat-lihat lingkungan sekitar. Belum pernah keluar jauh-jauh, kan?"
"Oh—boleh, boleh." Chanyeol langsung kelabakan. Mandi dulu atau langsung? Baju, baju, baju apa?
"Nggak mandi juga nggak apa-apa." Wendy menahan tawa. "Yang penting cuci mukamu dulu. Kutunggu di teras, ya."
Chanyeol mengucek matanya. Apa dia masih bermimpi?
#
"Kamu bilang, kamu mau lihat duniaku, kan." Wendy berlari kecil untuk mengimbangi Chanyeol yang hanya melangkah lebar-lebar. "Aku suka sekali karena di sini sepi."
"Rumah di sini sudah lama?"
"Hmmm. Properti lama punya Papa. Pernah mau dijual waktu aku pindah ke Korea, tapi nggak jadi. Disewakan ke teman Papa selama beberapa tahun. Lalu kakakku juga pernah tinggal di sini sebelum ini, kurang dari setahun."
Fokus Chanyeol terbagi. Cerita Wendy menarik, tetapi ketika dia melihat sekeliling, dia tidak bisa berhenti jatuh hati. Jalan yang tak terlalu besar dan tenang, tepiannya dipenuhi rumput dan pepohonan jarang-jarang dengan rumah yang asri; benar-benar penggambaran dari impian akan kehidupan yang tenang setelah ambisi-ambisi mulai menyurut. Tidak salah Wendy mengasingkan diri di sini. Ketenangan bisa didapat hanya dengan melihat-lihat.
"Berbelok sedikit dari jalan ini, ada sungai. Orang-orang biasa memancing di sana. Mau coba? Nanti agak siang kalau kamu mau mencoba memancing."
"Kurasa nggak. Tapi aku mau lihat-lihat."
Wendy berlari lebih cepat, Chanyeol pun akhirnya juga turut berlari untuk mengejarnya. Jalan itu agak menikung, dan setelahnya Chanyeol bisa melihat aliran sungai dengan area tepian yang dibuat berkayu, bercat putih, cocok untuk bersantai atau sambil memancing. Matahari belum terlihat di kejauhan, tetapi langit mulai terang sedikit demi sedikit. Di salah satu pekarangan, Chanyeol juga melihat seorang pria berolahraga pagi, cuek pada mereka. Chanyeol pun menaikkan tudung hoodie kelabunya saat melewati orang tersebut.
"Wendy."
"Ya?"
"Tempat makan favoritmu di sini di mana?"
"Hmm. Di tengah-tengah kota ada restoran yang punya olahan salmon yang paling enak yang pernah kucicipi. Tapi mereka cuma menyediakannya tiap akhir minggu. Sisanya, aku lebih suka masak sendiri."
"Bahan-bahan masih ada? Nanti kita masak bareng, yuk."
"Masih. Nanti kita lihat, ya, kita bisa masak apa." Wendy memelankan langkah larinya. "Tapi selain itu, aku suka menu di kafeku." Ia nyengir, mungkin untuk yang pertama kalinya sejak Chanyeol datang. "Kepala kokiku hebat banget."
"Bawa aku ke sana."
"Agak sore, bagaimana?"
"Boleh."
Wendy kembali lari lebih cepat. Chanyeol tidak perlu susah payah mengejarnya.
(Baik secara harfiah, maupun tersirat.)
#
Wendy berjanji untuk pergi ke kafe agak sore rupanya karena ia punya janji lain dengan salah satu tetangganya siang itu. Salah satu kenalannya, yang rumahnya berada di ujung jalan, sempat ia tunjukkan tadi pagi, meminta bantuannya karena anaknya akan ikut lomba vokal minggu depan. Orang itu percaya Wendy, seorang penyanyi profesional, bisa membantunya, sehingga kursus kilat selama dua jam mungkin akan memberi anak itu banyak tips.

KAMU SEDANG MEMBACA
none too good
FanfictionNorth Hatley menjadi rumah yang sangat nyaman untuk Wendy. Bolak-balik menyetir ke Montreal untuk menjalani hobinya adalah kesenangan setiap akhir minggu. Bersama Snow, samoyed yang ia adopsi beberapa bulan lalu, ia merasa baik-baik saja. Namun apak...