Sani membetulkan kemejanya di depan cermin toilet wanita. Kulitnya yang putih mulus mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin, jujur dia terlihat agak grogi karena interview ini akan menentukan kelangsungan hidupnya. Setelah cuci muka dan sedikit berbedak agar dirinya terlihat segar, dia mulai memejamkan matanya
Aku harus mendapatkan pekerjaan ini
"Sani, ini lowongan kerja terakhirmu yang tersedia." Gumamnya pada diri sendiri. Tidak banyak lowongan part-time yang mau menerima calon pekerja di bangku SMA alias masih murid, maka ketika Sani yang masih kelas 2 SMA melihat iklan lowongan pekerjaan ini di koran, diambilnya kesempatan itu tanpa membaca dua kali.
Pelan-pelan dia membuka matanya, menatap cermin untuk sejuta kalinya, berharap para pewawancara nanti tidak mendengar detakan jantungnya bermain marching band.
***
"Bagaimana? Tidak ada satupun dari mereka yang terlahir dengan tanda?" tanya Lin frustasi. Laki-laki yang berusia cukup muda itu sama sekali berbeda dengan tingkah lakunya, Kata 'Bos' sangat menempel pada gelarnya yang sudah menjadi CEO Bisnis Pariwisata di usia 18 tahun.
"Sayangnya tidak ada." Jawab seorang wanita dengan lemah. Wajahnya yang lelah menandakan dia telah menghabiskan terlalu banyak tenaga.
"Sudahlah, bos. Kan masih ada satu orang lagi. Kalaupun hari ini tidak ketemu, bisa ambil waktu-waktu lain. Kau tidak bisa membuat Tanjung bekerja terlalu keras." Sergah Dana.
Baru saja Lin ingin membalas komentar Dana, namun seketika pintu ruangan dibuka pelan...
Kriek..
"Ehm, maaf. Apakah ini benar ruangan untuk tes wawancara part-time?" Sani melongokkan kepalanya ke dalam ruangan dengan gugup.
Sani gugup karena bingung, apakah dia salah masuk? Kenapa orang-orang di sini terlihat seperti remaja semua?
"Oh, ya. Silakan duduk di sini." Intruksi Dana dengan tersenyum. Jarinya menunjuk kursi yang berposisi di depan mejanya. Meja untuk pewawancara part-time itu ada tiga dan berformasi huruf U. Masing-masing dari kursi pewawancara menghadap ke peserta.
Seorang wanita yang duduk di tengah sepertinya memiliki umur yang sama dengan Sani ia berambut cokelat gelap dan bergelombang, ketika Sani melihatnya, wanita itu tersenyum manis kepada Sani, manis sekali hingga lesungnya terlihat di dua belah pipi. Sani membayangkan orang itu pasti mempunyai banyak penggemar, laki-laki tidak akan berpikir dua kali untuk menggebetnya.
Sebaliknya dari itu, di bagian kanan terlihat wajah seorang pria remaja, wajahnya keras, berdada bidang (terlihat dari pakaian formal warna hitamnya yang agak ketat), dan terlihat kasar, tapi ada sekelumit kelembutan yang terpancar dari matanya.
Lalu di samping kiri, ada seseorang yang... perawakannya aneh, dia memberi Sani senyuman, tapi bukan senyuman lembut atau profesional khas pekerja yang diterima Sani, entahlah, melihatnya membuat bulu kuduknya sendiri merinding.
Kursi Sani berdiri tegap di antara mereka. Mau tak mau Sani gugup karena merasa terkepung. Ia menempatkan tubuh di kursi, lalu membuat posisi yang tegap, ia berharap dirinya tidak terlalu terlihat grogi.
"B..baik, saya siap." Jawab Sani gagap.
Sial, kenapa aku gagap pada saat seperti ini.
"Jadi, apa ekspektasimu tentang pekerjaan yang akan kamu dapatkan untuk par-time ini?" tanya orang berwajah kasar basa-basi, Sani membaca nama orang itu di ID Cardnya. Ma Lin Kun, hm? Apakah dia orang Tiongha? Dia tidak terlihat seperti orang Tiongha sama sekali. Matanya tidak sipit, kulitnya agak sedikit cokelat, rahangnya keras dan berbentuk persegi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahulu Kala
FantasíaMenurut dirinya, Sani adalah seorang remaja biasa. Namun pikiran itu pupus ketika dia mengikuti interview di sebuah pekerjaan pariwisata, yang mengatakan dia adalah tokoh cerita rakyat.