Part 3: Terkuak

229 32 26
                                        

Caution: Bagi readers yang sedang makan, tolong habiskan dulu makanannya, baru baca chapter ini ya. Terimakasih banyak!

---

Lin masuk ke ruang kerjanya, di sana Tanjung dan Dana sudah menunggu. Lin menoleh kepada Dana yang masih terlihat baru bangun tidur,

“Dana, gajimu bulan depan tidak akan kuberikan.” Kata-kata itu bagai halilintar bagi Dana.

“Ayolah, hanya sedikit waktu tidur siang saja tidak akan bermasalah.”

“Tapi kita tidak punya sedikit waktu lagi! Dia sudah terkena kutuk!” Lin frustasi.

“Sungguh? Maksudku... ya memang dia cepat atau lambat akan terkena kutukan, tetapi jarang sekali ada yang secepat ini. Apa yang dia terima?” Kepala Tanjung masih belum bisa mencerna apa yang terjadi.

“Entahlah, dia melakukan hal yang...tidak normal.”

“Tidak normal bagaimana?” Dana bertanya sambil menginput data Sani di laptopnya.

“Sangat tidak normal, kau ingat Rendang langganan kita yang enak itu?”

“Oh ya! Tak bisa kulupakan rasa gurih dan bau harum Rendang itu! Kau mau mentraktir kita?” Mata Dana berkerling, perutnya seketika keroncongan, hidungnya kembang kempis, berharap masih ada jalan keluar untuk makan enak walaupun uang di dompetnya sudah menipis, ditambah lagi dia tidak akan menerima gaji untuk bulan depan.

“Tidak,” jawab Li pendek. Hilanglah harapan Dana, ”aku membawakan makanan itu kepada Sani dan adiknya yang bernama Ligo, hanya Sani yang muntah-muntah tak berhenti, katanya Rendang itu berbau busuk, dia seperti mencium bau... kotoran.”

“Kotoran?” Tajung bertambah bingung.

“Ada lagi? Seperti latar belakang keluarganya?” Tanya Dana.

“Dia mempunyai seorang adik, dan sepertinya mereka pernah mempunyai masalah kepada seorang wanita.”

“Siapa wanita itu?” tanya Tanjung. Lin menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bagaimana dengan kondisi rumahnya?” Tanya Tanjung lagi.

“Dia tinggal di kost. Dilihat dari situasinya, hanya Sani yang membiayai kehidupan mereka.”

"Kenapa?" Lin menggeleng lagi.

“Itu saja? Tidak ada lagi? Apa sih yang kau kerjakan di sana, Lin?” Omel Dana.

“Bagaimana bisa aku mengetahui lebih banyak lagi? Ketika aku mau bertanya, dia sudah mulai terkena kutuk, aku tidak sesadis itu untuk terus tinggal di sana.”

“Dan dia mempunyai adik. Ini akan menjadi tanggungan berat baginya.” Kata Tanjung sambil menerawang jauh, mengingat sesuatu di masa lalu yang mengubah hidupnya selamanya.

“Hei Lin. Sepertinya aku menemukan apa yang kita cari.” Dana memiringkan laptopnya menghadap Lin. Mempampangkan sesuatu.

“Kerja bagus!” kata Lin sambil tersenyum. Dana melengos bangga. “Tapi kau tetap tidak mendapat gaji bulan depan.”

“Apaaa? Hei, tapi katamu barusan aku bekerja dengan bagus?” Erang Dana.

“Soal ini dan itu berbeda sekali.”

“Tapi berdasarkan katamu barusan... hoi dengarkan aku!” upaya Dana untuk menghasut bosnya tidak didengarkan. Tangan Lin mengambil  handphone dari saku celana.

“Diamlah sebentar, ada panggilan telepon dari nomor tak kukenal.”

+628******* is calling

Dahulu KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang