Sani merasa sesak untuk beberapa detik, tidak bisa memproses apa yang ada di depannya sekarang.
Tarik napas, buang. Tarik napas, buang.
Sani melihat lagi pada telapak kaki Lin, pelan-pelan jari kaki yang membatu kembali lagi menjadi daging.
"B...bagaimana bisa?" kata Sani terbata.
"Yah, ini hanya efek samping dari menjadi tokoh cerita rakyat."
Apakah aku terlalu gegabah untuk menampakkannya? Tapi itukan cuma jari kaki yang jadi batu, memangnya semenakutkan apa sih?
Sani yang shock kembali normal, namun raut mukanya malah menjadi khawatir, "Apakah karena aku sudah menjadi tokoh cerita rakyat maka aku akan berubah jadi batu juga?" tanya Sani.
"Kau tahu cerita Malin Kundang bukan?" Sani tahu. Malin Kundang adalah cerita rakyat berasal Sumatera Barat, bercerita tentang anak yang durhaka kepada ibunya lalu berubah menjadi batu...
"Yah, karena aku tokoh Malin Kundang, aku mendapat efek samping bisa berubah menjadi batu." Jelas Lin sambil memakai kaos kaki kembali. "Tapi menurutku itu bukan efek samping, melainkan berkat. Aku tidak harus pakai pakaian anti peluru ke mana-mana, menghemat uang bukan?"
Ma Lin Kun... Ma Lin Kundang. Sani merenungkan nama panjang Lin. Semuanya tampak jelas sekarang.
"Halo? Ada orang?" kata Lin sambil menjetikkan jemarinya di dekat telinga Sani, membawanya ke realita.
"Ehh..." Sani tersentak kaget, "Ehm, Pakaian anti peluru katamu tadi? Buat apa?"
"Menjadi CEO muda itu tidak gampang, banyak yang mau mengambil nyawaku, terutama dari saingan kerja." Jelas Lin. Sani membuka mulutnya, rasa ingin tahunya sungguh sangat besar, tokoh cerita rakyat, efek samping, semuanya sangat baru bagi kehidupan Sani, namun begitu ia ingin bertanya lagi, Ligo membuka pintu dan masuk ke dalam kamar kostnya,
"Permisi. Ini kak Lin? Terimakasih sudah mampir." Sapa Ligo dengan sopan. Sani menutup mulutnya, Lin mengerutkan alisnya, menampilkan muka 'Bukannya kamu masih ingin tahu lebih banyak?' Tapi Sani hanya menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin membawa-bawa Ligo pada situasi ini.
"Ya, namaku Ma Lin Kun. Salam kenal." Lin memberikan kartu namanya pada Ligo sambil tersenyum.
"Terimakasih kak." Jawab Ligo.
"Hei Sani, cepat sediakan sendok buatku. Aku ini bosmu tahu, sopanlah sedikit seperti adikmu." Titah Lin.
"Bos?" Ligo bertanya-tanya, lalu melihat ke kartu nama yang dipegangnya, terpampang nama Lin sebagai CEO perusahan pariwisata, beserta nomor telepon kantor. Mata Lin membelalak.
Eeeh, jadi yang duduk di depanku ini seorang CEO?
"Kau bukan bosku! Sudah kubilang aku masih menolak pekerjaan itu!" Sani membantah.
"Kakak menolak pekerjaan itu? Kupikir kakak gagal dalam sesi interview." Lin tertawa.
"Aku tidak semenyedihkan itu, Ligo." jawab Sani dengan cemberut.
"Sudahlah, ayo makan dulu. Akukan beli rendang, makanan favoritku." Lin memegangi perutnya kelaparan. Ligo tersenyum, lalu beranjak mengambilkan sendok dan air minum.
Setelah mengambil sendok masing-masing, mereka membuka bungkus Rendang, terpampang segumpal daging berwarna coklat yang tampak baru dimasak, dengan sambal hijaunya yang akan menendang lidah siapapun, apalagi bumbunya yang gurih, dengan dagingnya yang kenyal, ditambah juga daun pepaya mudanya, hm..... Namun ada sesuatu yang membuat hidung Sani gatal. Sani mulai mencium rendang di bungkusnya,
"Lin! Kau membawa makanan busuk! Dasar cowok tidak sopan!" Sani mual mencium rendang yang dibawa Lin. Lin mengernyit bingung.
Jelas-jelas tadi aku beli Rendang yang baru dimasak.
Ligo ikut mencium Rendang Sani, tercium bau gurih rempah-rempah Rendang yang membuatnya bertambah lapar,
"Baunya enak kok kak. Kak San ada-ada saja."
Huh?
"A... aku tidak berbohong Ligo." Sani keras kepala. Lin ikut mencium bau makanan Sani. "Kau tahu kan dari dulu kita mendapat makanan tidak enak dari wanita itu dan aku masih ingin memakannya. Aku sangat menghargai makanan, apalagi pemberian orang lain." Ligo mengangguk-angguk mengerti.
"Baunya enak, San. Sungguh." Kata Lin sambil memikirkan kata-kata Sani.
Wanita itu? Siapa dia?
Sani mencium sekali lagi Rendang yang dibawa Lin, namun alih-alih bau harum khas Rendang yang tercium, hidungnya merasakan bau busuk, aroma yang menusuk hidungnya, mengisi paru-parunya seperti asap beracun, mendorong badan Sani untuk pergi ke kamar mandi dan mengeluarkan muntahan, walaupun tidak ada sesuatupun yang bisa dikeluarkan dari perutnya.
"M... maaf, baunya busuk sekali Lin." Ucap Sani setelah keluar dari kamar mandi. Bau busuk itu semakin menyengat. Mungkinkah dia sakit?
"Ligo, kau bagikan saja Rendang itu ke teman kamar kost sampingmu, aku tak apa. Lin maaf atas perlakuanku ini. Bukan maksudku tidak ingin makan Rendangmu. Jangan tersinggung ya."
"B...baik kak. Kalau kakak merasa aneh-aneh lagi, langsung teriak saja ke kamarku." Jawab Ligo sambil keluar kamar Sani dengan Rendang pemberian Lin. Pikirannya bertanya-tanya atas kondisi aneh kak Sani. Lin masih duduk di tempatnya, sambil mengambil satu bungkus Rendang miliknya, diliriknya tato di tangan Sani yang mulai berpendar merah terang berganti menjadi merah gelap seperti darah.
"Yah, tak apalah. Sepertinya kau agak tak enak badan, aku pulang saja kalau begitu. Permisi dulu." Lin berdiri sambil menepuk pundak Sani.
"Y...ya." Sani merasa agak tidak enak melihat Lin pulang seperti diusir.
***
Lin keluar dari kamar kost Sani dan berjalan menuju mobil sportnya, mata beberapa wanita di pinggir jalan melirik Lin seperti tertarik magnet dan mulai mengeluarkan suara beberapa oktaf untuk mencari perhatian. Lin yang ingin merupakan sasaran tidak menunjukkan ketertarikan sedikitpun, dianggapnya wanita-wanita itu seperti angin lalu, menyebabkan mereka melengos pergi.
"Dasar sok jual mahal." Kata salah satu wanita tersebut. Tapi sekali lagi Lin tidak mendengarnya sama sekali.
*Tit*Tat*Tut*Tut* Dia menekan kombinasi nomor di handphone,
"Halo?" kata Tanjung.
"Hai, apakah Dana tidur?" jawab Lin frontal.
"Eh... Enggak kok." Tanjung mencubit hidung Dana yang sedang tidur pulas di kursi.
"Ohok.. ohok." Dana terbangun kaget. Lin dari mobil sportnya yang mendengar batuk Dana mulai merekam pada pikirannya untuk mengurangi gaji Dana bulan depan.
"Suruh Dana cuci muka dan mulai bekerja... Sepertinya kutuknya sudah dimulai."
-------
Hai guys, sorry ya kalo postingannya tentang Rendang, maklum penulis lagi lapar. Kalau ada yang mau kasih saran makanan asli Indonesia yang lain boleh komen kok (^.^), kali aja bisa dimasukin buat next chapter. Thank you very much.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dahulu Kala
FantasiMenurut dirinya, Sani adalah seorang remaja biasa. Namun pikiran itu pupus ketika dia mengikuti interview di sebuah pekerjaan pariwisata, yang mengatakan dia adalah tokoh cerita rakyat.