"Ada apa kak Sani?" Ligo melihat kakaknya yang sedang memijat dahi lewat spion depan. Mobil mereka sedang dibiarkan dalam keadaan hidup di lahan parkiran perusahaan Lin, sedangkan pemilik mobil tersebut dengan kolega-koleganya meninggalkan kakak beradik itu sendirian untuk mengurus sesuatu.
"Uang rumah sakitku Ligo. Aku tak tahu bagaimana harus mencari uangnya. Kondisiku masih belum pulih, aku tidak bisa berjualan dan memasak untuk dititipkan di warung-warung," kata Sani lirih. Ini pengalaman pertamanya selama beberapa tahun ia hidup sendirian dengan Ligo, mereka jarang sekali terkena sakit-penyakit karena takut dengan biaya mahal obat yang tak tentu bisa mereka tebus. Dan sekarang pada saat kebutuhan mereka mulai menumpuk, Sani memarahi dirinya sendiri yang malah opname.
Mendengar keluh kesah kak Sani, Ligo mulai menelan ludahnya, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu datang.
Oke.. bagaimana bisa aku menjelaskan ini?
"Eh kak." Kata Ligo pelan, mencoba memulai percakapan baru.
"Ya?"
"Jangan marah ya?" tanya Ligo. Tiba-tiba ditanya seperti itu membuat perasaan Sani mulai tidak enak.
"Memangnya kenapa?"
....
Ada keheningan yang mencekam untuk beberapa detik.
"Ligo.... mendaftarkan kita untuk jadi pekerja sambilan di perusahaan ini." Sani mendelik. Pekerjaan yang mentah-mentah ditolaknya diambil lagi oleh Ligo dengan enteng.
"Jadi, selama beberapa hari ini kau tidak ke kamar inapku gara-gara itu?" tanya Sani. Ligo mengangguk.
"Saat itu Ligo harus mengurus berkas-berkas Ligo dan kak Sani. Agak susah memang, Ligo harus pergi ke sana kemari untuk minta tanda tangan ke sekolah dan wali orang tua. Ditambah lagi karena pengaruh kutuk menghambat gerak Ligo," jelasnya. Sani menghirup nafas dalam-dalam, semerbak pengharum AC berbau jeruk menggelitik hidung mancungnya, mendinginkan sedikit darah yang sudah bergelembung mendidih di ujung kepala. Dia merasa hari ini adiknya telah memberi kejutan-kejutan besar.
"Bagaimana bisa aku masuk juga? Tidak ada tanda tangan di formulirku bukan?" tanya Sani lagi ketika sudah agak tenang. Dia heran bagaimana adiknya bisa mempunyai pikiran untuk masuk perusahaan Lin.
"Ehm.... soal itu dibantu kak Lin. Katanya formulir kak Sani sudah beres ketika interview kemarin. Jadi yah, selanjutnya sudah lebih mudah," kata Ligo pelan, masih takut.
Benar juga, aku tidak memberi surat keterangan untuk menolak pekerjaan itu. Dasar bodoh!
"Tapi, bagaimana itu bisa membantu keuangan kakak, Ligo? Gaji pekerjaan sambilan juga pasti tidak seberapa besar."
Ligo menjawab, "Kak Lin menjanjikan akan membayar uang rumah sakit kak Sani jika kita bekerja di perusahaannya." Ini membuat Sani makin terkejut.
Lin yang itu? Memberi janji seperti itu?
"Dia sudah membayar semuanya?" Ligo mengangguk. Sani masih menolak untuk percaya, namun tak mungkin Ligo berbohong. Lin yang dikenal Sani adalah orang yang cuek kelas berat, semaunya sendiri dan suka memerintah orang lain seenaknya. Mungkin dia telah salah menilai orang.
"Tapi, 50 persennya dimasukkan sebagai hutang kak. Biar kak Sani tidak kabur dari perusahaan, katanya. Sepertinya dia menganggap kak Sani akan hilang kontak setelah menerima belas kasih yang besar itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahulu Kala
FantasyMenurut dirinya, Sani adalah seorang remaja biasa. Namun pikiran itu pupus ketika dia mengikuti interview di sebuah pekerjaan pariwisata, yang mengatakan dia adalah tokoh cerita rakyat.