"Untuk menghilangkan kutuk, diperlukan sesuatu yang bisa membuat tubuh imun terhadap kutuk tersebut." Jelas Lin.
"Jadi ritual itu semacam imunisasi?"Tanya Sani. Tanjung mengangguk.
Sesimpel itu penjelasannya?
Ting tong tirong...., Suara dering ringtone Dana berbunyi, tanda ada pesan masuk.
Selama beberapa detik Dana terdiam kaku melihat nama kontak yang terpampang di layar HPnya, perasaannya agak tidak enak, dibukanya pesan singkat itu untuk beberapa saat, lalu menengadah, memandang Tanjung dan Lin.
"Hei... Adik Tanjung tidak bisa datang... lagi." Kata Dana, membuat suasana di kolam renang menjadi kaku. Entah mengapa.
"Memang peran adik Tanjung di cerita rakyat sebagai apa? Pentingkah?" Ligo bertanya dengan polos. Tapi sekali lagi suasana menjadi semakin kaku, tidak ada seorangpun yang ingin membuka mulut mereka, pemilik tiga pasang bola mata yang bewarna cokelat indah itu hanya melihat lurus bertatap-tatapan hampa.
Sani yang merasa kurang enak dengan situasi mencekam itu ingin mencoba mengalihkan topik,
"Omong-omong soal ritual nanti... Apa nama tokoh cerita rakyatmu, Dana? Semua rasanya sudah membuka nama mereka kecuali kau."
Usaha Sani gagal total. Alih-alih mengubah suasana menjadi gembira, suasana di tepian kolam itu malah semakin mencekam. Muka Dana berubah suram dan muka Tanjung setiap detiknya semakin pucat. Hanya Lin yang terlihat seperti biasanya. Memang orang itu hanya punya sedikit eskpresi.
"Mari kita jangan bahas masalah itu." Kata Dana sambil tersenyum, tapi guratan senyumnya tidak sampai ke binar dua bola matanya, hingga tindakan orang itu menyerupai aktor murahan yang sedang berlagak tertawa lepas.
"Baiklah, ayo kita mulai ritualnya. Toh darah adik Tanjung juga masih ada." Kata Lin sambil menggoyangkan isi botol kecil setinggi jari kelingkingnya. Sani menyipitkan mata, memang ada sedikit darah yang beriak mengikuti gerakan tangan Lin di sana, tapi tak banyak, mungkin tinggal beberapa tetes yang tersisa.
"Yah... lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali." kata Tanjung lirih sambil mencoba tersenyum, Dana hanya mengangguk kaku. Mereka berdua mulai memapah Sani dan Ligo untuk masuk ke kolam renang.
"Sani..." kata Tanjung di sela-sela ritual. Sani menoleh.
"Ya Tanjung?"
"Maafkan aku tadi agak tidak sopan... Aku... aku akan menceritakannya lain kali."
"Hei tidak usah dipaksa, nanti juga akan mengalir sendiri." Kata Sani sambil mempererat lengannya yang ada di pundak Tanjung. Sani tahu, bahwa tiap orang mempunyai bebannya sendiri, tidak baik untuk menarik apa yang ada di dasar, karena misalkan rahasia-rahasia seseorang adalah sebuah tumpukan buku, bila ada seorang pembaca yang tidak sabar dan langsung menarik buku yang terletak di paling dasar, bisa saja buku-buku di atasnya runtuh, tertimbun secara acak, ditambah jika ada yang rusak. Apalah yang bisa didapat dari sana? Tidak ada.
Mereka berempat berjalan sampai di tengah kolam renang, Lin dengan hati-hati melepas tutup botol kecil itu, berharap isinya tidak tumpah karena tiap tetesnya berharga. Dengan jari-jari rampingnya, ia meneteskan satu bulir darah ke kolam renang. Seketika juga, kolam renang yang sudah berbau bagai taman bunga itu semakin menyerbak dan menyengat kuat, air kolam beriak seperti ombak lautan, tapi tidak ganas, air yang tadinya bewarna bening mulai memancarkan sinar putih bagai rembulan yang lembut membelai mata.
"Uuuh, hidungku selalu gatal ketika mencium bau yang kuat seperti ini." Keluh Dana, tapi sepertinya tak ada yang mendengar, terlebih adik-kakak yang baru pertama kali melihat kejadian ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dahulu Kala
FantasyMenurut dirinya, Sani adalah seorang remaja biasa. Namun pikiran itu pupus ketika dia mengikuti interview di sebuah pekerjaan pariwisata, yang mengatakan dia adalah tokoh cerita rakyat.