"Ehm... Kalau ada butuh apa-apa..."
"Saya akan memanggil anda. Saya mengerti." Sani memotong kata-kata suster itu. Dia sangat tidak ingin diganggu sekarang. Setelah suster itu keluar Sani menaikkan sandaran tempat tidurnya.
Aku tidak percaya apa yang mereka katakan! Dari semua orang, mereka ingin mengambil Ligo juga?
Sani merasa sakit di kepalanya bertambah ketika ia mulai mengingat kata-kata Lin tadi.
"Aku tak akan meninggal cepat." Berkali-kali Sani bergumam hal yang sama, mengulangi kata-kata itu untuk meneguhkan hatinya, namun terasa seperti fatamorgana, dengan suaranya yang parau putus asa.
Setelah beberapa saat, Sani memandangi tempat tidur yang tadi diacak dengan kaki, berpikir apakah memang perilakunya tadi tepat. Lalu pandangannya berhenti pada setumpuk kertas di ujung tempat tidur.
Tidak! Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak ikut campur lagi urusan ini!
1 menit Sani tidak berbuat apa-apa.
2 menit...
3 menit....
"Ah sudahlah, toh membaca saja tidak akan mengubah apa-apa." Sani menyerah, diambilnya kertas itu , dititinya kata demi kata.
Tampe Ruma Sani
Cerita ini berasal dari Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Pada dahulu kala, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Ruma Sani, "Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?"
"Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan", jawab Tampe Ruma Sani sambil berjalan cepat.
"Siapa nama adikmu?"
"Mahama Laga Ligo", jawab Tampe Ruma Sani. "Mengapa bukan adikmu yang memasak?"
"Adikku masih kecil, belum bisa memasak." Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
"Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu", kata janda itu dengan manis.
"Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah." Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani tidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dahulu Kala
FantasiMenurut dirinya, Sani adalah seorang remaja biasa. Namun pikiran itu pupus ketika dia mengikuti interview di sebuah pekerjaan pariwisata, yang mengatakan dia adalah tokoh cerita rakyat.