bagian 5.

335 31 10
                                    


Dari dalam lift terbuka, tampak oleh Tae punggung gadis yang menunggu didepan pintu unit apartment. Kemunculan Tae tanpa suara langkah kaki, sama sekali tak mengagetkannya.

Plak..

Tertawa sinis, pria bermata elang itu memainkan lidah bagian dalam pipi yang barusan di tampar si tamu.

"BAJINGAN, KAU PIKIR KAU AKAN SELAMAT? BERANINYA MELAPORKAN KU, KARENA JALANG MU" dengan mata berapi, menatap Tae.

Ck..

Tidak ada jawaban dari Tae. Password dimasukkan dan seketika pula pintu terbuka. Memberi kode lewat kepala, pria tersebut memerintah agar gadis temperamen tersebut masuk.

"YA.. KAU MENGABAIKAN KU?" Dia berang karena diberi punggung. Meski demikian, Eunha tetap mengikuti langkah Tae, masuk semakin dalam. Guratan kemarahan tampak jelas pada wajah keduanya. Pria berambut sehat itu terlihat tengah mencari sesuatu didalam laci. Ketika sadar akan kemunculan Eunha, Tae berbalik. Ditutupnya kembali laci. Punggungnya menyandar disana.

"Apa yang sedang kau rencanakan? Menyingkir kau! Aku perlu tahu" berupaya mendorong tubuh Tae.

Masih dengan senyum yang kini membuatnya tampak seksi, Tae memasang mata fokus pada wanita yang menatapnya penuh kebencian.
Dadanya dipukul tanpa ampun oleh Eunha. Mata yang tadinya berapi, perlahan mengalirkan cairan. "Kenapa kau lakukan padaku? Sudah ku bilang'kan aku akan berubah demi mu?" Katakan, kenapa kau melakukannya?"

Tanpa jawaban, tangan Tae terulur membawanya dalam pelukan. Dia membuat Eunha kian terisak, "Maaf."

"Maaf? Tidak. Kenapa aku harus memaafkanmu? Aku benci padamu."

"Maaf. Maafkan aku." Dia berhasil menentramkan hati gadis tempramen dengan tangan kokoh yang terus mengusap kepala hingga punggung si gadis.

"Kau akan meninggalkannya kalau aku mengampunimu kali ini?"

"Em."

"Jawab dengan benar!" Mendongak pada prianya.

"Eoh. Aku akan meninggalkannya. Akan ku lakukan. Jadi, berhentilah Eun ha. Aku tidak ingin kita saling menyakiti."

"Sungguh?"

Keduanya berusaha menyusuri mata lain jenis. Perlahan mereka menyatukan perasaan lewat bibir dan tangan pun mulai menjelajahi tubuh lawan jenis.



Don't call me playgirl.



Begitu mendaratkan kaki di negeri kelahiran, Big kembali mengaktifkan ponsel dan menghubungi seseorang_ meminta informasi.

Memikul ransel hitam di punggung, pria maskulin tersebut terus melangkah cepat. Tangannya setia pada ponsel yang ditempatkan antara mulut dan telinga. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir. Big hanya terus mendengarkan informasi yang diperolehnya.

Kala melihat taksi online, dengan cepat tangannya menyetop dan masuk ke dalam benda beroda.

_

Sekujur tubuh Ma-ri terasa tak bertulang. Dia yang barusan siuman, berupaya mengingat apa yang telah terjadi. Mata indahnya terus mencari seseorang yang mungkin bisa ditanya. Sayang, tak ada siapa pun disampingnya.

"Aww.." rasa sakit terasa menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan ingatan itu kembali. Tentu. Sudah pasti dia ditinggalkan. Sekarang beginilah kondisinya. Dia terluka secara jiwa dan raga.

Bagaimana pun berusaha beranjak, tetap saja dia gagal. Untuk mencabut selang yang terpasang di tangan, ia tak mampu. Apa tubuhku kini lumpuh? Batinnya.

Ya, Tuhan, bagaimana ini? Ayah, aku merindu_nya. Apa yang harus ku lakukan agar bisa meninggalkan tempat ini.

Don't Call Me Playgirl [End]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang