That Afternoon

1.7K 235 39
                                    

Zoro berjalan menyusuri kerumunan orang yang berdesakan di tengah panasnya suhu saat itu dengan dua tangan tersembunyi di dalam saku celana. Memang musim panas adalah puncak dimana pendatang mendatangi kota tersebut. Kota yang terlampau romantis untuk pelancong sepertinya. Ia datang ke sini sendiri, berniat melepas penat tapi malah berakhir dalam lautan manusia yang terus mendorongnya maju, berjalan mengikuti arus.

Kakinya melangkah. Satu di depan yang lainnya dengan cepat. Tubuhnya yang tinggi membuatnya mampu melihat lebih jelas kondisi di sekitarnya. Dua lensanya menangkap gang kecil di sisi kanan jalan. Tentu Zoro tidak tahu jalan tersebut akan mengarah kemana, tapi yang pasti ia harus pergi ke gang tersebut untuk mengetahuinya.

Gang kecil dengan dua bangunan bata mengapit jalan yang hanya diterangi satu lampu gantung murah. Atap dari kedua bangunan di sampingnya menutup akses cahaya masuk, membuatnya menjadi tempat yang sempurna untuk berteduh dari sengatan panas matahari. Zoro berjalan lebih jauh, menelusuri gang sempit tersebut. Ia merentangkan tangannya ke atas sembari berjalan, meretakkan sendi-sendi yang semula kaku karena terlalu lama mengikuti arus manusia. Tidak ada satu pun angkatan laut yang berkeliaran di kota ini. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang tenang untuk mereka. Masing-masing dari kru kapal berjalan sendiri, mungkin kalau beruntung mereka akan bertemu; karena bagaimana pun ini adalah sebuah kota kecil yang terpisah oleh banyaknya saluran air.

Begitu keluar dari gang, ia disambut langsung oleh kanal dengan permukaan air yang mengalir tenang, berseberangan dengan jalan setapak. Di sisi kanan terdapat jembatan yang melengkung apik sebagai penyebrangan ke jalan sebelah, menaungi tiap gondola yang menyebranginya. Zoro melihat sisi kiri, terdapat toko bunga dengan etalase kaca yang memamerkan tumbuhan dan pot-pot gantung. Tapi tempat ini jauh lebih sepi dibanding jalan utama dimana kebanyakan turis bersileweran. Paling tidak Zoro lihat hanya ada dua sampai lima orang yang lewat. Kemungkinan besar ini bukan objek utama bagi turis-turis mancanegara.

Kemudian indera penciumannya mendapati aroma roti segar yang baru keluar dari panggangan. Ia mengangkat wajah, melihat papan nama dari toko kue yang ada di ujung jalan. Langkahnya dipercepat, mendekati asal dari bau lezat yang menguar di area jalanan tersebut.

Zoro mengintip, melihat isi toko yang agak sepi. Langkahnya memasuki toko, mendorong pintu kaca menyebabkan suara lonceng menyambut kedatangannya. Ia mendekati roti yang ada di atas meja. Roti tersebut masih diletakkan di atas nampan dengan asap mengepul. "Ini berapa?" tanya Zoro, menunjuk isi nampan.

Seorang bapak tua penjaga toko tersebut mendekati Zoro dan mengibas tepung di tangannya dengan menepuk-nepuk celemek putih yang dikenakan. "10 beri saja," ia tersenyum, mengakibatkan kumis keabuannya ikut terangkat seiring dua sudut bibir yang melengkung ke atas.

Zoro mengeluarkan uang dari kantungnya, memberikannya pada pemilik toko.

Kling!

Pengunjung baru memasuki toko tersebut. Zoro menoleh, melihat awak kapalnya- si pirang- tengah berdiri menatapnya dengan wajah bodoh. "Hei, kau tersesat ya?" Tanya Zoro. Sanji yang semula memasang wajah tercengangnya langsung berganti menjadi amarah.

Ia mendekati Zoro dan melayangkan pukulan pada bahu pria hijau. "Jangan samakan aku denganmu," ujarnya. Kemudian ia melihat-lihat beberapa roti yang terbungkus plastik di atas rak cokelat tua. "Lebih baik kau jalan denganku saja setelah ini,"

Zoro mengangkat alisnya kesal. "Kenapa aku harus pergi denganmu?"

Sanji menghela napas. "Harusnya itu kalimatku, tapi kau orang yang tidak punya harapan, sedetik saja aku lengah kau pasti akan tersesat," ungkapnya seraya mengambil tiga bungkus roti. "Ah, pak, apa di sini juga jual minuman?" tanyanya.

"Ya tentu saja!"

.
.

"Jelaskan padaku kenapa kita harus minum kopi di panas terik seperti ini?" Zoro duduk di depan Sanji sembari meneguk isi cangkirnya. Sekarang mereka tengah duduk di luar toko roti sambil menikmati beberapa roti dan secangkir macchiato dengan pemandangan jalan setapak dan kanal. Zoro berdecak ketika beberapa orang yang melewati mereka memandang dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. Ia benci menjadi pusat atensi.

"Nikmati saja waktumu," Sanji memakan rotinya sembari melihat pemandangan sekitar. Kemudian sebuah gondola lewat menarik perhatian si pirang. Dari sela matanya yang tertutup kacamata hitam itu ia memperhatikan jalannya perahu kecil tersebut, melaju dengan tenang di atas perairan. Zoro tidak bisa membaca ekspresi Sanji tanpa melihat iris birunya yang tersembunyi di balik kacamata yang kini bertengger di pangkal hidung. Kemungkinan besar ia ingin mengarungi kanal kota dengan gondola. Dapat dilihat dari gestur Sanji yang menandakan ketertarikan, yah lihat saja punggungnya yang kini tegap, menjauh dari sandaran kursi.

Zoro kembali meminum kopinya. "Kau mau naik itu?" ia bertanya, memecah keheningan. Sanji tidak menjawab melainkan memalingkan wajah ke arah Zoro. "Habiskan makananmu, kita bisa naik setelah makan," ujarnya. Ia meneguk isi cangkir untuk terakhir kali dan menyilangkan kakinya. Sanji buru-buru menghabiskan miliknya dan berdiri. Zoro ikut berdiri di sampingnya.

Kemudian tangan Sanji menggamit tangan Zoro, mengajaknya berjalan menyusuri jalan setapak. Zoro tidak mengelak ketika tangannya digandeng semakin kuat, malahan bibirnya membentuk senyum tipis, memperhatikan si pirang yang berjalan di depannya. Hingga akhirnya mereka tiba di ujung jalan dengan sebuah gondola tak bertuan.

"Naik yang ini saja," tunjuk Zoro.

Sanji segera melompat masuk dan duduk manis, memperhatikan Zoro yang berhati-hati melangkah dan duduk di ujung lainnya. Ia menunjuk dua dayung yang bersandar pada sisi gondola dengan senyum setia terpatri di wajah cerahnya. "Kau mau mendayungnya?"

Zoro tidak bisa menolak kalau Sanji tersenyum begitu manis. Desahan panjang keluar dari mulutnya sebelum kedua tangan beralih mendayungi gondola. Sanji menatap sekitar, melihat toko-toko yang berjejer rapi di pinggir jalan, ada yang menata barang antik di etalase, ada pula yang menyapu bersih jalanan depan kios. Seorang pria dengan gerobaknya juga tampak menjajakan manik-manik khas kota. Ia melepaskan kacamata hitamnya, memperhatikan dengan lebih jelas warna-warni yang berbaur di antara tiap toko.

Sementara Zoro hanya berfokus pada gerakan tangan memutar dan memandangi wajah Sanji yang memantulkan cahaya di siang terik itu.

Setelah beberapa lama mendayung, mereka berhenti di depan sebuah toko perhiasan. Zoro keluar lebih dulu, kemudian mengulurkan tangannya pada Sanji. Semula si pirang hanya berkedip, tidak menyangka gestur gentleman dari si hijau muncul juga. Ia menyambut uluran tangan Zoro dan menapakkan kaki keluar dari gondola yang masih mengapung di atas tenangnya kanal.

Sanji memasuki toko tersebut dan mendekati jejeran cincin. Ia mengelus dagunya pelan seperti tengah berpikir keras. "Haruskah kita membeli ini?" tanyanya. Zoro menggeleng.

"Kita hanya bajak laut, uangnya tidak cukup."

"Hmm, baiklah, ayo lihat toko lain,"

Dalam perjalanan melihat toko lainnya, Zoro memetik bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan. Ia mulai melilit rumputnya, membentuk sebuah lingkaran dengan bunga kuning sebagai mahkota. Kemudian ia menoleh pada Sanji dan mengangkat tangan kanannya pelan. Sanji memperhatikan ketika Zoro memasangkan cincin ke jari manisnya. Iris safirnya berkilauan menatap cantiknya cincin bunga yang dipasangkan si hijau.

"Lain kali," Zoro bergumam. Ia menjeda perkataannya beberapa detik. "Lain kali akan kubelikan cincin asli ketika Luffy sudah menjadi raja bajak laut, dan kupastikan kau bahagia bersamaku."

Sanji tertawa kecil. "Kupegang janjimu itu."

~•-•~

Ini kotanya aku tulis berdasarkan Venesia di Italia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

Besok libur kemerdekaan yey! Univku masih libur semester sampe September sih, tapi 17 Agustusan itu waktunya ngedekor rumah

Tetep stay healthy dan taat prokes semuanya! Semoga covid cepet selesai! Semangat! ❤️❤️

Stiletto MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang