Warning!: Obsessive Boyfriend, MPreg
.
.Tiap helai keemasan Sanji tidak pernah luput dari jemari yang mengacak lembut, terkadang dihujami kecupan pula kedua kelopak matanya. Lalu terkadang buah bibirnya beranjak dari atas ke bawah, dari menciumi seluruh wajahnya hingga turun ke tubuhnya dan kedua tungkai kakinya. Di bawah kungkungan pria hijau itu desah manis selalu lolos darinya, bergelut dalam kenikmatan. Apa mereka sepasang kekasih? Bukan. Sanji tidak yakin apa yang mereka lakukan atas dasar cinta atau hanya sekedar pelampiasan semata. Pelampiasan terhadap nafsu mereka yang menggebu-gebu, memberontak ingin keluar.
Pagi yang sama, seperti biasa. Lengan kekar bersarang di pinggulnya, kencang pelukan erat seakan tak ingin kehilangan. Iris biru menjelajahi tubuh pemuda kulit tan. Terdapat bercak gigitannya di bahu lebar itu. Bulu kuduknya berdiri mengingat ia yang menggigitnya selagi mendesahkan nama si samurai. Lalu jarinya meraba tengkuk sendiri, merasakan bekas gigi yang ditinggalkan lawan mainnya semalam. Seperti membuat tanda kepemilikan. Tapi mereka tidak saling memiliki. Perlahan tangannya menggeser lengan Zoro. Ia mengambil celana bahan hitam yang terlempar ke sudut ruangan dan mengenakannya.
Dua pasang baju dengan ukuran jauh lebih besar darinya dilempar kepada seonggok tubuh yang masih dilanda kantuk. "Bangun, segera pakai bajumu," si pirang berujar. Zoro mengerjap. Badannya bergulung ke samping sebelum akhirnya duduk setengah sadar. "Jangan lupa minta maaf padaku, lihat apa yang kau tinggalkan di sini!" ia menunjukkan seluruh tubuh bagian atasnya. Iris cokelat mendapati bercak merah menuju ungu dengan bekas gigitan di seluruh tubuh putih Sanji.
"Kau digigit nyamuk?" ia malah bertanya.
Sanji menghela napas berat. Ia berdecak kesal. Bagaimana bisa ia membiarkan tubuhnya dijamah bola ganggang hijau tak berotak. "Iya, nyamuk hijau besar dengan kepala marimo!" makinya. Ia segera menelusupkan tangan masuk ke dalam kemeja dan mulai mengancing satu-satu.
Zoro mengacak rambutnya sembari menguap lebar. Maniknya menilik bekas linting rokok dan karet yang mereka pakai semalam. Permainan malam mereka tidak pernah lembut. Ia bergeming sebelum akhirnya memutuskan mengenakan baju dan melangkah mendekati Sanji. Tangannya menarik kerah kemeja pemilik iris biru. Kembali, terulang seperti semalam, ia memberi kecupan lembut di atas tengkuk si pirang. Rona sewarna delima merekah di wajah putih. "Oh, kau malu?" tanya Zoro begitu menyadari rona samar.
"Kenapa aku harus malu hah?!" Sanji merespon. Ia berdecih sebelum akhirnya menapakkan kaki keluar kabin. Ia menjejak kayu kapal cepat. Surai pirangnya terayun pelan begitu diterpa angin sepoi. Ia mendongak, memperhatikan gradasi biru tua hingga terang di ufuk timur. Cahaya kuning keemasan juga tampak menyembul belum menunjukkan diri seutuhnya. Tawa ironis lolos dari kurva merahnya. Sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, mengapa penggila wanita sepertinya harus jatuh dalam belenggu si hijau. Tidak ada konklusi yang tepat dari pertanyaan itu, karena semua hanya sebatas rasa yang bisa ia matikan kapan saja.
Karena selamanya juga cintanya hanya akan berakhir bertepuk sebelah tangan.
.
.Kali ini kabin tidak hanya diisi Sanji seorang. Surai hijau dan jelaga pun ikut menemani. Sunyi senyap keadaan di dalamnya. Hanya ada deru napas tidak sabaran dari si kapten kapal dan hentakan kaki berulang dari pendekar pedang. Tidak ada celoteh yang keluar dari Sanji. Ia masih sibuk mengupas kulit kentang. Pria itu dilanda penat dan kepalanya sakit. Tapi istirahat bisa menunggu, setidaknya ia harus menyiapkan makanan dulu.
Mendadak keseimbangan Sanji oleng. Tubuhnya hampir jatuh menabrak dinding kalau saja tidak disokong sang kapten. "Sanji! Kau baik-baik saja?" Luffy bergegas mendekati Sanji dengan dua tangan membopong tubuh lemas kokinya. Kini iris safir yang semula terang mulai redup. Wajahnya pucat dan pandangannya berkunang. "Zoro, panggil Chopper." perintahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stiletto Merah
FanficSepasang stiletto merah memang cocok di kaki si tukang masak itu. Setidaknya begitulah yang Zoro pikirkan. Malam hari mereka di dek kapal tidak pernah membosankan, apalagi dengan pemandangan kaki putih dibalut sepatu bertumit runcing itu. Kumpulan o...