"Lepas bajumu," suara yang terdengar dalam, dipenuhi kabut nafsu yang menggebu dan segala rasa tidak sabaran. Napasnya berat, tersengal, dua tangan mengungkung tubuh si pemuda pirang. Jakun Sanji bergerak ketika ia menelan ludah kasar. Jemarinya mulai bergerak untuk melepaskan kancing satu persatu. Kemudian ia memberanikan diri mengangkat wajah, melihat si rambut hijau yang membatasi pergerakannya.
Birunya berkilat ketika melihat wajah memerah dengan peluh, menatapnya intens. Perlahan ia menanggalkan pakaian atasnya lalu mengalungkan tangan ke bahu Zoro, memberi jilatan sensual di telinga pria berkulit tan.
Mereka selalu melakukannya tiap dilanda frustrasi. Sanji juga tidak tahu apa yang merasuki dirinya. Saling membenci, obrolan mereka hanya dipenuhi hinaan terhadap satu sama lain, tidak ada satupun dari mereka yang tahu cara berkomunikasi tanpa harus bersilat lidah. Satu-satunya yang mampu mereka lakukan hanya bibir bertemu bibir, lidah menari di atas lainnya, mengerang dalam kenikmatan bersama-sama. Hanya di saat itulah mereka tidak saling membuat satu sama lain menjadi gila.
Tapi menyelesaikan masalah dengan bercinta saja sudah terdengar gila.
.
."Sake," ia mendekati Sanji yang tengah mencatat di atas sebuah buku kecil. Sanji melepaskan kacamatanya dan menatap Zoro kesal. Kedua alisnya bertaut, memperhatikan si pendekar pedang dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Pergi mandi, baumu tidak enak," tangan Sanji diayunkan, bentuk gestur mengusir Zoro. Si pemilik rambut hijau hanya berdecak.
"Aku minta sake, bukan minta pendapatmu," ia menyilangkan kedua tangannya, menunggu Sanji berdiri dan mengambilkannya sebotol sake. Tapi Sanji hanya menutup bukunya untuk pergi meninggalkan ruangan. "Hei alis melingkar... wajahmu merah," tangannya menahan kepergian Sanji.
Pirangnya menutup sebagian wajah ketika ia harus menghadapi si pemuda hijau yang menatapnya melalui sela lensa cokelatnya. Cokelat yang menangkap refleksinya. "Kau demam?" ia bertanya. Sanji menggeleng pelan. Oh Tuhan, tolong biarkan ia keluar dari situasi ini. Tangan Zoro terulur untuk menyentuh dahinya.
Dengan cepat Sanji menepis punggung tangan pemilik rambut hijau. Mereka bertatapan untuk sesaat sebelum Sanji memaksakan diri keluar dari dapur. Tangannya menyentuh dada selagi berjalan cepat di atas dek kapal. Abnormal, detak jantungnya terdengar abnormal.
Malam itu Zoro mendorong tubuhnya hingga menghantam dinding kapal cukup kuat. Suaranya bahkan membuat Sanji tersentak dengan dua bahu meloncat. Netra birunya membola ketika tangan Zoro melingkari lehernya, menekannya hingga rasanya sulit untuk bernapas. Pria itu memandangnya dingin. "Aku mengkhawatirkanmu dan itu balasanmu,"
"Hgh...!"
"Cook, kau senang membuatku frustrasi ya," sekali lagi tangan kasar di antara lehernya mencekik begitu kuat. Beberapa saat kemudian ia melonggarkannya, membiarkan Sanji menarik napas dalam dengan mulut terbuka. "Lega?"
"... Zoro, apa-apaan?!" dengan cepat ia menyingkirkan tangan tersebut, iris safirnya memandangi si hijau penuh amarah yang membara.
Zoro mendekat, mengukung tubuh si pirang dengan sebelah tangan. "Ingin melakukannya?"
Sanji terpikat pada iris tembaga gelap yang tengah menatapnya tajam. Bibirnya bergetar, ingin sekali bersuara, menolak dosa menggiurkan yang ditawarkan pria di depannya. Tangannya bergerak, menyentuh lengan kekar Zoro pelan. Ia sungguh tidak mau melakukannya hari ini. Tetapi bisikan iblis jauh lebih kuat, menyeretnya jauh dalam hubungan memuakkan ini. Hubungan aneh yang memaksanya bertahan, yang membuatnya kerap hilang akal.
Tanpa ia sadari, wajahnya kemudian mendekat untuk mencuri kecupan singkat di bibir Zoro. Si hijau awalnya terpaku dengan perlakuan tiba-tiba si pirang. Kemudian ia menjilat bibirnya, menyeringai ketika sadar Sanji sudah menjatuhkan diri sendiri dalam perangkap untuk kesekian kalinya. Bagai kupu-kupu yang terjerat jaring laba-laba.
Kemudian bibirnya melumat dua kurva beraroma asap cerutu.
Malam itu sang kupu-kupu dibuat memohon, berteriak meminta lebih.
.
.Sanji menata dirinya di depan cermin. Sebuah kantung mata hitam kini bertengger di bawah kedua netra birunya. Ia menghela napas kasar, mengambil pasta dan sikat untuk segera membersihkan sisa permainan mereka semalam dalam mulutnya. Setelah membersihkan gigi, ia kembali menatap diri di depan kaca, mulai mengancing kemeja putihnya hingga menutupi tulang selangka, berusaha menutupi bekas gigitan yang tercetak di tubuh putihnya.
Tangannya menelusuri rambut pirang, merapikan beberapa helai yang mencuat keluar kemudian mempraktikkan senyuman normalnya. "Rahangku pegal..." ia menyentuh wajah, jemari memijat pelan.
Matanya kemudian memejam, berusaha menjernihkan pikiran. Tangannya mengepal, bersandar pada wastafel. Ia harus segera meluruskan semuanya dengan Zoro. Sanji harus segera keluar dari hubungan tidak sehat ini sebelum segalanya terlambat. Kedua tangannya kemudian menampar pipi, berusaha memperkuat keputusan.
Kakinya kini telah menyentuh dek kapal, berjalan mendekati pria berambut hijau yang tengah mengasah belati di pinggir geladak. Ia mengisap rokok yang diapit di antara jari telunjuk dan tengahnya sementara sebelah tangan dimasukkan dalam saku celana. Zoro menatapnya hening, tidak mengatakan apapun, hanya memandang.
"Ayo berhenti saja," ujar Sanji.
Dua alis Zoro bertaut. "Apa?"
"Semuanya, semua tentang kita."
Sunyi menelan dek kapal yang hanya diisi dua pria, membiarkan suara ombak bertabrakan, mengayun kapal yang mereka tumpangi perlahan. Walau samar, entah kenapa Sanji dapat melihat sekelibat raut kecewa di wajah berkulit tan. Tapi ia memilih mengunci mulutnya, hanya berdiri dan menunggu jawaban.
"Kenapa?" sebuah pertanyaan keluar.
"Tidak ada alasan," Sanji tertawa hambar dengan mata menelusuri luka menyimpang di dada sang pendekar pedang.
Zoro kini berdiri, tangannya menarik kerah kemaja yang tengah dikenakan juru masak. Menarik pria tersebut sedekat mungkin dengannya, dapat merasakan hembusan napas yang menyapu wajahnya. Sanji tidak memasang ekspresi apapun sementara -di sisi lain -surai hijau nampak dipenuhi emosi. Murka, kecewa, sedih telah bercampur. Pria stoic yang selalu berdiri tenang itu kini terlihat hancur. Segala topeng yang dipasangnya luntur, hanya menyisakan sosok manusia seutuhnya.
Zoro menatap iris safir, mencari keraguan di sela matanya. Hanya cara ini yang bisa ia pikirkan untuk mendekatkan mereka berdua. Dan sekarang Sanji ingin lepas dari perangkap yang telah ia buat. Konyol, perdebatan ini akan berakhir konyol dengan dirinya sendiri yang terluka.
"Aku tidak tertarik dengan hubungan tanpa tujuan," Sanji akhirnya kembali bersuara. "Aku ingin mencoba menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, tanpa kau menciumku, tanpa kau memelukku,"
"Yang sedang kita jalani sekarang ini akan membunuhmu suatu saat nanti," lanjutnya kemudian.
"Kau benar-benar tidak ingin melakukannya lagi?"
Sanji terdiam. Ia mengangguk pelan. Namun entah bagaimana cengkraman di pergelangan tangannya kembali membuat si pirang meragu. Ia mengingat setiap pertengkaran mereka sebelumnya, satu-satunya hal yang menjadi pereda emosi yang memuncak itu hanyalah kegiatan yang mereka lakukan atas nama nafsu. Buruk, benar-benar buruk. Ia kembali meragu.
Zoro mendekatkan diri. "Kalau kau tidak menendangku sekarang aku akan menciummu," bisik rendahnya menggelitik. Oh Tuhan, dosa memang selalu menggoda.
Ia terdiam, satu, dua, tiga detik berlalu. Hingga mencapai satu menit Sanji masih juga belum membuat pergerakan. Tawa Zoro terdengar berat dan hangat. "Benar, tetaplah tinggal... aku akan memperlakukanmu lebih baik lagi, Sanji."
Sayap sang kupu-kupu telah patah, tidak mampu lagi terbang menjauh.
~•-•~
Kayak judulnya, terinspirasi dari lagunya Dua Lipa hehe (~‾▿‾)~
Aku ada cerita zosan baru bisa cek ya (buat yang mau aja wkwk)! Judulnya At The Heart of Madrid.
Makasih buat yang udah vote dan komen! ❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Stiletto Merah
أدب الهواةSepasang stiletto merah memang cocok di kaki si tukang masak itu. Setidaknya begitulah yang Zoro pikirkan. Malam hari mereka di dek kapal tidak pernah membosankan, apalagi dengan pemandangan kaki putih dibalut sepatu bertumit runcing itu. Kumpulan o...