Fate Keeps Us Apart

1.4K 197 10
                                    

Malam itu tidak seperti malam biasanya. Sanji berjaga di samping Zoro yang masih tertidur dalam balutan perban di setiap tubuhnya. Ia mendekatkan diri pada tubuh yang terbaring di atas kasur, menatapnya lekat dan menjalankan jemarinya di antara surai hijau sang pendekar pedang. Matanya hampir menutup namun ingatan tentang ucapan dari bibir sang peramal membuatnya tetap terjaga, membuka mata dengan perasaan mual.

Perlahan tangan Zoro bergerak, mengangkatnya hingga menyentuh pirang Sanji. Menyapukan telapaknya lembut. "Tidurlah cook," bisiknya dalam gelap malam.

"Tidurlah."

Biru Sanji memandangnya pilu, masih pula menyangkal raga lelahnya dengan menggeleng pelan. Ia menutup mata sebelum menundukkan kepala dan menjatuhkannya tepat di samping Zoro, membiarkan jemari kasar tetap menyentuh helai pirangnya. Ia akan lupa. Zoro pun sama. Jadi apa gunanya menahan diri.

Kelopaknya mengerjap. Matanya kembali terbuka sebelum menjatuhkan bibirnya pada milik Zoro. Air mata di pelupuknya mulai menetes, membasahi permukaan kulit si hijau. Zoro tersenyum, beginikah akhirnya? Sanji juga menginginkannya. Ia membalas ciuman Sanji, menggigit bibir bawah pria pirang dan memperdalam lidahnya. "Jangan menangis sambil menciumku begitu," tawa Zoro dengan tangan menyusuri rahang Sanji. Tidak ada jawaban dari bibir pemilik kulit pucat melainkan hanya sentuhan pada tiga anting emasnya. Air mata masih menetes, mengaliri wajah indahnya.

"Kau menginginkanku?"

"Aku sudah bilang kan aho-cook, aku menyukaimu."

"Bahkan kalau takdir mengatakan kita tidak akan bisa bersama?"

"Aku akan mengalahkan takdir untukmu,"

"Bagaimana caranya Zoro? Katakan padaku bagaimana caranya kau mampu mengalahkan hal yang sudah ditakdirkan? Tidak ada yang pernah bisa menulis ulang hal bodoh seperti itu!" suaranya tersedak, pikirannya berkecamuk dalam emosi fana. Ia membenci ini. Genggamannya dieratkan, mengepal hingga telapaknya memutih.

"... kemari, aku tidak bisa memelukmu," gumam itu sampai pada telinganya.

Sanji bergetar dalam pelukan, menghirup aroma si hijau dalam-dalam. Aroma tembaga, aroma darah. Zoro terasa seperti rumah meski bau darah mendominasi. Ia mampu memberi rasa aman pada si pirang, meyakinkan pria itu untuk bertahan bahkan jika seluruh dunia dan para penghuni surga menentang mereka.

"Zoro, biarkan aku—" agak tergesa ia bangkit dari dada si pemilik rambut hijau dan mulai membuka celananya. Perlahan ia mendekati kejantanan yang sudah mulai tegang dan memberi jilatan kecil. "Kumohon," bisiknya, kedua tangan masih gemetar dengan isak tertahan.

Sekali lagi Zoro mengusapkan tangannya pada helai pirang. "Aku tidak bisa bergerak," ia mengerang frustasi.

"Aku yang akan melakukannya, aku ingin merasakanmu,"

Hanya dengan kalimat itu Zoro mengangguk, membiarkan Sanji naik ke atas ranjang dengan kaki telanjang dan menaiki miliknya. Sanji mendesah—memangggil-manggil nama sang samurai penuh hasrat—ketika ia menggerakkan pinggulnya dan kembali menjatuhkannya. Tangan Zoro bertahan di paha si pirang, merasakan hangatnya sentuhan kulit antar kulit. Ia hanya mampu tersenyum getir ketika mendapati air mata kembali tumpah dari pemilik surai pirang, membiarkan keduanya larut dalam pembuktian rasa. Sebuah rasa yang pernah ada, sebuah rasa yang kembali ada.

Mereka hanya berharap malam akan berlangsung lama, berharap pagi tidak akan pernah datang. Karena di saat itulah semua kenangan akan sirna bagai tak pernah ada. Bayangan akan pernyataan Zoro di dek kala itu pun akan hilang. Isak pedih kembali lolos dari Sanji. Ia membungkuk, mendekat pada perpotongan leher Zoro dan mulai mengecupnya pelan. Lalu memberikan isapan hingga meninggalkan bekas, tanda, jejak. Sesuatu yang akan lekas pudar dimakan waktu tanpa mereka sadari siapa penyebabnya.

Mereka akan lenyap.

Segala hal tentang mereka pun begitu pula percakapan yang mereka lakukan.

"Kalau surga memang benar mengirimkanmu padaku, aku akan selalu tertambat padamu," ucap Zoro. Sekali lagi, ia mampu melihat refleksi dirinya dari lensa biru.

.
.

Langkahnya dipercepat dengan si pendekar pedang menyusul di belakang. "Jalanlah lebih cepat bodoh! Kenapa kau jadi seperti kura-kura begini!" kedua tangannya diletakkan dalam saku celana, hinaan terus keluar dari bibir tipisnya selagi ia memimpin jalan kembali menuju kapal.

Zoro mengikuti dan bibirnya mencebik. Mereka terluka setelah berkelahi dengan pemberontak, para penentang pemerintah yang merusak dagangan orang tak bersalah. Tubuhnya sampai dibuat tak mampu bergerak. Sekarang ia tampak seperti orang tolol dalam balutan perban. Si tukang masak di depannya tampak jauh lebih baik darinya, setidaknya ia mampu bergerak secara leluasa sembari menghinanya sepanjang perjalanan.

Mereka mulai naik ke atas kapal dan melompat masuk. Badan si pirang diregangkan, membuat tiap sendinya mengeluarkan bunyi gemeretak. Ia berjalan lebih dulu, pergi meninggalkan si hijau menuju dapur. Kemungkinan besar ingin melakukan aktivitas seperti biasa. Entah itu memasak atau bersantai. Namun sebelum ia melangkah masuk, kepalanya ditolehkan. "Kau mau apa?"

"Apanya?"

"Makanan tentu saja marimo, ayolah aku tak punya waktu menanggapi kebodohanmu,"

"Apapun yang cocok dengan sake,"

Sanji tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu keras sebagai balasan. Zoro berjalan menyusuri geladak kapal untuk menemukan tempat menghabiskan waktu sendiri. Ia duduk di atas rumput, memandangi langit yang masih diwarnai biru. Hanya ada Franky yang menjaga kapal. Lagipula kemungkinan besar ia tengah merancang modifikasi untuk bagian tubuhnya, terlalu sibuk untuk menyadari kedua nakamanya telah kembali ke atas kapal.

Matanya memejam. Iris cokelat tua terbenam dalam kegelapan. Ada perasaan yang mengganjal di dadanya semenjak ia bangun dan menemukan Sanji tertidur di sampingnya. Aneh, ia tidak ingat bagaimana bisa tangannya menyusuri helai pirang tanpa menyingkirkannya sama sekali. Seperti ada sesuatu yang terlupakan. Seolah ada memori yang dihapus paksa, menutup tiap sela ingatannya tanpa meninggalkan jejak.

Malam itu hanya meninggalkan perasaan bersalah dan pedih tiap kali cokelat gelapnya bertemu biru terang. Apapun itu, ia merasa perutnya terlilit setiap membayangkan Sanji. Seakan memaksanya memuntahkan seluruh isi perut setiap Sanji muncul dalam benak. Hentikan rasa ini, Cook. Berhenti membuatku kecewa.

.
.

"Aku menyukaimu, cook," dengan jelas dan lantang Zoro mengutarakan perasaan yang telah lama ia pendam.

Tetapi Sanji tidak lekas menjawab. Karena sejak lama ia tahu hubungan yang mereka jalin tidak akan berhasil. Bahkan peramal yang mereka temui di sudut distrik kota pun tahu surga tidak menginginkan mereka bersama. Takdir selalu punya cara untuk memisahkan kedua insan yang salah menjalin cinta. Ia paham betul. Ia benar-benar mengerti peraturan yang sudah disampaikan padanya secara langsung. Akan tetapi kenapa— kenapa manusia di depannya selalu mampu membuatnya memikirkan hal yang mustahil.

Mereka akan lupa. Zoro akan lupa segala tentang mereka. Mulai dari ungkapan yang didasari cinta, malam yang mereka lalui bersama, sentuhan mereka di atas ranjang, bisik yang menggaung lemah. Lalu kenapa ia tetap menyakiti dirinya sendiri?

Sang malaikat yang jatuh ke bumi tidak akan mampu mencintai si pendekar pedang. Walau ratusan malam harus dilalui bersama, mereka akan selalu kalah dengan takdir.

~•-•~

Makasih banyaaak buat yang udah mau baca, vote, dan komen! ❤️❤️❤️

Sleep tight and sweet dreams! ✨

Stiletto MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang