Daydreamer

2.5K 336 26
                                    

Ia sudah terlelap di antara hamparan delphinium biru cerah hingga gelap keunguan. Cakrawala biru membentang luas menaungi si hijau yang masih tertidur pulas dengan awan kapas tipis. Semilir angin membelai lembut bunga-bunga di sekitaran Zoro. Kemudian kelopak matanya terbuka, mengerjap pelan dan berganti posisi menjadi duduk. Ia menguap, mendapati diri di tengah kumpulan bunga familiar. Perlahan ia melihat sekeliling, sesungguhnya ia menikmati pemandangan damai seperti ini. Tapi tempat apa ini.

Zoro beranjak pergi. Lensanya mendapati sebuah bangunan kecil seperti gazebo bercat putih gading. Atapnya membentuk kubah dengan pahatan bunga dan ukiran meliuk di setiap sisi. Ia melangkah memasuki gazebo. Perhatiannya terpusat pada gadis kecil berambut biru kehitaman. Gadis yang tengah duduk memoles sebuah pedang tajam. Ia mendekati gadis tersebut tapi reaksi yang diberikan tidak begitu berarti. Gadis itu seakan memiliki dunianya sendiri.

"Zoro akan menyukai pedang tajam seperti ini," gumaman itu serasa membuat jantung Zoro berhenti berdetak. Ia berjongkok, ingin melihat raut wajah si gadis kecil. Benar, itu wajah yang ia kenal dari masa kecilnya. Teman sepermainannya.

Kuina.

"Oi, Kuina! Sedang apa kau disini?!" ia menggenggam dua bahu gadis itu sembari mengguncangnya. Tapi gadis itu tidak juga bereaksi. Tidak menepis maupun mengatakan sesuatu. Zoro mendekatkan wajahnya pada Kuina. "Katakan sesuatu.. kumohon..."

"Kau harus segera merelakan kepergianku."

Zoro tersentak. Wajahnya berubah pucat pasi. Matanya terbuka lebar secara mendadak. Ia mengerjap. Langit sama birunya dengan yang ia lihat. Beberapa camar tampak menukik rendah mencari ikan. Namun kapal tengah berhenti di dekat pelabuhan. Ia ingat, harusnya ini gilirannya menjaga kapal.

Zoro segera memosisikan diri untuk berdiri. Ia mengelus tiga katana di sampingnya. Lalu ia memijat pangkal hidungnya, lelah menerjangnya setelah seharian malas-malasan di atas geladak kapal. Ia memegang perutnya yang sudah mulai keroncongan. Kalau tidak salah seingatnya dia ditugaskan menjaga kapal bersama si tukang masak. Kakinya mulai mengarah ke dapur. Perlahan pintu dibuka, ia menemukan tukang masak kapal tengah tertidur dalam posisi kepala di atas meja beralaskan taplak hijau toska.

Sebuah buku catatan berisi takaran makanan ada di sampingnya, dengan pena yang masih terbuka. Tangan Zoro meraih pena dan menutupnya. Ia melihat sekeliling dapur tapi tak menemukan sedikit pun makanan. Ia mendengar perutnya berbunyi lagi. Tetapi kali ini ia tidak menghiraukannya. Lebih baik melatih otot, pikirnya.

Zoro masuk ke ruang latihannya di lantai atas, di tempat yang berbentuk seperti pondok dengan atap melengkung. Ia mulai menanggalkan baju bagian atasnya— meninggalkan haramaki tetap melekat di pinggangnya—dan mengayunkan besi seperti mengayunkan stik baseball.

Ini sudah masuk hitungan ke-1985. Nafasnya masih dalam kondisi baik dan tidak terengah-engah. Baru saja ia mau melanjutkan latihannya, kepala pirang muncul tiba-tiba dari tangga dengan satu tangan membawa senampan onigiri. "Zoro, kau belum makan siang kan?"

Zoro meletakkan besinya hati-hati kemudian duduk. Sanji mendekati Zoro dan meletakkan nampan di sebelahnya. Ia menghisap rokok di tangannya dan duduk di samping Zoro. "Harusnya kau bangunkan aku kalau sudah lapar,"

"Aku tidak lapar..." Zoro mengunyah onigiri dengan cepat. "Tidak ada sake?" tanyanya.

Sanji menghembuskan asap rokoknya ke depan wajah Zoro. "Ti-dak! Kau ini sedikit-sedikit alkohol, perhatikanlah kesehatanmu!" tegurnya.

"Dasar hipokrit, kau mengatakan itu padaku selagi menghisap rokok?" balas Zoro. Sanji tidak menggubris karena memang itu faktanya. Zoro memperhatikan segitiga-segitiga nasi di atas nampannya, sedikit merenung. "Cook... Menurutmu, apa mimpi itu hanya sebatas bunga tidur? tanyanya spontan.

Stiletto MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang