Bunga yang disampirkan pada sisi rambutnya membuat si pirang tersentak, birunya membola, menatap senyum lembut yang tersungging di wajah pemilik kulit tan. Tangannya merengkuh sisi pipi Sanji, mengelusnya pelan sebelum berbalik dan berjalan pergi. Maniknya menatap punggung tegap yang meninggalkannya, perlahan semakin jauh dari pandangan. Ia tertawa kecil sebelum melepaskan bunga dari helai pirangnya. Kakinya berjalan cepat, hampir setengah berlari untuk menyusul kepergian sang pendekar pedang. Perlakuan lembut yang ia kerap dapati ini selalu dilakukan jauh dari jangkauan awak kapal. Hanya momen kecil yang mereka bagi bersama.
Ia menyukainya.
.
.Zoro berbaring di atas pahanya, melipat kedua tangan di depan dada dan kelopak matanya menutup sementara bibir Sanji masih pula bercumbu dengan linting rokok. Mengisapnya dan menghembuskan asap. Ia menatap deburan ombak tenang. Kemudian beralih melihat sosok berambut hijau yang masih terlelap di atas pangkuannya. Tangannya menyusuri sela rambut hijau. Sebelah netra setia menatap wajah yang mulai menua. Angin sepoi bertiup membawa aroma laut. Tubuhnya menuduk, sedikit lebih dekat dengan surai hijau gelap, lalu berakhir menciuminya.
"Owner! Bahan makanan yang–"
Bahkan panggilan dari pegawai restorannya tak lagi terdengar. Memilih tidak menghiraukaukannya, hanya tetap pada posisi yang sama. Senyumnya mengembang saat melihat kelereng cokelat memandanginya lamat. "Sudah bangun, marimo?" godanya.
"Hah, dibangunkan dengan ciuman begini... rasanya seperti putri tidur saja," gumamnya. Kekehan rendah mengalun keluar seperti iringan melodi. Tangannya beradu dengan bibir si pirang. "Berhenti merokok,"
"Kalau semudah itu pasti sudah kulakukan sejak dulu," bisiknya.
"Ada hal lain yang membuatmu kecanduan?" Zoro berusaha membuka obrolan. Ia mulai bangkit dari posisi awalnya, duduk di samping pria yang kini berstatuskan kekasihnya.
Lewat sela biru lautnya Sanji memandangi sang pendekar pedang. Napasnya tercekat dan suaranya mengecil ketika berucap, "Ada...."
"Lebih dari rokok?" tangan Zoro meraih cerutu dari jari Sanji dan mengisapnya, tersenyum memandangi surai pirang.
Sedikit tersipu, Sanji memalingkan wajah. "Lebih dari rokok..."
Benar-benar suka padanya.
.
.Sanji melirik keluar jendela, melihat ombak yang menyapu pasir pinggir pantai selagi tangannya dengan piawai menyajikan sepiring makanan. "Menu lunch spesial," kemudian dengan profesional ia membungkuk, membuat kontak mata dengan pelanggan. Kaki jenjangnya perlahan mundur, sebelah tangan menepuk pundak pramusaji. "Aku mau pergi sebentar,"
"Saya akan bekerja dengan baik!" pramusaji baru itu tersenyum senang. Mendapatkan kalimat seperti itu dari Sanji sendiri merupakan hal yang membanggakan tentu saja. Ucapan itu berupa permintaan. Sanji memintanya untuk melayani pelanggan selagi ia mencari angin segar. Tentu saja pemilik restoran tidak sembarangan memberi tanggung jawab kan?
Pria tua itu membuka pintu restoran, pergi berjalan keluar sendirian ditemani suara ombak. Cerutu yang diapit di antara bibirnya hanya ia gigit begitu saja. Langkahnya menyusuri pasir putih, kepala ditengadahkan, melihat tebing dengan sebuah kayu dan kain yang diikatkan. Di balik semak-semak berisikan beri dan pohon-pohon apel yang menggantung ranum, Sanji memaksa masuk. Ia mendaki rumput hijau untuk sampai ke tebing tersebut. Terkadang berhenti untuk memetik buah beri matang. Lalu ia berhenti di depan gundukan rumput dengan kayu yang menancap. Di sisi kayu juga tampak tiga pedang disandarkan. Senyum terpancar dari si pirang, seakan tengah menyapa siapapun yang terkubur di dalamnya.
Ia melipat kakinya dan duduk di depan kayu, di antara bunga yang hanya menghiasi rumput di sekitar kayu itu. "Hari ini cuacanya indah, kau pasti suka," Sanji memulai percakapan. "Biasanya kalau hari begini kita akan berkencan kan?" tangannya mencabut rerumputan yang tumbuh tinggi, sedikit membersihkan kerikil dan bebatuan di sekitar makam.
"Tapi di hari seindah ini aku malah harus mengunjungi kuburanmu," tawanya hambar. Ia menatap kayu tersebut. Bibirnya terkunci rapat, di pantulan biru lautnya hanya ada tongkat kayu yang berdiri tegak, hanya itu yang terpantul. Pikirannya kosong ketika angin menghantam tebing, membuat rambut panjangnya menutup seluruh wajah. Tangannya menggapai tiap helai pirang yang menutupi pengelihatannya, perlahan menyibak sebagian dan menemukan sesuatu di depannya.
Zoro. Tengah tertawa melihatnya. Namun pandangan samar itu hilang ketika ia berusaha melihat dengan lebih jelas. ".... Zoro?"
Kenyataannya dia sudah tiada.
.
.Kasurnya terasa dingin dan ia berbaring sendirian di atasnya. Dua tangannya diletakkan di atas dada sementara matanya terpejam. Suara ranting kayu pepohonan mengetuk kusen jendela kamarnya, menemani malam gelapnya diiringi debur ombak. Bunga yang diletakkan di atas nakas mulai menggulung, layu.
Hari di mana ia berusaha melanjutkan hidup tanpa Zoro akhirnya akan segera habis. Waktu terus memakan kehidupannya. Merengkuh jiwa dalam tubuhnya.
Ketika jam dinding berdetak lagi, Sanji sudah menghembuskan napas terakhir.
.
.Gedung pencakar langit yang ia lewati menjadi penghalau cahaya, membuatnya terhindar dari sengatan matahari di antara bayang-bayangnya. Kakinya melangkah cepat, menerobos lautan manusia di atas trotoar. Kemudian langkahnya terhenti di depan sebuah gym sepi. Perlahan ia membuka pintu, melirik isi dalamnya, berpikir ingin mendinginkan tubuh sejenak di dalam bangunan kecil itu.
Hanya ada seorang pria berambut hijau berdiri dengan sebuah pelindung tangan, tampak sibuk melilit hand wraps. Ketika ia mengangkat wajahnya, Sanji terpaku. Pria itu mendekatinya, menatap helai pirangnya dengan raut terpesona. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" iris cokelatnya beradu dengan safir.
Sanji menggeleng pelan. "Kurasa belum..." ia masih juga terpikat dalam netra tembaga itu. Tangan berkulit tan kemudian dijulurkan tepat di depannya.
"Roronoa Zoro, kau?"
"Sanji... Sanji saja," ia balas menjabat.
Zoro menggeleng, tertawa kecil. "Aneh sekali, aku merasa sudah begitu kenal denganmu.." sebelah tangannya menggaruk tengkuk yang tak gatal dan mereka tertawa lepas, merasakan keakraban hangat yang begitu asing hinggap di antara interaksi yang terjalin.
Namaku akan terus bergema dalam kehidupanmu. Nama yang kerap membuat sejarah di kehidupan langit. Terus membawamu padaku. Terus membuatku bertemu denganmu. Bait yang dulu pernah terucap akan selalu menjadi mantra untuk mempertemukan dua jiwa yang diciptakan menyatu. Entah itu "aku mencintaimu," atau "tidak bisa hidup tanpamu,"
Yang aku tahu hanyalah aku sudah ditakdirkan untuk selalu bertemu denganmu.
~•-•~
Thank you buat vote dan komennya! ❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Stiletto Merah
Hayran KurguSepasang stiletto merah memang cocok di kaki si tukang masak itu. Setidaknya begitulah yang Zoro pikirkan. Malam hari mereka di dek kapal tidak pernah membosankan, apalagi dengan pemandangan kaki putih dibalut sepatu bertumit runcing itu. Kumpulan o...