Part 7

14 7 8
                                    

Collab with Dani
By AnggiRamadani839

_____
POV Dani

Tidak mungkin aku salah, aura ini ... milik pemburu. Pasti wanita tua itu yang memanggilnya untuk datang ke sini, merepotkan!

Segera saja, aku menembus pintu untuk melihat siapa orang ini. Namun, berbeda dengan ekspektasiku yang menyangka kalau dia adalah pria jelek. Dia malah seorang gadis cantik berkulit putih, dengan mata coklat, rambut yang berwarna putih, dan dilihat dari wajahnya, dia seumuran denganku dan Ji. Ah, jangan lupakan juga, kalau dia membawa tongkat kayu berwarna merah.

Dia hebat juga, karena bisa menyadari keberadaanku. Walaupun ia acuh tetapi sebenarnya dia waspada padaku. Yang paling penting, dia bisa melihatku! Apa berarti aku bisa mendapatkan teman? Membayangkannya saja sangat menyenangkan, aku tak sabar untuk menjadikannya teman.

Aku pun melayang menghampiri, mereka tengah bercakap-cakap. Pastinya tengah membicarakan cara mengusirku, karena di rumah ini tidak ada lagi hantu selain diriku. Ya ... kecuali di pohon belakang sih, ada kuntilanak dan tuyul di sana.

"Halo, manusia! Apa kau mau jadi temanku?" Tanpa berpikir panjang, aku langsung bertanya padanya dengan semangat. Tidak lupa pula dengan senyuman ramah dan uluran tangan.

Gadis itu melirikku sejenak. "Aku akan mengurusnya, Bu. Tolong Ibu mundur dulu, kalau bisa bersembunyi saja." Wanita tua itu menurut, ia mundur cukup jauh dari gadis ini. Hm ... sepertinya orang ini tidak bisa kujadikan teman, tangan yang terulur pun kini kembali pada asalnya. "Maafkan aku yang lancang, apakah kau musuhku?" ucapku seraya menatapnya tajam, aku harus bersiap atas segala kemungkinannya.

Oh, lihat, dia malah terkekeh kecil. "Tidak, aku bukanlah musuhmu."

"Kalau begitu, ma--" belum sempat aku berkata, gadis itu menjentikkan jari, tiba-tiba saja tubuhku terpental. Dari tempat berdiri tadi ke tembok, hingga menyebabkan tembok putih itu terdapat retakan besar di tengahnya. Si*l, sudah kuduga dia pasti musuh!

Sakit, sakit, sakit, tubuhku sekarang benar-benar mati rasa. "Bagaimana? Apa sudah kau tentukan? Aku musuhmu, atau temanmu?" ucap gadis itu dengan tersenyum senang, ia pasti tengah menertawaiku.

"Jangan senang dulu, bodoh." Aku menyeringai sembari menggerakkan tubuhku. Regenerasi bukanlah hal sulit, beberapa detik saja, aku pulih dari rasa sakit itu.

Namun si*lnya, sekarang aku sedikit terbawa emosi. Benda-benda di sekitarku sudah melayang ke atas sampai mengenai atap rumah, kulihat ekspresi gadis itu. Dia masih menertawaiku! Tidak bisa menahannya, aku benar-benar marah.

Mendadak, tongkat merah yang dibawa gadis itu memukul kepala dengan keras, hingga aku yang tadinya berdiri kini jatuh terduduk. Sakit, tetapi aku tidak merasakan amarah lagi seperti tadi. Apa ini? Tongkat ini memiliki kekuatan? Seharusnya tongkat kecil itu tidak bisa mencegahku. Mataku mengerjap tak percaya, gadis itu sekarang ada di sebelahku, ia mengarahkan tongkatnya ke leherku.

"Apa kau ingin membunuh manusia? Hei, kau cukup berbahaya," ucapnya. Mata coklat gadis itu menatapku garang.

Apa katanya tadi? Membunuh manusia? Refleks, tangan ini memukul kepalaku. Benar juga! Mengendalikan emosi itu hal yang sulit, kalau tadi benar-benar kulakukan, pasti Ibunya Ji akan terkena imbasnya, dan Ji marah padaku. Namun, orang ini menyadarkanku.

"Maafkan aku, aku sadar hal yang telah kulakukan. Terima kasih telang menolongku," ucapku sambil menatap ke bawah. Jujur saja, ini pertama kalinya aku meminta maaf sekaligus berterima kasih. Aku ... sedikit malu untuk mengatakannya, tetapi sedikit meliriknya tak apa, bukan? Ah, dia tersenyum. Kali ini bukan senyuman mengejek, namun senyuman yang terlihat tulus sekali.

"Apa yang terjadi, Siska? Kok tadi barangnya melayang semua." Wanita paruh baya itu berlari mengampiri kami, raut mukanya pucat, bahkan seluruh badannya sedikit bergemetaran.

"Hantu itu sudah kuusir, tenang saja," ucap gadis berambut putih itu seraya memasukkan tongkat miliknya, aku menatap tak percaya, kenapa dia berbohong?

***

Malam yang indah dengan bertaburan bintang, bulan nampak malu-malu di atas sana. Aku hanya melihatnya sekilas, lalu beralih menatap komik yang sedang kubaca.

"Ngomong-ngomong Ji, tadi Ibumu memanggil pemburu," ucapku pada Ji yang tengah pusing dengan buku-buku di hadapannya, sedangkan aku tengah duduk di meja tempat gadis itu belajar sambil membaca komik.

"Pemburu? Apaan tuh?" Entah karena dia stres atau memang penasaran, ia tidak mengacuhkanku lagi.

"Mereka semacam dukun? Punya kekuatan, dan tadi juga aku sempat bertarung dengannya," ucapku seraya membalikkan halaman komik.

"Pantas saja tadi di bawah sangat berantakan," gumam Ji di sebelahku sambil memijit pelipisnya, lalu ia mulai memperhatikan angka-angka pada bukunya. Kemudian, dia mengomel karena tugas yang diberikan gurunya sangat banyak. Ha ... ini sudah ke lima kalinya ia mengomel tentang itu, apa tidak bosan?

Oh, adegan dalam komik ini bagus, gambarnya tentang pemeran utama laki-laki mencium kening pemeran utama perempuan untuk memberinya semangat.

Cup!

"Semangat," ucapku menyipitkan mata sambil tersenyum, aku mencoba mempraktekan adegan di komik. Ji menatapku tak percaya, satu detik kemudian pipinya memerah bak tomat. Pfft! Refleks, aku menahan tawa. Namun, dia benar-benar lucu, aku jadi tak bisa menahannya.

"Pipimu sangat merah!" ucapku sambil tertawa terbahak-bahak mengejeknya, gadis itu mendengus kesal.

"Kau seharusnya membantuku, bukan mengerjaiku! Bodoh, hantu bodoh!" ucapnya bersungut-sungut, tak lupa pula beberapa sumpah serapah yang keluar pada mulutnya itu. Entah kenapa, dia yang marah itu tampak imut.

"Ck, ini sebenarnya mudah, cuma kaunya saja yan--" Belum sempat aku berucap, tiba tiba Ji mencium pipiku. Pikiranku sekarang berhenti, mencoba mengerti situasi saat ini. Aku tau apa yang dilakukannya, gawat, sekarang mukaku panas.

"Sekarang kita seimbang, lihat? Mukamu merah! Haha, rasakan itu," balas Ji puas. ia tersenyum mengejek persis seperti yang kulakukan tadi. Apa-apaan, padahal dia sendiri juga merah! Aku tidak menanggapinya, karena aku masih tak percaya pada apa yang dilakukan Ji. Keheningan pun muncul, gadis yang malu itu sekarang nampak sangat malu.

"A-aku akan pergi dulu," ucapku kikuk sambil berjalan ke arah kamar mandi, Ji menjawab oke dengan kikuk juga.

PACAR ASTRAL [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang