Satu: Desiran Angin

1.1K 28 0
                                    

Salam hangat dariku dan F, lalu biarkan kami berkisah, tentang mereka yang merindukan dua purnama dalam sepasang mata, tentang mereka; perindu yang tabah menunggu.

----------

Sebuah gelas penuh dengan green tea latte dan bongkahan-bongkahan es batu berada dalam genggamanku. Mereka tak ayalnya dirimu. Dingin, kaku, beku, lalu bisa saja mencair, dan jika kau ingin, bisa saja kau bekukan lagi.

Aku tak pernah benar-benar mengenal sosokmu. Kamu, dan segalanya yang ada di otakmu itu. Ingin sekali aku baca tanpa jeda sepersekian detikpun. Terasa amat singkat pertemuan kita, kedekatan kita. Lalu kau pergi, seperti tak ingin kembali.

Aku rela menghitung setiap detik sampai kita berjumpa lagi, kau tahu itu? Sudah terhitung 950.400 detik setelah pertemuan kita yang terakhir. Dihitung tepat selepas tangan kita selesai bertautan. Setelah kau dan aku mengucap salam perpisahan. Seusai mata kita saling beradu.

Barangkali pasca itu, aku sirna dari pikiranmu. Mungkin juga setelah itu, kau tak tahu aku menunggu. Menunggu untuk pertemuan selanjutnya. Menanti pesan singkat walau hanya sekadar pertanyaan "Lagi pada di mana?"

Dan, nyatanya, kau pasti tahu, aku selalu ada di sini.

----------

Kedai roti bakar itu selalu ramai. Bising dengan lalu-lalang kendaraan, lagu-lagu yang diputarkan, sesekali pengamen yang datang, atau memang ramai karena obrolan para pengunjung yang melepas kerinduan. Tak ingin kehabisan tempat, aku dan teman-temanku segera memasuki kedai roti bakar itu.

Tempatnya sederhana, hanya kedai beratapkan terpal dan tempat duduk yang kapasitasnya terbatas. Namun begini saja cukup, begini saja nyaman, bila pada dasarnya aku hanya ingin satu. Melihat dirimu melahap habis roti bakar itu, atau tertawa, atau sekadar melihatmu dengan seragam putih abu-abu yang sudah mulai berantakan karena seharian di sekolah. Meski aku tahu, kepulanganmu bukan untukku.

Terlalu sering kita menghabiskan waktu di tempat ini. Bersama teman-teman yang lain. Terlalu sering tempat ini menjadi saksi, tentang kita yang bertemu membawa perbedaan rasa. Aku dengan rinduku, dan kamu dengan.. Entahlah.

Setiap detiknya kurekam dengan memoriku. Aku masih ingat bagaimana seberkas cahaya lampu terpantul di kacamatamu. Bagaimana caramu mengenakan sweater-mu. Juga senyum dan tawa yang mengembang sejurus setelah teman kita mengeluarkan lelucon mereka.

Tapi hari ini berbeda. Untuk apa kamu ada di sini? Hanya ragamu. Bukan hatimu. Dalam jarak sedekat ini, mengapa bisa aku merasakan ada galaksi di antara kita? Sehingga kamu begitu sulit kugapai. Sehingga kamu teramat mustahil kumiliki. Biarkan aku menunggu rasa yang walaupun semu tapi ada. Raga yang meskipun nyata tapi sirna.

Lalu, jarak itu melebar kembali. Punggungmu terlihat menghilang di balik tirai senja yang berubah hitam. Kuperdengarkan alunan tangis yang berputar di otakku, "Ingatlah pulang,"

Dan kini aku tahu, perindu yang tabah adalah; mereka yang senantiasa berdoa untuk seseorang yang dirindukan, bukan mereka yang menyalahkan keterpautan ruang dan waktu.

----------

Pernahkah kau mendengar sekali saja
Desiran angin yang lembut membelai senja
Membawa salam berupa rindu yang pekat
Dengan doa yang diucap khidmat
Sudikah kau mencari tahu
Tentang apa yang membawaku
Meniupkan salam pada angin itu
Menari indah lewat telingamu
Lalu semua suratku tersiratkan
Melalui angin yang memeluk dirimu
Semua kepingan doa
Semua getir kerinduan
Semua serpih kepedihan
Semua kutitipkan
Melalui angin yang merengkuh pundakmu

Antologi Puisi dan Cerpen: Patahan SayapHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin