Tiga: Tentang Hujan atau Bintang

673 13 3
                                    

Penggalan cerita ini untuk kalian dan aku; para pejuang yang tak tahu rasanya diperjuangkan.

----------

Aku menyukai hujan. Tapi, aku juga cinta astrologi. Bagaimana aku memilih keduanya? Di mana saat hujan datang, bintang enggan tampak. Dan begitu bintang berpawai, hujan takkan turun.

Begitu banyak pilihan yang disuguhkan kehidupan. Apakah kau akan berdoa untuk melihat kilauan bintang, atau meminta pada Tuhan untuk mencium aroma petrichor di tengah hujan.

Sama halnya-kau harus memilih; apakah kau akan terus berjuang, atau merelakan segalanya.

----------

Rabu, 25 Februari 2015

Matahari tidak sedang murka, tidak juga hal nya dewa hujan. Siang itu semua sempurna, langit cerah, awan berarak meredam sang surya yang memancarkan panasnya. Meski begitu, peluhku tak henti-henti berjatuhan. Kedua kakiku terus melangkah menyapu aspal menuju sebuah toko buku terdekat dari sekolahku. Tentu, dengan seragam putih-biru yang masih melekat.

"Sampai kapan mau berdarah-darah untuk orang yang salah?" Shafa berusaha menyetarakan langkahnya denganku yang sudah lebih dulu membuka pintu toko buku.

"Eh, yang ini bagus gak kalo gua tempelin di scrapbook-nya, Shaf?" mataku mengamati kertas kado bermotif polkadot yang di pajang. Berusaha tak menghiraukan Shafa walaupun aku tahu ia ada benarnya. Namun, jika Ryan orang yang salah, mengapa mencintainya terasa benar untukku?

"Ish. Gua dicuekkin. Lu tuh kenapa, sih segitunya buat Ryan? Awas ya kalo gua ulang tahun lu gak ngasih apa-apa!" cecarnya.

"Ya ampun, apaan sih, Shaf? Lu ulang tahun gua gak bakal kasih scrapbook, gua kasih kue lima puluh kali lima puluh meter persegi buatan gua sendiri!" aku memukul pelan bahu Shafa dan melanjutkan, "lagian ini tuh sederhana banget, cuma scrapbook doang, kan? Temen-temen dia di SMA mungkin bakal kasih kejutan yang lebih dari ini,"

Jeda panjang yang terjadi antara kami membuatku menghela napas lalu melanjutkan memilih mana yang akan kujadikan bahan membuat scrapbook. Setiap rak yang menampakkan karton dan kertas kado aku jajaki. Sampai akhirnya keranjang penuh, lantas menyeret kami ke meja kasir.

Setelah selesai bertransaksi, aku dan Shafa keluar dari toko buku dan kembali berjalan beriringan.

"Nanti gimana cara lu ngasih scrapbook-nya?"

"Nitip aja ke Ana, rumah dia kan deket sama rumah Ryan," sahutku menanggapi pertanyaan Shafa.

Matahari tampak hampir menyudahi masa berpijarnya. Bola bercahaya jingga itu tergelincir ke arah barat, memberi isyarat bagi bulan untuk bergantian menerangi bumi.

"Jihan,"

"Hmm?"

"Jangan keteteran lu gara-gara bikin scrapbook. Jum'at-Sabtu Try Out!"

Aku hanya mengacungkan jari jempol dan mengangguk, sebelum akhirnya Shafa berjalan membelakangiku, pulang menuju arah yang berbeda.

----------

Sabtu, 28 Februari 2015

Sudah hampir setengah jam aku bolak-balik melihat jam dinding. Masih 23.40. Tiga cangkir kopi yang sejak tadi kuseduh ternyata tak ampuh menghilangkan rasa kantuk, padahal aku yakin bisa saja aku darah tinggi dan mabuk kafein karenanya. Ya, semua yang mengenalku tahu, kalau aku bisa saja tidur pukul delapan atau setidaknya sembilan malam karena memang aku tipikal orang yang mudah lelah.

Tidak, aku tidak akan menunggu sampai pukul 00.00. Karena aku tahu rotasi bumi hanya memakan waktu 23 jam 56 menit dan 4 detik. Sehingga pada saat itulah akan kukirimkan ucapan selamat ulang tahun dan doa yang sebenarnya bukan hanya kuucapkan saat ia ulang tahun saja.

Terkadang aku berpikir. Bahagia seperti apa yang setiap orang coba untuk definisikan? Apakah bahagia itu tak perlu hal yang muluk-muluk? Misalnya, bahagia karena tahu bahwa masih ada orang yang rela membunuh malam dan menunggu pergantian hari hanya untuk mengucapkan "Selamat ulang tahun," untuknya. Apakah itu salah satu definisi bahagia?

Bila memang benar bahagia itu sederhana, mengapa cinta tidak? Mengapa cinta tak sesederhana kenyataan bahwa; embun saja tak perlu warna untuk dapat daun cintai, mengapa aku harus sempurna untuk dapat kamu sayangi?

----------

"JI! LIAT TIMELINE CEPET! LU BAKAL TERIAK!"

Shafa. Sekitar delapan belas pesan semacam itu ia kirimkan padaku dalam selang waktu yang hampir bersamaan. Dan, ya, Tuhan! Aku hampir frustasi mencernanya.

Dengan tenang, aku menuruti perintahnya, segera menggerakkan tanganku menekan simbol timeline yang tertera di layar handphone.

Bingo! Ternyata itu sebuah gambar scrapbook yang kuberikan dan ucapan terimakasih dari Ryan. Rupanya Ana sudah meletakkan scrapbook itu di tas Ryan.

Seketika aku sadar. Para pejuang tak selamanya harus tahu rasanya diperjuangkan. Para pejuang hanya perlu tahu, bagaimana rasanya dihargai. Penghargaan itu bukan berupa ucapan terimakasih, melainkah rasa bahagianya. Ya, bagiku, kebahagiannya adalah apresiasi terbesar atas segala perjuanganku.

Aku mendongak ke langit di mana tak ada bintang yang berpawai di sana, selang beberapa detik kemudian, titik-titik air mulai berebut jatuh membasahi bumi. Mungkin, membasahi pipiku juga. Bersamaan dengan itu, aku tahu, kau tahu, bahwa aku sudah memilih satu diantara pilihan-pilihan itu. Di antara berjuang atau melepaskan. Tak mempedulikan adanya balasan.

Satu hal yang pasti; aku sangat menyayanginya, dan karenanya, hampir tak ada ruang dan spasi di hatiku untuk menyayangi diriku sendiri.

"Selamat ulang tahun, wahai pria yang menyapa dunia pada tanggal kabisat," bisikku, masih dengan air mata yang mengalir dari pelupuk.

Minggu, 29 Februari 2015 (seandainya ada)

----------

Antologi Puisi dan Cerpen: Patahan SayapHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin