Sebelas: Pukul Setengah Tiga Dini Hari

62 6 0
                                    

Kepada dia—Sembilan Belas Oktoberku.

Baiknya kalian tahu tulisan ini dibuat dalam suasana hati yang lebih kepada meresahkan ketimbang bahagia yang menggebu. Tapi, biar begitu, kusisipkan pula senyum di antara tanda baca dan di sela-sela spasinya.

Pukul satu dini hari.
Sunyi tak ingin mengalah, lantas hanya menyisakan denting jarum jam dan deru napas miliknya di ujung telepon. Mereka menciptakan atmosfer tersendiri. Bagiku, juga baginya. Selain mendung di ujung sana dapat jua kurasakan angin membelai rambutnya yang ia bilas empat kali dalam satu hari itu. Katanya.

Pukul dua dini hari.
Kami berdebat, tentang siapa yang harus menutup telepon lebih dulu. Meski akhirnya aku mengalah, kutekan tombol merah di layar smartphone, dan terputuslah sambungannya. Aku tak pernah minta ia ucapkan semoga tidur nyenyak, karena aku tahu aku tidak akan tertidur dengan nyenyak.

Pukul setengah tiga dini hari.
Sebelum ditenggelamkan oleh sang lelap, setidaknya setengah jam kupakai untuk memandangi langit-langit kamarku, lalu berpikir;

Kita adalah dua yang terlalu naif, dua yang terlalu cepat menerjemahkan rasa. Dua yang diburu-buru oleh perasaan nyaman. Dibutakan oleh keinginan berjalan bersama orang yang tak akan membiarkan kita melihat lagi apa yang sudah kita punggungi. Kita adalah dua yang dimanjakan dengan perasaan saling ada untuk saling menyembuhkan.

Tapi, andai boleh jujur, kalau kelak Tuhan sudah menetapkan dia bukanlah tujuanku, pelabuhan hatinya yang sebegitu; pantaskah kalau hanya dijadikan persinggahan?

0,00000009% fiksi | Depok, 6 November 2016 22.01

Antologi Puisi dan Cerpen: Patahan SayapHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin