Tujuh: Selamat Malam Menjelang Pagi

289 11 2
                                    

"Tak terasa gelap pun jatuh
Diujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan ditengah pelariannya

Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya"
Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, Payung Teduh

----------

Selamat malam menjelang pagi, Tuan. Ketika aku mulai merangkai frasa-frasa ini menjadi paragraf yang padu, menjadi sajak yang sesaat kemudian terlupakan, suara Payung Teduh sedang mengalun dari radio mobilku, membawakan lagunya, Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan. Aku terdiam menghadap jendela, pandanganku menembus ke arah lampu yang membiaskan cahayanya. Barangkali jalanan memang sedang ramai, lalu bisakah kau jelaskan perihal diri yang tetap merasa sepi ini?

Atau perihal aku yang selalu merindu walau setiap hari bertemu? Apa rindu harus melulu hadir dalam keterpautan jarak? Atau justru rindu terbesar adalah ketika ragamu sedekat nadi, tapi jiwamu bak bumi-matahari?

Lucu mungkin, selalu saja kuakui rindu ini sudah kukikis habis. Nyatanya setiap detik hatiku masih dalam keadaan sama; rindu yang utuh atau bahkan bertambah porsinya. Sedang kamu pasti tak peduli seberapa banyak tetes air mataku yang dibaliknya beralasan setangkup kerinduan. Aku rindu bukan hanya ragamu, percayalah, setiap hari kita bertatap, lantas ini apa? Apa yang berkecamuk dalam kepalaku sontak meneriakkan ribuan kata rindu tanpa jeda? Apa yang sedang aku rindukan? Ah, barangkali, kamu yang dulu.

Dengung tawamu bahkan masih kuingat sampai sekarang, juga cahaya dua purnama yang dipancarkan lewat binar sepasang mata—yang tentu saja selalu dibingkai oleh kacamata itu. Celotehanmu tentang apa saja, aroma sweatermu, atau rambutmu yang selalu rapi meski kucoba mengacaknya berkali-kali. Semuanya masih membekas, meski kelamaan mulai pudar. Kau lihat, bukan? Aku mengingat semua tentangmu, bahkan saat kamu mungkin tak ingat lagi warna mataku.

Baiklah, Tuan—yang mungkin tak pernah peduli akan rindu yang menyesakkan dadaku. Kuharap kamu tak terjaga sampai pukul dua pagi (lagi) hari ini. Aku tak ingin sholat shubuh-mu terlambat. Semoga sejak tadi kamu sudah terlelap. Selamat malam menjelang pagi, sekali lagi, untuk kamu yang mungkin sedang terjaga di dalam mimpi-mimpinya.

0,99% fiksi | Tangerang Selatan, 01 November 2015 00.31

Antologi Puisi dan Cerpen: Patahan SayapHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin