Lima: Seperti Kemarin

464 11 0
                                    

Kisah ini kisahmu, S. Juga kisah mereka yang tenggelam dalam kenangan tanpa berusaha berenang ke permukaan.

----------

Bagaimana rasanya bermain-main dengan kenangan? Membawa semua partikel-partikel rasa yang sudah kau coba tinggalkan. Berenang-renang dalam lautan kenyamanan yang tak pernah dapat kau habiskan. Meringis karena tak dapat menggenggam apapun selain memori.

Kau dan aku, seperti bergerak melintasi orbit pada tata surya. Memaksaku terus berevolusi bersamamu, namun tetap pada poros masing-masing. Layaknya garis lurus yang membatasi dua wilayah. Di mana garis itu seperti memberi batas langkahmu juga aku. Kita tak pernah diizinkan untuk melangkah maju, apalagi mundur. Tak pernah diperbolehkan kembali bersatu, apalagi saling tak acuh.

Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, bukan? Apalagi bila hanya dihabiskan untuk menghiasi malam dengan semua pikirku tentangmu. Berharap cemas suatu saat namaku melintas sebelum mimpi menjemputmu. Menunggu lagi dan lagi untuk sesuatu yang mungkin saja tak dapat kembali. Karena apa? Karena aku; begitu naif.

---------

"Raisa,"

Suara bass miliknya mengejutkanku yang sedang memandangi lingkungan sekolah dari atas balkon. Kala itu sekolah sudah sepi, tersisa beberapa anak saja yang akan melaksanakan ekstrakurikuler futsal.

Entah berapa kali aku merasakan ini. Mini heart attack. Ya, setiap kali ia memanggil namaku dengan sebutan 'Raisa'. Aku suka itu. Dibandingkan dengan nama panggilan yang biasa orang lain beri untukku, 'Caca'. Lucu, kan? Hal se-simple itu bisa membuat kupu-kupu menggelitik perutku.

"Ca, kok bengong?"

"Apa?" jawabku sekenanya.

"Nanti kamu ikut ke birthday party-nya Ghina?"

Aku menghela napas, "Engga,"

"Kenapa?"

"I don't have any ideas how to get there," ujarku sembari menatap matanya, lalu berpaling melihat lapangan.

Melalui ujung mataku, aku dapat merasakan tatapannya menusuk sosokku. Tatapan yang selama ini selalu aku hindari. Cokelat tua, dingin, juga tajam. Indah, dan selalu berhasil membangkitkan kenangan yang seharusnya sudah lama mati.

"I'll pick you up at 7,"

Kalimat itu dengan mudahnya meluncur melalui mulutnya. Tidak terdengar seperti tawaran, lebih seperti pernyataan, kata mati, dan sesuatu yang tak boleh ditolak.

Beberapa detik setelahnya, aku masih terpaku. Bahkan belum sempat ku-iya-kan, ia sudah menuruni anak tangga dengan tas dan shoes-bag nya.

Aku melirik jam tangan dan aku menyumpah-lebih kepada diriku sendiri-bahwa ini harus kutanggapi sebagai kebaikan dan tawaran seorang teman lama. Tidak lebih.

----------

22.10

Acaranya sudah selesai satu jam yang lalu. Meski begitu, aku dan Keenan masih duduk di sebuah warung kecil tempat kami biasa berkunjung, dulu. Warung ini biasa saja, hanya menjual minuman hangat dan diterangi satu lampu yang redup bak cahaya pucat purnama. Namun bagiku, tak ada satu momen pun yang layak dikatakan biasa saja selama aku bersama Keenan.

Diam-diam, aku merutuki diriku sendiri. Untuk apa 'dinding pertahanan' itu aku bangun bertahun-tahun, kalau hanya akan runtuh dalam semalam? Untuk apa aku susah payah melupakan Keenan, kalau nyatanya jutaan kenangan bisa kembali dalam waktu kurang dari duapuluh empat jam?

"Bunda kangen sama kamu,"

Aku tersentak. Bunda Keenan, rindu padaku? Ah, sudah lama sekali tak bertemu beliau. Bahkan aku lupa kapan, tapi, tak pernah lupa peristiwa apa.

"Oh, ya? Bunda kangen sama aku, atau sama kita?" candaku di tengah kami yang sedang menikmati minuman hangat milik masing-masing. Mendengarnya, Keenan hanya tertawa kecil sambil terus menatap gelas di genggamannya.

"Eh, by the way, Maudy gak marah kan kalo hari ini aku nebeng kamu?" tanyaku pelan.

"Maudy gak tahu. Kalau dia tahu, mau jadi apa aku?" Keenan tertawa miris, matanya menerawang jauh menembus langit yang sedang tak begitu cerah malam ini.

Aku memandangi sosok Keenan. Rasanya ingin memeluknya, menumpahkan semua kerinduan yang selama ini menyiksa. Namun, apa boleh buat? Raganya boleh jadi sedang bersamaku, tapi tidak dengan hatinya, perasaannya. Bukan milikku. Lantas, bukan hakku pula.

"Keenan, kenapa sih, kita kayak gini?"

"Maksud kamu, Ca?"

"Kenapa kita gini-gini aja. Aku gak ngerti aja sama kita,"

Keenan memalingkan wajah menuju arah yang lain, raut wajahnya berubah menjadi lebih serius, rahangnya menegas. Tanpa perlu kujelaskan, aku yakin ia mengerti apa yang baru saja aku katakan.

Setelah satu tarikan napas berat, akhirnya ia bersuara, "Aku gak mau ngulangin kesalahan untuk yang kesekian kalinya, Ca,"

"Kalau bersamaku adalah sebuah kesalahan, lalu kenapa kita di sini, saat ini?"

"Aku cuma gak mau terikat sama kamu,"

"Kenapa? Kamu takut nyakitin aku lagi? Then don't!"

"Udahlah, Ca! Gak usah bahas yang udah-udah. Lagipula sekarang, aku, kamu, kita udah sama-sama bahagia, kan?"

"Itu kamu, kamu yang bahagia! You thought that every single day wasn't a goddamn marathon of my life without you?" tanpa sadar, suaraku sedikit meninggi, air mata mulai menggenangi pelupuk mataku.

Kami diam dalam jeda yang cukup panjang. Dalam hening, Keenan memberikan sebuah sapu tangan miliknya padaku. Dia tetap tak menatapku, tapi aku tahu, dia ingin aku menghapus air mata itu.

"Pulang, yuk. Udah malem. Besok kamu telat lagi," ujarnya.

Aku mengangguk lalu mengekorinya menuju sebuah mobil berwarna putih, lalu masuk. Aku ataupun Keenan, sama-sama memilih diam selama perjalanan pulang, sampai akhirnya mobil Keenan terparkir di depan pagar rumahku.

"Keenan, sorry yang tadi. Aku bener-bener gak bisa kontrol emosi,"

Keenan tersenyum kecil lalu berkata, "That's okay, Ca,"

"Salam buat Bunda.."

"Oke.."

----------

Kau, aku, kita tersenyum. Lalu pintu itu tertutup seperti tak seharusnya terbuka lagi. Akan selamanya lebih baik begini, bukan? Kau sendiri yang katakan, dengan keyakinanmu. Tetap dalam zona masing-masing. Menikmati kedekatan yang sebenarnya terasa jauh, hampa, senyap, dan tak bersuara. Tapi sekali lagi, lebih baik begini. Menyisakan secercah ruang untuk kita menghirup udara, ketimbang terlalu dekat dan tak bisa bernapas.

Karena hari ini adalah hari ini, hari di mana hanya ada aku dan kamu. Bukan lagi kita, bukan lagi seperti kemarin.

Antologi Puisi dan Cerpen: Patahan SayapHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin