lembar keempat

351 34 0
                                    

"Adhiyat, gue kangen banget, dari kemarin sama Adhit nggak dibolehin main."

Begitulah ujar Surya begitu pintu kediaman keluarga Adhiyat dibuka oleh adiknya. Bibirnya dibuat sok mengerucut, suaranya juga agak serak lemas, seakan sangat parah rasa ingin mainnya. Padahal, baru enam hari ia dilarang datang oleh Adhit.

Surya tak datang sendiri, seperti pada hari main lainnya ke rumah Adhiyat, ia membawa kedua temannya. Siapa lagi kalau bukan Rian dan Jengga. Tentu yang paling menonjol itu Surya, apalagi yang dibanggakan kalau bukan suara menggelarnya. Sedangkan Rian pasti langsung duduk diam dan Jengga pasti langsung membuka toples makanan.

"Itu gue sih yang nyuruh Adhit biar lo nggak ke sini,"  timpal Adhiyat ringan. 

Rian yang baru saja menyenderkan punggungnya malas, seketika tergerak dengan balasan Adhiyat. "Hahahahaha, kan bener kata gue kalau Adhiyat langsung yang ngelarang."

Bibir Surya seketika melengkung ke bawah, "Nggak tahulah Yat, jahat banget, mulai sekarang kita nggak fren."

"Yah kasihan, udah nggak bisa numpang ngemil lo."

"Jengga, bisa-bisanya lo ngomong gitu di saat gue berduka," ujar Surya. "Ah capek, gue mau cerita aja. Tadi pagi gue sarapan bubur terus bisa menggede, eh tahu nggak kenapa?"

"Lah nggak jadi berduka?" tanya Adhiyat menimpali.

"Lo pengen banget gue berduka apa gimana sih, Yat," seru Surya kesal.

"Ya udah kenapa tuh buburnya?"

"Eh pas gue tanya emak gue, namanya bubur zoom-zoom."

"Nggak lucu ah, Surya jokesnya kayak bapak-bapak."

"Terus tadi gue beli kentang goreng di kantin, eh dapet bonusan jadi dua, ya bener sih namanya juga pota-two."

"Cukup, gue nggak tahan," tanggap Adhit yang sebenarnya sedang menahan tawa.

"Ketawa mah ketawa aja, Dhit. Dhiyat lo juga, nggak usah sok-sokan ngatain jokes gue bapack-bapack padahal dari tadi nahan ketawa," seru Surya lagi. 

"Hahahahahaㅡhoek."

Sesuai yang dikatakan Surya, Adhit melepaskan tawa yang ditahannya. Tapi tak lama, tawa Adhit merangsang sesuatu dari tubuhnya yang juga ingin dikeluarkan. Suara tawanya seketika berubah menjadi suara serak yang memaksa untuk mengeluarkan hal yang ditahan di luar kesadarannya.

Semuanya langsung berpaling ke sumber suara tersebut. "Adhit?"

"Sorry, ke kamar mandi dulu, gue mual."

Adhit berlari menuju kamar mandi sembari memegangi perutnya dengan erat. Ia tak sempat meraih kloset, isi perutnya seakan memaksanya segera untuk dikeluarkan. Tenaganya pun ikut hilang, sampai-sampai ia ambruk di lantai kamar mandi disusul keluarnya sendawa-sendawa dan suara serak.

"Adhit?"

Langkah yang berjalan perlahan dan suara gesekan tembok luar terdengar, suara panggilannnya juga tak asing bagi Adhit. Itu suara panik Adhiyat, menyebut nama adiknya saja sampai gemetar. Ia tak yakin kakaknya punya tenaga untuk sampai ke kamar mandi.

Akan tetapi, dugaan Adhit salah. Kakaknya sampai di kamar mandi masih dalam keadaan berdiri dan juga sadar.

Adhiyat pun menurunkan posisi tubuhnya menjadi berjongkok dan perlahan ia mencari keberadaan adiknya. Setelah ia meraih bahu adiknya, ia mengeluarkan suatu botol berisi cairan dari sakunya.

"Dhit, nggak apa-apa?"

"Mual banget, Bang. Tapi nggak ada yang keluar."

"Ini ada minyak angin, coba digosokin atau mau cium aromanya biar nggak terlalu mual," ujar Adhiyat

Rintik AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang