lembar kelima

319 28 8
                                    

Pukul satu siang, mentari membayang tepat di atas kepala semua manusia. Panasnya menyengat kuat, mendidihkan air tubuh hingga keringat bercucuran. Jalan raya terpantau ramai, nyaring klakson bersautan membuat pening seluruh pengguna jalan. Termasuk yang berjalan di jalur pedestrian.

Di bawah bayang-bayang mentari, Satya mengayunkan tongkatnya menghantam kerasnya beton jalur pedestrian. Jalur pedestrian yang aslinya luas, terasa lebih sempit setelah dipaksa digunakan secara dua arah berlawanan. Satya berusaha menyesuaikan diri, berjalan lurus ke depan, sebab ia tak pernah tahu apakah ada orang dari arah berlawanan. Namun, usahanya tak membuahkan hasil sama sekali.

Tuk

Bahu Satya bersenggolan dengan seorang dari arah berlawanan. "M-Ma-Maaf." Rasa kejut tak bisa disembunyikan, Satya menggerakan tongkatnya panik dan tanpa sengaja semakin bergerak ke pinggir. Konsentrasinya hilang, semua suara rasanya padam, ia tak tahu apapun yang sedang terjadi di sekitarnya.

"SATYA AWAS!" Sebuah lengkingan panik penuh gemetar terdengar. Bersamaan dengan itu, batang tubuh Satya ditarik menjauhi jalan raya.

Satya meringkuk di rengkuhan orang yang menariknya. "Bang Rizal?" terkanya terhadap suara tadi.

Rizal—kakak laki-laki Satya yang tadi menariknya, mengangguk cepat. "Lo mau kemana sih, Satya? Ini bukan jalan ke rumah. Gue udah bilang berapa kali coba, kalau pulang tuh langsung ke rumah. Bandel banget." ujarnya cepat berkejaran dengan tarikan napasnya yang tak stabil.

"Satya mau beli es krim," jawab Satya polos. "Abang kok bisa ada di sini jam segini? Nggak kerja?"

Rizal mengelus dadanya agar benda di dalamnya berdetak lebih pelan. Perlahan ia menjawab, "Abang baru aja resign." Satya terdiam, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Yuk bareng beli es krimnya, lipet tongkatnya," ajak Rizal sembari mengetuk-ngetuk tangan Satya yang digunakan untuk memegang tongkat.

"Abang aneh banget, nggak kayak biasanya," respon Satya selagi melipat tongkatnya. Seusai terlipat sempurna, lipatan itu dimasukkan ke dalam tas. Kini tangan Satya kosong semua, ia menggerakan tangan kanannya untuk merangkul tangan kakaknya.

"Abang nggak mau meninggal kan?" pertanyaan itu hadir begitu kulit telapak tangan Satya menyentuh lengan kakaknya, rasa kejut pun tak bisa dihindari.

"Satya jangan aneh-aneh!" geram Rizal mendengar pertanyaan dari adiknya.

"Abang kalau sakit langsung ke rumah sakit ya, jangan ditahan-tahan. Jangan lupa kabarin Satya."

"Abang nggak kenapa-kenapa, Satya!"

• • •

Seorang pergi menjauh dari rumah dan seorang lainnya masuk ke dalam sembari melipat tongkatnya. Seorang yang masuk itu membawa sekantung plastik putih bercorak hijau dengan embun-embun air seakan di dalamnya ada benda dingin. Perlahan, ia mendekati tembok dan merabanya sampai ia bisa masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar, ada satu orang lagi yang rupanya sungguh mirip dengan orang yang baru masuk. Kabarnya, orang yang di dalam itu sudah dari pagi sendirian di kamarnya, ia tak berangkat sekolah karena flu.

"Nih," ujar Adhiyat begitu masuk ke dalam kamar.

Adhiyat menggoyang-goyangkan kantung plastik itu seolah memberi isyarat kepada orang yang di sana-Adhitya-untuk mengambilnya. Betul saja, Adhitya yang berada di ranjang atas langsung semangat menuruni tangga seakan lupa bahwa dirinya sedang sakit. Begitu mencapai lantai, Adhit menggambil kantung itu dengan cepat, rasa penasarannya sudah memuncak.

"Apaan nich?" tanyanya sembari membuka. "Wah, es krim," ujar Adhitya begitu bahagia setelah melihat banyaknya es krim yang dibelikan untuknya. Dengan ekspresi bahagianya, ia cepat-cepat duduk di ranjang bawah sembari menepuk kasurnya keras agar suara tersebut sampai ke kakaknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rintik AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang