Mentari mulai muncul, panasnya masih terpendam bersama hawa dingin pukul enam. Secercah cahaya mulai berpenjar menyemestai buntala, mengusung terang menyadarkan manusia dari rajutan mimpinya semalam. Pukul enam, ini tepat empat jam seorang Adhiyat tertidur tenang di atas kasurnya setelah menetralkan sakit perutnya saat gelapnya pukul dua pagi. Pemuda itu menggeliat, disaksikan adiknya yang baru saja melaksanakan sholat.
Adhitya merotasikan bola mata, tak disangka abangnya memanglah pelupa. Semalam, katanya ingin bisa datang ke sekolah lebih awal agar bisa belajar lebih banyak dari semalam, namun buktinya sekarang masih saja menggeliat di atas kasur hitamnya. Adhitya menguap sebentar, kemudian mendekati raga kakaknya yang seolah tak bernyawa.
Pemuda itu celingukan, harap-harap bundanya masih berada di kebun belakang sebelum ia mengeluarkan suara menggelegarnya. "Bangun, Bang!" pekiknya keras, dengan harapan yang sama, bunda tak ada di dekat sini.
"Eeungh," kerongkongan Adhiyat yang menjawab, badannya kembali membalik ke arah lain.
"Bang ..."
"Lima menit lagi, abang ngantuk banget nih."
"Lo lupa kalau hari ini kelas lo ada ulangan ..."
Mata Adhiyat pun langsung terbuka sempurna kala Adhitya melontarkan kata ulangan, pemuda itu langsung mengambil posisi duduk dan kembali memejamkan mata. "Astagfirullah, kok gue lupa ya. Mana katanya kalau telat bakal susulan pake soal olimpiade," ujar Adhiyat sembari mengusap matanya yang tergantung rasa kantuk.
"Nah kan, makanya bangun. Sholat dulu, terus mandi yang cepet katanya mau berangkat gasik."
Adhiyat hanya menganggukan kepala sembari memaksakan matanya kembali terbuka. Matanya pun terbuka, tapi kejanggalan yang ia alami empat jam lalu masih saja sama. Tak ada cahaya yang bisa diterima matanya sekarang. Seluruhnya tampak gelap di mata Adhiyat, padahal biasanya pandangannya tak seluruhnya gelap.
"Tapi, Dhit ..."
"Kenapa, Bang?"
"Listriknya masih mati, ya?"
"Nggak ada mati listrik, lampunya udah nyala semua kok."
Adhiyat menelan ludahnya. Ia tak ingin berpikiran macam-macam mengenai matanya hari ini, tapi sejak pukul dua pagi tadi, nampaknya matanya sudah mulai bermasalah dengan penerimaan cahaya. Yang ada di pikiran Adhiyat, ini pasti hanyalah sementara, nanti siang pasti cahaya sudah bisa masuk ke dalam matanya. Oleh sebab itu, Adhiyat mencoba menenangkan dirinya dan tetap mengiyakan perintah adiknya bangun dari tempat tidur.
Adhiyat melangkahkan kakinya, perlahan dan yakin ia bisa mencapai kamar mandi seperti pagi tadi. Dengan mendekatkan diri pada dinding, meraba permukaan dinding dan berusaha mengingat letak kamar mandinya. Adhiyat terus berjalan ke depan, mengandalkan indera perabanya yang berada di telapak tangan juga telapak kaki. Fokusnya tak beralih hingga ia membentur sesuatu yang bergerak.
Pyarr
Suara itu, terjadi cepat setelah benturan terjadi. Tepat di depan Adhiyat, benda itu pecah menjadi tak beraturan bentuknya. Jantung pemuda itu menderu dan secara refleks, ia melepaskan tangannya yang bertautan dengan dinding guna menutup telinganya.
"Bang, nggak apa-apa?"
Pupil Adhiyat terus bergerak seiring jantungnya menderu, hingga suara wanita di depannya menghentikan gerakannya itu. "Bunda?"
"Iya ini bunda, Abang nggak apa-apa?"
Adhiyat mengulum bibirnya, badannya bergerak perlahan ke depan berharap ia menemukan kaki bundanya. "Bunda, nggak apa-apa, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Asa
FanfictionFisik serupa namun asa dalam jiwa yang berbeda. Siapa lagi kalau bukan kita. ㅡ sharkcatty 2020, present Rintik Asa