lembar ketiga

420 40 4
                                    

Suar mesin ketik memenuhi ruang kelas setelah sebuah tugas merangkum diserahkan pada siswa. Semenjak kedua mata Adhiyat tak lagi bisa menerima cahaya, Adhiyat dipindahkan ke kelas inklusi kelompok A yang dikhususkan untuk penyandang disabilitas netra. Pena, kertas bergaris, buku paket, dan magnifier digital miliknya sudah tak lagi berguna. Kini semua itu digantikan dengan mesin tik braille, reglet, dan buku-buku pelajaran tebal yang menggunakan braille.

Sebenarnya, ini bukanlah kali pertama Adhiyat menggunakan mesin tik yang menghasilkan huruf braille. Beberapa tahun lalu, saat dirinya masih bersekolah di SLB, tepatnya TKLB, Adhiyat diberi pendidikan layaknya tunanetra, walau dirinya saat itu masih bisa menangkap cahaya. Seperti cara menggunakan tongkat, membaca huruf braille, menulis manual menggunakan reglet dan stylus, dan cara menggunakan mesin tik braille.

Tapi, karena jarak waktu sekarang dengan masa Adhiyat cukup lama, dan ia juga beralih menggunakan magnifier selepas lulus dari TK, ingatan Adhiyat mengenai braille dan seluruhnya telah tenggelam. Maka, enam hari yang lalu, Adhiyat kembali diperkenalkan dengan braille guna mengembalikan ingatannya.

Kini, ingatan mengenai braille sudah tak lagi tenggelam. Jari-jarinya juga sudah terbiasa untuk membagi tugas agar mengetik dan juga membaca materi dari buku pelajarannya.

"Bagaimana, sudah sampai mana?"

Tiba saat suara mesin ketik ditembus suara manusia. Beliau, Bu Sekar. Salah satu guru pengampu kelas inklusi yang mengajarkan sejarah.

"Politik Tanam Paksa, Bu." Salah satu dari kelima siswa itu menjawab, Satya namanya, duduk di bangku paling depan yang letaknya tepat di sebelah kanan Adhiyat.

"Bagus-bagus, sebentar lagi selesai. Ada yang bingung dan mau ditanyakan?" tanya beliau disisipkan apresiasi.

"Belum, Bu." Ini masih Satya yang menjawab.

Bu Sekar mengarahkan atensinya ke Adhiyat, murid yang baru bergabung kelas inklusi ini satu pekan yang lalu. "Kalau Adhiyat, sudah sampai mana?"

"Sama seperti Satya," jawab Adhiyat singkat.

"Sip, masih suka lupa hurufnya?"

Adhiyat hanya menggeleng untuk merespon pertanyaan dari Bu Sekar. Ia tak mau konsentrasi dalam mengetik juga membaca menjadi buyar seketika hanya gara-gara berbicara.

Tujuh menit berlalu, tugas rangkuman kelima siswa di kelas itu akhirnya selesai. Kelas pun menjadi sepi, tak ada lagi yang mengetik, dan Bu Sekar pun bersiap untuk undur diri. Sebab, Adhiyat yang sudah memperbaiki ingatan dengan bentuk huruf braille, mata pelajaran pertama pun selesai lebih cepat, begitu Bu Sekar keluar kelas, kelas pun bisa dinyatakan istirahat.

"Adhiyat hebat banget, ngetiknya udah cepat, padahal cuma enam hari belajarnya." Chiara, satu-satu siswa perempuan di kelas itu memberikan apresiasi pada Adhiyat.

Adhiyat tampak tersenyum setengah. "Nggak sih, sebenernya udah dari TK bisa."

"Nggak jadi aku puji."

"Ih jangan gitu dong, Chia."

Satya membuka kaca jam tangannya dan jarinya mulai membaca pukul berapa sekarang. Rupanya masih sangat lama untuk istirahat yang sebenarnya, tapi perutnya sudah memberikan sinyal agar segera diisi dengan makanan. "Kalian mau ke kantin?"

Andra ikut membaca jam tangannya, "Yuk, sepi nih jam segini. Soalnya kita dapet privilege istirahat awal."

"Semoga besok juga dapet privilege," timpal Satya. 

"Tiap hari aja, Sat," balas Wira. 

Satya terkekeh mendengar balasan Satya, "Betul juga."

Satya pun mengeluarkan tongkatnya dari sisi kiri tasnya, ia membuka lipatannya dan segera berdiri keluar dari meja. Mendengar ketukan tongkat, Andra juga keluar dari meja dan berusaha mencari bahu Satya. "Andra doang nih yang ikut?" tanya Satya.

Rintik AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang