lembar pertama

595 57 0
                                    

Bagi seorang Adhiyat, perihal melihat jelas dengan matanya sendiri itu bukanlah sebuah harapan. Namun, itu adalah sebuah pertanyaan. Karena tidak mungkin pemuda itu mengharapkan sesuatu yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Adhiyat belum pernah melihat jelas selama hidupnya, sebuah penyakit bawaan genetika perusak retina diwarisinya sejak lima bulan ia bernapas di dunia.

Retinitis Pigmentosa, itulah sebutannya. Sebuah kondisi yang menyebabkan retina penderitanya rusak, sebabnya tak jauh-jauh dari bawaan genetik. Orang tua Adhiyat memang tak ada yang menderita penyakit tersebut, namun dalam genetiknya masih mengandung penyakit itu dari generasi sebelumnya. Hal ini membuat penglihatan Adhiyat berbeda dari manusia lain, maya, samar, dan rasanya seperti ada dalam terowongan.

Petang ini, Adhiyat tak punya kesibukan lain selain duduk di ruang tengah sambil mendengarkan radio bersama adik kembarnya yang sedang membaca komik fantasi. Adhitya, adik kembar Adhiyat ini lebih beruntung sebab ia lahir dengan kondisi mata normal. Pernah juga ia didiagnosa akan bernasib sama dengan kakaknya, tapi entah itu akan jadi nyata atau perkiraan semata.

"Ayah beneran jadi pulang hari ini, Bun?" tanya Adhitya sembari melirik jam dinding yang sebentar lagi jarumnya menunjuk pukul tujuh. Tadi siang, Bunda menyampaikan pesan kalau Ayah akan pulang ke rumah hari ini. Perkiraan sampainya pukul enam, tapi jika melihat kondisi sekarang yang tak kunjung sampai rumah, hal ini perlu dipertanyakan.

Bunda ikut melirik jam dinding saat Adhitya menanyakan hal demikian. "Kita makan malam dulu saja, yuk?" tawar wanita itu kemudian.

"Nanti kalau ayah pulang terlambat, kalian saja yang temani makan. Atau mungkin ayah baru bisa sampai besok, katanya ada kendala di jalan," ucap bunda. Wanita itu kemudian mendekati kedua putranya yang ada di sofa ruang keluarga.

Kedua pemuda remaja itu mengangguk, mulai berdiri beranjak dari ruang tengah menuju meja makan yang ada di dapur. Sayang, Ayah belum pulang dan mereka harus makan duluan. Padahal sudah tersedia ayam saus nanas kesukaan Ayah di meja makan. Kalau begini, mereka harus makan pelan-pelan dan menyisakan banyak untuk Ayah kalau pulang terlambat.

Setelah meneguk minumannya dan merapikan sendoknya di atas piring, Bunda menatap dua putra kembarnya. "Temen kalian kok lama nggak main ke sini?"

"Temen? Maksudnya Rian, Jengga, dan Surya?" balas Adhiyat yang juga bertanya.

"Iya. Tumben banget nggak main ke rumah, lagi berantem?" balas bunda.

Adhitya yang baru habis santapannya, langsung menatap bundanya. "Nggak kok, Bun. Besok deh Adhit ajakin main, sekalian ngerjain tugas."

"Boleh, kebetulan bunda habis buat kue kering. Kalian kan nggak suka begituan, tapi semoga temen kalian suka ya?"

"Panci bekas ikan sarden aja mereka suka, Bun. Kadang suka bingung, mereka manusia apa titisan meong," celetuk Adhiyat merespon bundanya. Sungguh kelewat fakta kalau temannya bersikap demikian.

"Abang ini ada-ada saja," ucap bunda.

Makan malam sudah selesai sepenuhnya dengan beberapa sisa lauk untuk ayah jika memang akan tiba malam ini. Adhiyat langsung bertolak menuju kamarnya, sedang Adhitya masih berada di meja membantu bundanya merapikan piring dan peralatan lain. "Adhit aja yang cuci piring ya, Bun?"

"Makasih ya. Ingat jangan boros sabun, pakai secukupnya."

"Siap."

• • •

Adhiyat meregangkan badannya sekejap sebelum mulai duduk di kursi meja belajarnya. Kemudian, pemuda itu menyiapkan segala keperluannya. Mulai dari menyalakan lampu belajar, mencari buku materi, dan paling penting, menyiapkan magnifier digital. Tanpa magnifier digital, Adhiyat perlu mendekatkan matanya dengan buku dengan jarak satu centimeter. Namun, dengan adanya alat ini, Adhiyat masih bisa menjaga jarak bacanya agar tak perlu cepat pegal.

Rintik AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang