DK | 01 • RENCANA KEPINDAHAN

10 3 2
                                    

01 • Rencana Kepindahan

•Diary Karissa•

KARISSA Andriani. Gadis bersurai cokelat sepunggung itu termenung menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang kosong. Kejadian di mana Romi pergi meninggalkannya berputar seolah kaset yang dengan sengaja disetel di kepalanya.

Kata-kata yang lelaki itu ucapkan juga masih terdengar dengan jelas sampai sekarang. Seperti halnya audio yang terus diputar. Karissa bukan perempuan kuat yang setiap kali menghadapi masalah dengan senyuman. Dia hanya perempuan lemah yang selalu menangis ketika ada masalah yang menimpanya.

Karissa yang dulu rapuh, semenjak hadirnya Romi menjadi gadis yang kuat. Walaupun tidak dapat dipungkiri dia masih menjadi gadis yang rapuh. Kuat hanya kata kiasan yang mempunyai arti di mana Karissa selalu berlindung di balik sosok Romi. Begitu pula dengan Romi yang melindungi Karissa dengan sepenuh raga dan jiwanya.

Namun, Romi yang dulu sudah pergi. Dia pergi, meninggalkan segudang kenangan dan luka yang teramat dalam.  Karissa masih belum percaya dengan kepergian lelaki itu. Tolong siapapun katakan padanya, Romi tidak mungkin pergi darinya bukan?

Rominya hanya bercanda 'kan?

Ya, Romi pasti bercanda waktu itu. Besok dia akan meminta penjelasan kepada Romi. Mungkin ini semua hanya ilusi Karissa karena dirinya memang tidak ingin Romi pergi meninggalkannya.

"Romi pasti bercanda."

"Dia bilang sayang sama aku."

"Dia juga selalu bilang cinta sama aku."

"Seminggu yang lalu juga Romi bilang bakal terus sama aku. Jadi, nggak mungkin Romi pergi," Karissa mengusap kasar air matanya yang entah sejak kapan mengalir deras di pipinya.

Diliriknya ponsel yang sedari tadi berada di samping tubuhnya. Tidak ada notifikasi dari Romi sejak dua hari yang lalu. Lebih tepatnya sejak Romi mengatakan putus kepadanya. Ah, sial! Kenapa dadanya seperti terhimpit sesuatu? Tidak, Romi pasti hanya bercanda.

Apa ini sebuah rekayasa untuk sesuatu yang mengejutkannya nanti?

"Ya, pasti Romi sedang berencana untuk mengejutkanku. Apalagi sekarang banyak sekali artis-artis membuat konten prank seperti ini."

Karissa masih saja menganggap semua itu hanyalah rencana kejutan yang Romi buat. Walaupun kenyataan yang sebenarnya mereka berdua memang sudah tidak menjalin hubungan apapun. Romi benar-benar memutuskan Karissa.

Tok tok tok

"Karissa boleh Ayah masuk?"

Karissa langsung mengusap air matanya setelah mendengar suara Ayahnya di luar. Ia segera turun dari ranjang membukakan pintu untuk Ayahnya. Karissa juga sudah merapihkan rambutnya yang mungkin sangat berantakan karena menangis tadi.

Samuel, Ayah Karissa tersenyum saat anak semata wayangnya membuka pintu kamar. Beliau sama sekali tak menyadari mata sembab Karissa. Tangannya terangkat mengusap lembut puncak kepala anaknya.

"Kenapa belum mandi?" tanya Samuel.

Karissa menatap Ayahnya takut, lalu menghela napas panjang. "Ica izin aja ya, Yah? Rasanya badan Ica demam."

Tidak seperti biasanya, kini Samuel bersikap lebih tenang. "Tidak panas sama sekali kok," ujar Samuel setelah menyentuh kening Karissa.

"Tapi tak apa, kamu istirahat saja untuk hari ini."

Karissa terdiam. Biasanya jika Karissa beralasan untuk tidak berangkat ke sekolah, maka Ayahnya akan sangat marah. Karissa, dalam kondisi apapun harus tetap berangkat. Kecuali jika sakitnya benar-benar parah, Samuel akan mengizinkan Karissa untuk tetap di rumah.

Ada rasa lega saat Samuel tidak melarangnya izin untuk hari ini. Namun dibanding itu semua, Karissa merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Mana mungkin Ayahnya akan berubah secepat ini, bukan?

"A-ayah serius?" tanya Karissa hampir tak percaya.

"Serius. Kamu pasti capek, istirahat sana."

"I-iya, tap—"

"Oh iya kenapa Ayah malah lupa tujuan awal mendatangi kamu."

Karissa kembali diam setelah ucapannya dipotong. Setiap pagi, Samuel memang selalu memastikan bahwa anaknya sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Jadi, Karissa pikir setelah percakapan tadi Ayahnya akan berlalu ke ruang kerjanya yang berjarak dua ruangan dari kamarnya.

"Kamu tidak menyuruh Ayah masuk, Karissa? Ayah sudah pegal berdiri terus," keluh Samuel.

"Ah, iya Ayah masuk aja."

Karissa membuka lebar pintu kamarnya membiarkan Samuel masuk, kemudian duduk di tepi ranjangnya yang bisa dibilang berantakan. Bekas tisu juga berserakan di lantai dan di atas tempat tidur. Maklum, Karissa baru merasakan patah hari di seumur hidupnya.

"Kamu ini perempuan Karissa, kenapa kamar sampai kotor seperti ini? Setidaknya jika kamu malas membersihkan, buanglah sampah pada tempatnya. Buat apa ada tempat sampah di dalam kamar kalau sampah saja kamu biarkan berserakan di lantai?" nasihat Samuel.

"Tirulah Bunda kamu yang begitu rajin itu. Jika saja Bunda kamu mas—"

"Apa sebenarnya tujuan Ayah ke kamar Karissa?" potong Karissa cepat tak ingin mendengar Ayahnya semakin berbicara kemana-mana.

"Oh iya," Samuel menyuruh Karissa duduk di sebelahnya. Namun, Karissa lebih memilih duduk di tempat belajarnya. "Kamu sudah masuk kelas 12 semester ini, bukan? Mengingat pekerjaan yang mengharuskan Ayah untuk menetap di suatu kota, tidak mungkin Ayah membiarkanmu tinggal sendiri di kota ini. Maka dari itu Ayah sudah memutuskan untuk membawa kamu juga."

"Maksud Ayah, kita pindah?" tanya Karissa masih tidak mengerti.

"Iya, Karissa."

"Terus sekolah Ica gimana, Ayah?"

"Tentu saja ikut pindah, Karissa."

"Tapi Ayah, apa tid—"

"Kamu tidak perlu khawatir, Ayah sudah mengurusnya."

Karissa diam, mencoba mencerna apa yang barusan Ayahnya katakan. Ia dan Ayahnya akan pindah ke luar kota? Sekolahnya juga sudah pasti akan pindah. Otomatis ia juga akan meninggalkan teman-teman, Romi, dan juga kenangan di rumah ini?

"Ica tidak mau pindah Ayah," tolak Karissa.

Seketika raut wajah Samuel berubah menjadi datar. "Ayah tidak meminta persetujuan kamu. Ayah hanya memberitahukan kita akan pindah ke luar kota dalam waktu dekat ini. Jadi, kemasi barang-barang kamu mulai sekarang."

Setelah mengatakan itu, Samuel pergi begitu saja dari kamar Karissa. Meninggalkan Karissa yang masih pada posisinya. Samuel tetap saja seperti itu, memutuskan sesuatu secara sepihak tak pernah memikirkan apa pendapat Karissa.

Mau tidak mau, Karissa mulai mengemasi beberapa barang-barangnya ke dalam koper biru yang tersimpan di atas lemari.

"Jika aku pindah, maka bertemu dengan Romi akan semakin sulit."

Karissa mengingat sesuatu, lalu ia mengedarkan pandangannya mencari 'sesuatu' yang pernah Romi berikan kepadanya sebagai kado ulang tahun yang ke 15. Setelah menangkap benda itu, Karissa segera mengambilnya dan menyimpannya ke dalam tumpukan baju di dalam koper.

"Untung saja Ayah tidak menemukan ini, kalau sampai Ayah melihatnya, Ayah pasti akan membuangnya."

Beruntung Karissa menyimpannya dengan baik. Mulai hari ini, Karissa bertekad akan mempelajari benda yang Romi berikan kepadanya. Ya, ia harus berubah untuk mendapatkan Romi kembali.

"Tunggu aku Romi."

Diary Karissa•

Diary KarissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang