XV. Bertahan.

81 61 127
                                    

Langit cerah,
Cahaya mentari sangat terang,
Namun terasa dingin di tubuh,
Membeku diriku terpaku,
Sesak di dada,
Tercekat di kata,
Ini berat untukku,
Tapi aku harus mengikuti laju,
Laju roda kehidupan,
Yang tak pantas aku ratapkan.

~🖊️~

Pak Adhi sudah sadar semalam. Milan sudah banyak mengobrol dengan ayahnya, tapi perihal kecelakaan ia urungkan untuk tidak menanyakan lebih dulu. Dokter melarangnya untuk mengajaknya banyak berpikir, karena saat kecelekaan ayahnya pingsan mengalami syok, takutnya akan mempengaruhi kesehatannya. Luka kecelakaan tidak terlalu berat, hanya kaki kirinya sedikit membengkak dan memar yang sudah ditangani, juga beberapa luka lecet lain di tangannya sudah diobati. Namun pemeriksaan lebih lanjut juga di perlukan, kata dokter.

"Ayah, sarapan dulu ya," kata Milan membawa nampan berisi nasi, sayur bening telur puyuh, dan gorengan tahu tempe beserta segelas susu.

"Ayah, sarapan yang banyak. Nanti jam sebelas kata dokter mau cek kondisi ayah semuanya."

"Ayah enggak suka susu Milan," tutur ayah.

Milan tersenyum, Milan tau itu sebenarnya. "Iya, nanti minum air putih saja. Enggak ada kopi loh ayah," peringat Milan. "Ayah, apa yang ayah rasain sekarang? Yang paling sakit di sebelah mana?"

Pak Adhi hanya menggeleng.

"Yakin, enggak sakit?" Milan sengaja menyenggol sikut ayahnya yang lecet.

Pak Adhi mengerang kesakitan. "Sakit Milan!"

"Katanya enggak sakit. Gimana sih ayah?" Milan sengaja menjahili. Ia cengengesan sambil menyuapi ayahnya. Dasar Milan selalu usil.

"Maafin ayah ya Milan. Ayah selalu nyusahin kamu. Selalu buat kamu sedih." Pak Adhi meminta Milan menghentikan suapannya dengan isyarat tangannya.

"Ayah makan dulu."

"Milan, kamu belajar yang rajin ya. Lakukan apapun yang kamu suka selama itu tidak merugikan kamu. Selama itu tidak menyakiti orang lain."

"Ayah, udah. Makan dulu. Yang penting ayah sehat dulu sekarang," tegur Milan. "Ayah, Milan boleh tanya?"

Pak Adhi mengerut kening, lalu mengangguk. "Tanya apa?"

"Ayah inget, kejadian kemarin dimana?"

"Milan, maafin ayah," pak Adhi menjeda perkataannya. "Motornya gimana?" ingat Pak Adhi merasa bersalah.

"Udah dibenerin di bengkel. Ayah inget kejadian kemarin?" tanya ulang Milan.

"Ayah hanya inget ditabrak mobil warna putih dekat Apotek Dharma," kata pak Adhi sampai terbatuk-batuk.

"Ayah ini minum dulu," ucap Milan sambil mengambilkan air minum untuk ayahnya. "Makan dulu aja ayah."

Milan mengurungkan lagi, bertanya lebih detail. Melanjutkan menyuapi Pak Adhi dengan banyak pikiran dugaan.

"Siapa yang bawa ayah ke sini? Lalu bagaimana dengan biaya ruang inap VIP ini Milan?"

Milan mengendikkan bahu. "Milan juga enggak tahu ayah. Setelah Milan dapat kabar, ayah sudah di sini. Dan semua biaya sudah ditanggung. Mungkin, yang menabrak ayah."

"Ya, sudah, kalau memang yang menabrak yang bertanggung jawab. Ayah takut semua ini bebanmu juga."

Milan menggeleng.

"Milan, nanti tolong sampaikan terima kasih kalau bertemu dengannya. Segera temui dia ya, Milan."

"Apa yang harus aku lakukan? Bunda, kenapa ninggalin kita." batin Milan. Milan berkaca-kaca, namun mencoba tetap tersenyum.

SAY! (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang