XXIX. Everything Will Be Fine?

41 30 18
                                    

Milan masih saja menangis tersedu saat mengendarai motor matic-nya. Sedangkan Kaivan menggiringnya dari belakang.

Milan tidak mampir ke kedainya lebih dulu, melainkan langsung pulang ke rumahnya. Hal tersebut membuat Kaivan bertanya-tanya.

"Milan, are u okay?" tanya Kaivan yang telah turun dari motor menghampiri Milan yang masih terdiam di atas motornya.

"Apa yang lo khawatirkan lagi Milan?" tanya Kaivan lagi.

"Kai, gue takut kecewa lagi jika tanya ayah. Bagaimana kalau ayah juga berbohong? Kenapa semua orang suka berbohong Kai? Apa enggak ada yang percaya sama gue? Memangnya apa salah gue?" Milan menutup mata dengan kedua tangannya merasakan sebuah ketakutan dalam dirinya.

"Hei! Hei! Enggak gitu Milan! Enggak ada yang salah sama lo kok." Kaivan menarik tangan Milan, menenangkannya. "Jadi sekarang lo maunya gimana?"

Milan hanya menggeleng sebagai jawaban. Pandangannya kosong tertuju ke depan. Seperti menerawang keadaan yang akan terjadi setelahnya.

"Kalau lo mau ke kedai tanya ayah lo, gue temenin Mil. Tapi sekarang, coba hapus air mata lo, tenangin diri lo. Kendaliin diri lo lebih dulu. Buang semua kekhawatiran lo tadi Milan. Ada gue di sini."

Mendengar itu, Milan menatap Kaivan dalam. Ia memejamkan mata sekejap, lalu mengusap wajahnya yang basah dengan tisu yang telah ia ambil dari dalam tasnya.

"Everything will be fine," ucap Kaivan seraya tersenyum. Milan pun tertular senyum tulus Kaivan.

***

Suasana kedai yang ramai membuat Milan menunda rasa penasarannya. Milan memesan dua porsi ayam goreng lebih dulu untuk dimakan bersama Kaivan. Diamnya Milan ketika di tanya Maya, membuat pegawai pak Adhi itu mengerti kalau Milan sedang tidak baik-baik saja.

Milan yang menyantap makanannya tanpa bersuara lagi, lantas membuat Kaivan menegurnya.

"Kalau makan di kunyah jangan langsung di telen Milan."

"Kai, lo perhatiin gue enggak sih? Gue ngunyah aja males bisa tujuh puluh tujuh kali mungkin, mana ada langsung nelen," protes Milan.

Kaivan terkekeh geli. "Nah nyahut gitu dong Mil. Diem mulu dari tadi."

"Kai, kalau lo ngerasa kelamaan di sini, terus mau sibuk belajar. Pulang aja enggak apa Kai. Gue bisa atasi ini sendiri kok," putus Milan, lantas membuang nafas panjang.

"Enggak kok Mil. Gue masih pengen santai di sini," hibur Kaivan. Kemudian menyantap kentang goreng yang telah disiapkan Milan.

Milan menatap meja makan dalam seraya menghembus nafas kasar. "Kai, gue ke dapur dulu ya. Ketakutanku gue harus segera terjawabkan."

Kaivan mengangguk sebagai jawaban. Kaivan mengedar ruangan, para pembeli sudah berangsur sepi. Antrian meja kasir pun sudah habis.

"Ayah, Milan mau berbicara sebentar," ujar Milan di ambang pintu

"Berbicara apa Milan?"

"Apa ayah benar tidak tahu kabar bunda lagi?"

"Milan?" dahi pak Adhi berkerut, mencerna setiap kata dari Milan.

"Apa bunda tidak pernah mencoba menghubungi ayah?"

"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya -"

Milan nyela ucapan pak Adhi. "Apa ayah juga tidak tahu kalau bunda juga sudah menikah lagi?"

Pertanyaan Milan beruntun seketika membuat pak Adhi lidahnya kaku menjawab pertanyaan Milan.

"Kenapa Milan tidak boleh ketemu bunda?

SAY! (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang