D-Day...

2 1 1
                                    

.

.

.

.

.

Malam itu Amel memilih untuk berdiam diri di kamarnya sambil menonton vlog kafe, tontonan favoritnya sebelum tidur. Walaupun dia pandai bernyanyi, tapi impian sebenarnya adalah menjadi pemilik sebuah kafe. Setiap akhir minggu jika tidak ada jadwal untuk manggung atau hanya manggung setengah hari, dia akan bereksperimen dengan beberapa resep yang ia dapatkan di internet dan ia modifikasisediri agar rasanya bisa lebih diterima oleh anak muda di Jakarta.

Seketika pintu kamar Amel terbuka dan terlihat kepala kakanya, "Dek, gue pinjem topi lo dong yang warna item, topi gue dipenjem apa Vero soalnya. Gue besok mau pergi ke Kotu."

"Sama siapa lo ke Ktu?" tanya Amel dengan mata yang masih memperhatikan layar macbooknya.

"Vanya," jawab Daffa singkat.

"Siapa lagi anjir si Vanya?" Kali ini atensi Amel benar-benar terpecah sepenuhnya. "Perasaan kemaren lo baru aja bawa si Gita ke rumah, sekarang siapa lagi Vanya?"

Daffa hanya tersenyum singkat lalu menempatan dirinya di atas tempat tidur Amel. "Vanya tu anak OSIS di SMA gue. Ya lo tahu lah kakak lo yang ganteng ini tu jabatannya apa di OSIS?"

Amel berdecih, "Dih sokap lo?"

"Gini-gini gue tu ketua OSIS SMA Garuda," protes Daffa. "Nah jadi besok gue mau survei-,"

Belum sempat Daffa menyelesaikan ucapanya, Amel sudah menginterupsinya terlebih dahulu, "Survei apaan di Kotu? Survei alasan orang-orang pacaran di Kotu ye?" sinis Amel.

"Ye gue belom selesai ngomong, dengerin dulu!" Daffa menghela nafasnya. "Gue besok sebenernya mau nyari sponsor stand makanan buat pensi sekolahan. Nah, baliknya mau mampir Kotu sambil jajan-jajan asik gitu!"

Amel hanya bergidik. Untuk ukuran seorang laki-laki, Amel mengakui jika tampang kakaknya ini bisa dibilang di atas rata-rata. Hanya saja dia terlalu memanfaatkan tampangnya. Kadang Amel sangat jenuh melihat perempuan yang selalu dia bawa ke rumah, padahal pacar pun bukan.

Sesekali ayah atau bunda akan menasehatinya semalaman, tapi namanya juga anak muda, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Selalu sama setiap bulannya.

"Ambil aja deh, tapi awas aja sampe lo pinjemin ke si Vanya Vanya itu terus ngga lo bawa pulang kaya hoodie putih gue yang terakhir lo pinjem."

Daffa bergegas mengambil topi di gantungan belakang pintu sebelum adiknya berubah pikiran, "Iya... kalo inget!" Selanjutnya Daffa berlari dan mengabaikan teriakan Amel yang begitu keras.

Masih dengan suasana mood yang tidak karuan, Amel kembali kepada macbooknya sampi ketika bunyi notifikasi ponselnya berbunyi dan meampilkan sebuha nomor tidak dikenal mengirimka sebuah pesan singkat berbunyi "Halo, ini betul nomornya Rena?"

Amel terheran-heran, pasalnya jika ini Kaila, tidak mungkin dirinya akan bertanya seperti itu.

Siapa? Balasnya singkat tanpa basa basi.

+628... : Gue Evan.

Amel semakin terheran-heran, dari mana Evan dapat nomornya?

Iya, kenapa van? Dapet nomer gue dari mana?

+628... : Dari kaila, gue tadi dm dia di IG. Save nomor gue ya btw

Amel hanya mengernyitkan dahinya, tak mengerti.

"Padahal baru sekali ketemu," gumamnya.

Oke

Hanya balasan singkat dari Amel dan setelah itu tidak ada lagi pesan masuk.

***

Lebih dari siapun, hari ini Amel sangat gugup. Dia hanya berharap tidak membuat masalah ketika tampil nati.

"Semua kumpul, kita berdoa dulu." Suara Kak Jessica menarik semua atensi yang ada di belakang panggung dan secara otomatis kami berkumpul membentuk lingkaran.

"Ini acara sudah saya rencanakan dari lama, jadi saya berharap kita semua dapat menjalankan tugas sesuai peran masing-masing. Semoga acara lancar dan tidak ada kendala sampai selesai. Berdoa mulai."

Semua menundukkan kepala, sama-sama khusyuk memanjatkan doa kepada Tuhan mereka masing-masing. Berharap semua berjalan lancar dan tidak ada kendala apapaun walau sekecil apapun.

"Ren?" Sebuah bisikan pelan membuyarkan konsentrasi Amel yang sedang berusaha untuk memainkan ritme musik di kepalanya.

"Kenapa, Van?"

Evan kini sudah berdiri di depan Amel dengan tatapan gugup. Begitupun Amel, dia hanya bingung melihat tingkah Evan yang sedari tadi tidak berhenti menggerakkan kakinya ke atas-bawah berulang kali.

"Lo gugup?" tanya Amel basa-basi tapi hanya dibalas tawa kecil oleh Evan.

"Amel, ayo!" Tiba-tiba suara Kak Carla, si ketua acara, menanggilnya. Sudah saatnya Amel naik ke atas panggung.

"Good luck lo! Gue naik dulu!"

"Semangat, Rena!" Evan berbisik pelan kepada Amel sambil mengangkat kedua tangannya, memberi tanda semangat.

Tidak dipungkiri, penonton kali ini penuh! Amel pelan-pelan naik ke atas podium. Bukan karna deg-degan, tapi lebih karena highheels yang dia pakai kali ini lebih tinggi dari yang biasanya. Biasanya Amel hanya mau jika tingginya 5 cm. Tapi kali ini Amel tidak bisa menolak karena tidak ada highheels lain selain yang sudah ditawarkan, sehingga dia harus berhati-hati dengan hak 10 cm ini.

Amel menarik nafas panjang ketika suara instrument lagu Sheila on 7 sudah tersengar. Seperti biasa, dirinya lebih rileks ketika sudah mendengar instrument dibanding sebelumnya. Amel berdiri di pojok podium. Sesekali dirinya memperhatikan model yang bergantian. Sampai saat ini Amel masih penasaran, bagaimana mereka bisa dengan cepat berganti pakaian?

Berganti lagu kedua dan ketika dia mengucapkan lirik pertama, saat itu juga Evan bersiap untuk tampil. Tanpa sengaja kedua mata mereka bertemu untuk sepersekian detik sebelum akhirnya Evan bergegas untuk melanjutkan langkahnya.

Harus Amel akui, kali ini penampilan Evan berbeda. Dia terlihat lebih dewasa dan lebih bercahaya. Apa mungkin karna baju yang ia kenakan warna kuning mencolok? Entahlah.

Ketika lagu terakhit sudah memasuki bagia refferain, amel berjalan ke tengah podium. Kali ini dia merasa les singkat yang diberikan Evan kemarin memiliki andil yang sangat besar untuk keberhasilannya kali ini.

Mungkin Amel harus mentraktirnya makan atau sekadar ke kafe seperti kemarin!

***

H E L L OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang