Lembar Terakhir

781 144 51
                                    

Pagi ini Takashi disambut oleh kebingunan. Pasalnya, belum ada tanda-tanda adiknya telah bangun pagi ini. Biasanya, Takashi akan menemukan (Y/n) tengah membuat sarapan yang sederhana di dapur. Namun, kini tidak ada siapapun di sana. Keheningan menyapanya kala ia tiba di dapur.

"Apakah (Y/n) masih belum bangun?" gumam Takashi.

Berdasarkan pemikiran seperti itu, Takashi pun beranjak menuju kamar (Y/n). Di depan pintu, tangannya mengetuk pintu tersebut beberapa kali. Namun, tak ada sahutan apapun dari dalam sana dan membuat Takashi semakin yakin jika (Y/n) benar-benar masih tertidur.

Tetapi, karena kegelisahan dan kecemasan yang tiba-tiba melandanya, Takashi yang hendak kembali pun mengurungkan niatnya. Ia berdiri lagi di depan pintu kamar (Y/n). Tangannya memegang kenop pintu dengan perlahan dan kemudian mendorong pintu tersebut dengan hati-hati.

(Y/n) memang tidak pernah mengunci kamarnya. Hanya ketika gadis itu sedang berpakaian saja. Ia bahkan lebih sering membiarkan pintunya terbuka daripada tertutup rapat. Entah apa alasan (Y/n), Takashi tidak tahu. Ia tidak pernah bertanya tentang hal itu.

Lelaki itu pun berjalan mendekati (Y/n) yang tengah berbaring di atas tempat tidur. Wajahnya yang damai dan tenang tampak terlihat oleh Takashi saat ini. Bahkan, sebuah senyum tipis tercetak di wajahnya.

Namun, ada sesuatu yang janggal.

Dengan hati-hati dan khawatir akan membangunkan (Y/n), Takashi pun mendekatkan jari telunjuknya ke arah hidung (Y/n). Ia menunggu selama beberapa saat. Menunggu sebuah hembusan napas keluar dari hidung adiknya itu.

Percuma. Sia-sia saja Takashi menunggu. Kini ia tahu mengapa wajah (Y/n) tampak lebih damai dan tenang. Ia pun tahu mengapa semalam (Y/n) mengatakan hal yang menyentuh hatinya dan bahkan membuat bebannya terangkat meskipun barang sedikit.

Karena nyatanya, saat ini, gadis itu sama sekali tidak bernapas.

***

Manik lavender yang diselimuti oleh kabut tipis tak bernama itu menatap kosong ke arah peristirahatan terakhir milik (Y/n). Tidak ada orang lain di sana selain Takashi. Lebih tepatnya, memang lelaki itu saja yang berada di sana sejak awal.

Kedua tangannya terkulai di samping tubuhnya. Pikirannya mendadak kosong. Tatapan matanya sejak tadi tertuju ke arah makam itu. Ia terpaku, membeku dan tak bergerak dari sana.

"Apakah 'beban yang akan menghilang secara perlahan' yang kau maksud itu adalah hal yang menyakitkan seperti ini, (Y/n)? Dengan kepergianmu?" gumamnya.

Menahan perih dan sesak di dalam dadanya, Takashi menatap ke arah langit yang tampak kelabu. Seolah sudah siap menumpahkan air matanya untuk adik tercintanya saat ini.

Kita hanya berdua saat ini. Maka dari itu, aku akan selalu ada untukmu dan kau juga akan selalu ada untukku.

Rentetan kalimat itu seketika berbunyi di dalam kepala Takashi. Mengapa ia justru mengingatnya di saat seperti ini? Di saat yang terlalu tepat hingga membuat air matanya tak dapat berhenti? Mengapa? Mengapa Tuhan mengambil (Y/n) secepat ini? Bahkan ketika gadis itu tampak baik-baik saja. Tampak bahagia bahkan di saat malam terakhir mereka akan bertemu dan saling berbincang.

Meskipun sudah berkali-kali Takashi raungkan pertanyaan tersebut di dalam pikirannya, nyatanya pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab saat ini.

***

Tungkai kakinya berjalan dengan terseok-seok. Tubuhnya yang lunglai hanya mengikuti irama kakinya, ke manapun ia membawanya pergi. Manik lavender yang menatap ke arah jalanan itu hanya diselimuti oleh kekosongan dan tanpa cahaya.

Kesedihan telah merenggut semangat hidup Takashi. Sekaligus membuat Takashi merasa tidak memiliki tujuan hidup lagi. Selama ini, ia hidup untuk (Y/n). Hanya untuk gadis itu. Baginya, (Y/n) adalah oksigennya. Tanpanya, lelaki itu akan berhenti bernapas dan kemudian mati secara perlahan.

Kini Takashi tahu bagaimana rasanya hidup seorang diri di dalam keterpukuran. Tanpa tujuan, tanpa semangat. Dan, yang terpenting ialah tanpa orang yang paling berharga dalam hidupnya. Tanpa (Y/n) yang merupakan oksigennya.

"Itu dia!"

Takashi yang tidak mempedulikan sekitarnya tiba-tiba dihantam dari belakang oleh seseorang. Ia pun jatuh tersungkur ke atas aspal. Ketika ia menoleh, sekumpulan orang-orang yang tampak lebih tua dua atau tiga tahun darinya kini mengelilingi Takashi.

Tanpa rasa bersalah, mereka memukul Takashi secara bergiliran. Lelaki itu hanya bisa memasang tameng dengan kedua tangannya yang disatukan. Pandangan matanya tertutup dan pikirannya seketika teringat dengan (Y/n). Semuanya tentang gadis itu.

Sebuah bogem mentah mengenai ulu hati Takashi di kala ia lengah. Darah yang kental dimuntahkan oleh lelaki itu. Ia pun kembali terjatuh ke atas aspal dan mulai dikeroyok oleh mereka.

"Inilah akibatnya jika kau menghalangiku, Bodoh!"

Menghalangi? Apa yang telah Takashi lakukan hingga ia menghalangi orang itu?

"Kau menghalangiku untuk membunuh wanita sialan itu! Apakah kau tahu? Ia adalah orang yang menghancurkan keluargaku! Ia menjadi pelacur rendahan dan menggoda ayahku hingga berselingkuh dengannya! Namun, kau justru menghalangiku, Sialan! Inilah akibat yang pantas kau terima!" serunya.

Ah, begitu. Kini Takashi tampak paham. Secara perlahan namun pasti, kesadarannya mulai menghilang. Tangan yang ia jadikan sebagai tameng bagi dirinya sendiri pun sudah mulai tak ampuh. Luka-luka yang ia dapat telah menutupi wajahnya dan bagian lain di tubuhnya.

"Nii-chan, apakah kau baik-baik saja tanpaku?"

Mendengar suara milik (Y/n), kesadaran Takashi secara tiba-tiba kembali ke permukaan. Ia mencari di mana (Y/n), namun ia tak dapat menemukan sosok gadis itu.

"Maaf, Nii-chan. Maaf karena aku pergi secara tiba-tiba," ujarnya lagi.

Manik lavender yang setengah terbuka itu sekilas menangkap siluet (Y/n) beberapa meter di depannya. Gadis itu tampak berdiri dengan kedua kakinya. Tanpa menggunakan kursi roda yang selama ini menjadi penopang tubuhnya.

"Nee, Nii-chan. Apakah Nii-chan ingin ikut denganku?"

Tepat sedetik setelah pertanyaan itu diberikan padanya, Takashi lekas mengangguk. Ia mengiyakan pertanyaan yang baru saja (Y/n) berikan tanpa berpikir dua kali.

"Aku sudah menduga Nii-chan akan menjawab 'ya'." Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya.

Siluet (Y/n) yang perlahan menghilang itu menjadi pandangan terakhir Takashi sebelum ia benar-benar menutup matanya. Sekaligus menghembuskan napas terakhirnya kala sang mentari pun kembali ke peraduannya.

***

END ━━ # . 'Hi, Brother! ✧ Mitsuya TakashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang