Lembar Pertama

1.3K 193 42
                                    

Embun pagi tampak terlihat di ujung dedaunan bak kristal yang menggantung tanpa asa. Suara burung saling bercuit-cuitan di angkasa. Seolah saling menyapa tanpa memusingkan hari.

(Y/n) tengah berada di taman kecil belakang rumahnya. Gadis itu memandang ke arah langit dengan awan berwarna kelabu yang tampak menggantung di sana. Menutupi sang matahari kala indahnya dunia terlihat.

"Sedang apa?"

Suara seorang lelaki dari belakangnya membuat (Y/n) tersentak sedikit. Ia memutar kepalanya ke belakang, menatap secara langsung si lawan bicara.

"Memandang langit dan memikirkan sesuatu."

"Apa itu? Jika aku boleh tahu," balas Takashi seraya duduk di sebelah (Y/n).

"Rahasia." (Y/n) terkekeh lalu mengedipkan sebelah matanya.

Takashi mengacak-acak rambut (Y/n) sambil tersenyum. "Ada-ada saja."

Mereka kembali diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terlalu banyak yang mereka pikirkan hingga tak menyadari keberadaan satu sama lain lagi. Hanya sekedar diam dan duduk berdampingan. Tanpa sepatah kata yang terucapkan lewat bibir mereka.

(Y/n) menggerakkan kursi rodanya secara perlahan. Ia bergerak menjauhi kakaknya yang tampak menatapnya dari kejauhan. Gerak-gerik gadis itu membuat Takashi bertanya-tanya. Ke mana ia akan pergi?

Takashi mendekat dan menggenggam bagian pegangan kursi roda (Y/n). Mencegah adiknya untuk bergerak lebih jauh.

"Kau ingin ke mana, (Y/n)?" tanya Takashi. Ia rasa ia perlu tahu apa jawaban adiknya itu.

(Y/n) pun menoleh kala kursi rodanya dihentikan oleh sang kakak. Ia menatap kakaknya seraya tersenyum. "Aku ingin membuatkan bekal untuk Nii-chan."

Takashi diam sejenak. Lekas ia melarang, "Tidak perlu, (Y/n). Bukankah aku sudah sering mengatakannya padamu?" Lelaki itu menghela napas karena sifat keras kepala milik (Y/n).

Kekehan keluar dari bibir gadis itu. "Aku tidak ingin menjadi beban bagi Nii-chan," ujarnya.

Sekali lagi, Takashi menghela napas. Pada akhirnya, ia hanya menuruti perkataan gadis itu dan membawanya ke dapur.

Setibanya di sana, Takashi menawarkan bantuannya. Namun, (Y/n) menolak dan menyuruh lelaki itu segera bersiap ke sekolah. Yang kemudian hanya disetujui oleh Takashi dengan berat hati.

"Tinggal tambahkan ini dan semuanya selesai," gumam (Y/n) kepada dirinya sendiri sambil tersenyum.

Ia menggerakan kursi rodanya menjauhi bak cuci piring dan mendekati meja makan. Kotak bekal berwarna biru itu diletakkan di atasnya setelah ia membungkusnya dengan kain polos.

Tak lama kemudian, Takashi memunculkan batang hidungnya. Manik lavender-nya tertuju ke arah (Y/n) yang tengah membersihkan dapur. Tanpa berpikir dua kali, lelaki itu segera menghampiri adiknya. Mengulurkan tangannya untuk menolong.

"Eh? Tidak perlu, Nii-chan. Aku bisa melakukannya sendiri," tolak (Y/n) halus ketika ia melihat Takashi berada di sebelahnya. Ikut membantunya.

"Jangan keras kepala, (Y/n). Aku akan membantumu. Ini tidak seberapa," balas Takashi mulai jengah karena sifat keras kepala milik (Y/n) yang terus menolak pertolongannya. Bukannya ia merasa kesal, namun Takashi tidak ingin melihat adiknya yang kesulitan karena keterbatasan fisiknya.

"Baiklah, baiklah. Nii-chan boleh membantuku. Terima kasih, Nii-chan." Gadis itu tersenyum di akhir kalimat.

Selesai merapikan dan membersihkan dapur, Takashi mendorong kursi roda (Y/n) dengan perlahan ke depan pintu rumah mereka. Lelaki itu menghentikannya tepat ketika mencapai ambang pintu.

"Aku berangkat dahulu, (Y/n). Jangan melakukannya semua seorang diri, oke? Tunggu aku kembali jika kau merasa tidak bisa. Jangan memaksakan dirimu," pesan Takashi setelah ia mengenakan sepatunya.

(Y/n) yang duduk di kursi roda menatap lurus ke arah sang kakak. Sebuah senyum tersungging di wajahnya. "Um, baiklah. Hati-hati di jalan, Nii-chan."

Takashi mengangguk singkat seraya membalas senyuman (Y/n). Ia pun menepuk-nepuk pucuk kepala gadis itu dengan lembut.

"Bekalnya sudah Nii-chan bawa?" (Y/n) memastikan.

"Sudah," sahut Takashi sambil mengangkat tangannya yang membawa bekalnya yang dibungkus dengan rapi oleh kain tanpa motif.

"Habiskan bekalnya ya, Nii-chan," ujar (Y/n) lagi.

"Tentu."

Seusai mengatakan itu, Takashi berlalu dari hadapan (Y/n). Sementara itu, (Y/n) menatap kepergian sang kakak masih dengan senyum yang tertera. Namun, secara perlahan senyum itu pun lenyap. Digantikan oleh tatapan yang menyiratkan kesedihan tanpa air mata.

***

Takashi membuka tutup bekalnya. Nasi beserta lauk-pauknya yang ditata secara apik terpampang di depan wajah lelaki itu. Tak aneh jika sebuah senyum mengembang ketika ia melihat isinya. Sekaligus membuatnya teringat dengan wajah (Y/n) yang tengah tersenyum hangat.

"Enak," gumamnya seusai memakan roti gulung yang telah dipotong menjadi beberapa bagian.

Selesai mengunyah dan menelannya, Takashi menatap ke arah langit yang masih berwarna kelabu. Sama dengan pagi hari tadi. Pikirannya seketika tertuju pada (Y/n) yang juga tengah menatap langit ketika ia belum berangkat ke sekolah.

Entah apa yang berada di dalam pikiran gadis itu kala ia menatap langit. Takashi memang penasaran, namun ia tidak ingin memaksa sang adik memberitahunya. Namun, setidaknya ia ingin memikirkan tentang (Y/n) ketika tengah menatap langit saat ini. Tentang adiknya yang terkadang keras kepala, yang terkadang memberikan senyuman terbaiknya, dan juga yang terkadang bersikap seolah gadis itu adalah kakaknya.

Helaan napas keluar dari bibir Takashi. Sekali lagi ia bertanya-tanya; apa yang dipikirkan oleh (Y/n) tadi pagi?

***

END ━━ # . 'Hi, Brother! ✧ Mitsuya TakashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang