Chapter 2

1.1K 91 1
                                    


"100 juta," Zero mengangkat papan kecil itu dengan tenang.

Semua peserta lelang memandangnya terkesiap.

"100 juta pertama! 100 juta kedua! Lukisan Olympia menjadi milik Zero-San!" hasil lelang itu telah diputuskan.

Semua orang bertepuk tangan sebagai penghormatan untuk Zero.

Zero alias Rei Furuya tengah melakukan penyamarannya. Rambut pirangnya disisir ke belakang dan licin karena menggunakan gel mengkilap. Ia juga menggunakan kacamata hitam bahkan walaupun di dalam ruangan, untuk menambahkan kesan ningrat nan misterius. Lelang ini merupakan lelang barang-barang antik yang illegal, namun Zero belum melaporkannya. Ia masih membutuhkan rumah lelang ini untuk mencapai tujuannya.

Setelah Zero melakukan pembayaran dan memberikan kartunama pada rumah lelang agar lukisan Olympia dapat dikirim ke kediamannya, ia keluar dari rumah lelang itu dengan didampingi para bodyguard menuju limousine mewahnya. Ketika ia baru mau masuk mobil, ia mendengar panggilan itu. Hal yang dinantikannya.

"Zero-San!" panggil Akira, tuan rumah lelang.

Zero perlahan berbalik, "Ada apa Akira-San?" tanyanya datar.

"Ano... Penawaran Anda terlalu tinggi untuk lukisan itu,"

Zero hanya tersenyum menyepelekan, "Hanya sebagai sarana untuk mengalokasikan uangku yang sangat lebih dari cukup," ucapnya berusaha terdengar kaya namun merendah.

"Apakah Anda pengagum seniman Edouard Manet?"

"Pengagum lukisan erotis tepatnya,"

"Ah..." Akira tampak memahami, "Ini pertama kalinya saya lihat Anda di rumah lelang,"

Zero mengangkat bahu, "Aku lama di Inggris, baru saja kembali ke Jepang. Aku masih mencari-cari apa kiranya yang menarik dan menantang di Jepang,"

"Apa Anda memiliki hobi tertentu?"

"Aku suka berburu, tapi aku masih kesulitan mencari tempat berburu yang menarik di Jepang," Zero berkata dengan nada kecewa.

"Begini saja," Akira mengeluarkan kartunamanya dan memberikannya dengan dua tangan secara sopan kepada Zero, "Ini kartunama saya. Saya banyak mengenal orang-orang penting di rumah lelang ini. Mereka memiliki beberapa klub berburu, sangat eksklusif, privasi dan tertutup. Kerahasiaan Anda juga terjamin. Namun mungkin iuran keanggotaannya sangat mahal,"

"Uang bukan masalah selama itu menarik dan berbeda," sahut Zero sengaja memberikan penekanan.

"Tentu saja, ada banyak pilihannya untuk Anda,"

"Baiklah. Biarkan aku mempertimbangkannya, jika aku tertarik, asistenku akan menghubungimu," kata Zero sebelum masuk mobil.

"Terima kasih," Akira menunduk dalam mengantar kepergian Zero.

"Kita biarkan saja Furuya-San?" kata Kazami setelah limousine berjalan.

"Sementara cukup, kita sudah menarik minatnya. Jangan terburu-buru. Kiyosuke orang yang sangat berhati-hati," sahut Rei.

"Tapi Kudo-San dan Miyano-San..."

"Aku tahu. Semoga mereka masih dapat bertahan, sebelum operasi penyelamatan," Rei mengepalkan tangannya erat.

"Lalu apa rencana kita selanjutnya?"

"Biarkan dulu selama beberapa hari, baru kita menghubunginya. Namun sementara itu, terus awasi dia Kazami,"

"Hai,"

***

Tubuhnya luar biasa lelah karena berlari-lari seharian. Namun Shiho tidak dapat tidur karena kamar itu tidak berpenghangat dan tanpa perapian. Selimut juga seadanya saja. Pakaian yang disediakan juga hanya kemeja-kemeja besar tak sesuai ukuran, tidak ada baju hangat. Ia memutuskan untuk bangun duduk dan memeluk lututnya. Shinichi yang berbaring di sisinya dan tidak bisa tidur juga, menyadari hal itu.

"Kenapa Shiho? Dingin?" tanya Shinichi.

"Uhm," Shiho hanya bergumam seraya memeluk lututnya lebih erat.

Shinichi akhirnya ikut bangun duduk. Ia meraih selimut yang tipis itu untuk menyelimuti mereka berdua dengan Shinichi memeluk Shiho dari belakang.

"K-Kudo?" Shiho merasa canggung.

"Lebih hangat?"

"Eh... Tapi... Ran-San..."

"Dia tidak di sini dan aku tak bisa membiarkanmu mati kedinginan..."

Shiho menunduk muram, "Apa bedanya? Tidak ada yang tahu, mungkin kita mati besok..."

"Jangan menyerah Shiho,"

"Aku tak mengerti bagaimana kau masih bisa optimis? Kita tidak tahu permainan macam apa lagi yang diinginkan Kiyosuke,"

"Gomene..." gumam Shinichi.

"Nani?"

"Sudah melibatkanmu dalam hal ini,"

"Aku tak menyalahkanmu,"

Shinichi mengeratkan pelukannya, "Setelah organisasi hitam hancur, sekarang aku malah menjerumuskanmu dalam masalah ini. Mungkin kau benar, sebagai detektif, aku terlalu percaya diri. Seharusnya aku lebih mendengarkanmu Shiho..."

"Itu sudah konsekuensi kerjaan. Sebagai partnermu aku juga mengerti. Lagipula, sejauh ini kau selalu melindungiku,"

Shinichi melihat buku-buku jari Shiho yang membiru. Ia meraih tangan Shiho dan menggosoknya dengan tangannya sendiri, sambil sesekali menguapinya.

Wajah Shiho merona. Bahkan dalam situasi seperti ini, ia menyukai kedekatannya dengan Shinichi.

"Aku janji, bagaimanapun caranya, aku akan mengeluarkan kita berdua dari sini," kata Shinichi sambil terus mengusap tangan Shiho.

"Uhm," Shiho mengangguk.

"Pejamkan matamu Shiho. Cobalah untuk tidur, kita masih perlu tenaga untuk besok,"

"Akan kucoba," Shiho memejamkan matanya dan tak membutuhkan waktu lama untuk terlelap dalam dekapan hangat Shinichi.

The Dying GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang